Gedibal

Bagikan/Suka/Tweet:

Dahta Gautama *

Gedibal? Kata ini sering diucapkan dalam obrolan ringan saya kepada seorang pensiunan polisi. Ketika itu, Pak Sulaiman (nama pensiunan polisi itu), yang kemudian karena sangat akrab, saya anggap orangtua sendiri. Ia menyebut, bahwa menjadi “gedibal” itu tidak enak, tertekan dan terhina. Saya menyimak uraian dia dengan seksama, karena seperti biasa, ketika ia datang ke rumah, kami pasti ngobrol panjang dan landai, soal kehidupan sehari-hari, agama, kesehatan kami, acara televisi dan hal-hal lain terkait kedinamikaan hidup kami. Ketika dalam beberapa hari kami tak bertemu. Artinya, jika dua minggu kami tak jumpa, maka dalam kurun waktu dua minggu tersebut banyak hal yang kami obrolkan.

Kepada saya, Pak Sulaiman menguraikan, gedibal adalah sisa tanah atau kotoran yang menempel pada alas kaki, atau tersisa di telapak kaki kita. Menurut Pak Sulaiman, zaman sekarang banyak manusia yang terpaksa jadi “gedibal’.

Ada manusia yang terpaksa jadi gedibal? Koruptor dan Begal. Gemar melakukan pekerjaan yang menyusahkan diri sendiri dan orang lain. Pasti orang macam begini tak punya sopan santun dan enggan dengan martabat hidup, karena perkara itu. Menjadi miskin juga adalah bentuk lain dari gedibal. Sebab, orang-orang miskin berada di sisi wilayah sulit. Tak leluasa dan payah membeli. Bisa saja sudah nasibnya, dan bentukan takdir. Kalau sudah begitu, hanya Tuhan yang tahu sebabnya, jelas Pak Sulaiman.

Benar juga, sebab menurut saya, sesungguhnya, manusia menciptakan derajat dan martabatnya sendiri, menciptakan kemulian dan kehinaannya sendiri, juga membikin gedibal-nya sendiri. Campur tangan Tuhan, letaknya pada “pengubahan” sikap saja.

Miskin diciptakan sendiri. Teman saya, tukang ojek, mengeluh soal hidupnya yang susah selama-lama. Ia suka mengeluh, namun lupa “mengubah”. Sehingga, nasibnya tak mau bergeser ke tempat aman.  Sebab, ia adalah penjaja jasa tenaga angkut yang kreatif soal ongkos. Memberi harga mahal kepada para penumpangnya untuk jarak tempuh pendek, dan merasa puas dengan 4 jam uang yang sudah ia raih. Membawa pulang 1 Kg beras, 2 bungkus mi  instan dan setengah bungkus rokok kretek. Kemudian bersenang-senanglah dia dengan harta itu, kemudian bertemu sore dan berjumpa dengan rasa lapar lagi.

Kata Pak Sulaiman, hidup tidak selalu cari kaya, tetapi harus menjaga kehormatan dan derajat sebagai manusia. Dengan tidak mengandai-andai, datangnya uang banyak, dengan sedikit bekerja dan berbuat baik.

“Jika hidupmu tak kaya, sebab Tuhan memberi takdir. Berperilaku tidak menyakiti hati orang lain. Atau  sedikitnya  satu kali dalam satu tahun  berbuat baiklah kepada orang lain, entah itu dengan tenagamu, atau pikiran-pikiranmu,” kata Pak Sulaiman. ***

*Orang biasa