Gelem Dhuwite, Emoh Wonge

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Pagi buta setelah salat subuh dawai sosial berdering. Seorang keluarga mengabarkan bahwa ada Om yang istrinya meninggal dunia. Maka, semua acara hari itu saya dibatalkan. Semua disusun serba mendadak, setelah selesai makan pagi, karena ini wajib sifatnya, maka kendaraan dipacu kearah selatan untuk mengupayakan agar bisa menyalatkan  jenazah.

Sementara menunggu pemandian dan pengkafanan jenazah para tamu duduk ditenda yang sudah disediakan, saat itu lamunan melayang begitu singkatnya hidup. Almarhum tiga pekan lalu masih sempat bicara dan canda di suatu perhelatan pernikahan, tenyata hari ini beliau pulang.

Saat lamunan menerawang, tiba tiba orang sebelah menegur dengan bahasa Jawa kromo inggil “Panjenengan saking pundi Pak”.

Tentu saja bahasa ibu yang sangat akrab ditelinga dan jarang terdengar akibatnya menjadikan diri seolah berada dikomunitas yang berbeda. Pembicaraan dimulai dalam adat Jawa yang istilah jawa nya “mbagekke”; yaitu menanyakan kabar kemudian berangkat jam berapa dengan siapa; hal seperti ini semacam standard untuk masyarakat jawa. Bahasa itu menjadikan rindu sosok almarhum orang tua yang sudah berpulang sejak 2006 lalu.

Pembicaraan begitu “gayeng” (mengasyikkan), mgelantur sampai pada moment pemilihan kepala daerah. Beliau “ngudo roso” (mengeluarkan isi hati) bagaimana dari pemilihan ke pemilihan. Selama itu beliau menjadi relawan salah satu pasangan calon. Dan, semua calon yang didukungnya selalu menang selama tiga kali pemilihan; namun betapa kecewanya beliau saat kandidat sudah duduk, untuk dijumpai saja setengah mati, bahkan cenderung menolak ketemu. Dari peristiwa itu maka pada saat ini beliau mengubah prinsip “gelem duwit e, emoh wong nge” seperti judul tulisan ini yang terjemahan bebasnya “Uangnya mau, milih orangnya tidak”. Tentu saja jawaban ini sangat mengejutkan, dan saat didesak untuk menjelaskan dasar filosofinya, setengah berbisik ditelinga beliau menjelaskan hakikat dan filosofinya, dan sayangnya apa yang dibisikkan itu tidak patut untuk ditulis pada media ini.

Setelah upacara pensholatan dan pemakaman jenazah selesai kami berpisah, dan dalam perjalanan pulang itulah renungan akan filosofi tadi menantang untuk disimak melalui jejak digital. Ternyata ditemukan informasi digital bahwa dalam filosofi Jawa, ungkapan “gelem duwit e, emoh wong nge” memiliki makna mendalam yang terkait dengan prinsip dan etika dalam menjalani kehidupan. Secara harfiah, frasa ini dapat diartikan sebagai “mau uangnya, tapi tidak mau orangnya.” Filosofinya berfokus pada hubungan antara kebutuhan materi dan hubungan antarmanusia, serta mengajarkan agar tidak hanya mencari keuntungan semata tanpa menghargai orang lain yang terlibat.

Keluasan dan kedalaman makna diksi ini mencakup: Pertama, Prinsip Keserakahan: Ungkapan ini mengingatkan agar seseorang tidak menjadi tamak atau hanya memikirkan keuntungan materi tanpa menghormati dan menghargai pihak lain.

Kedua, Etika dalam Hubungan: Mengajarkan pentingnya menjaga hubungan baik dengan orang-orang di sekitar, bukan hanya memanfaatkan mereka untuk kepentingan pribadi.

Ketiga, Keseimbangan Moral: Pentingnya keseimbangan antara materialisme dan kemanusiaan, di mana mengejar kekayaan tidak seharusnya membuat seseorang melupakan moralitas dan etika sosial.
Dalam kehidupan sehari-hari, pepatah ini menasihati kita agar menghargai kontribusi dan keberadaan orang lain, bukan hanya memanfaatkan hasil yang mereka berikan. Seperti apa yang dirasakan oleh “piyantun jawi” tadi, sehingga kita paham jika beliau pada akhirnya menjadi pragmatis. Pertanyaannya berapa banyak individu yang seperti ini pada era sekarang; dan tentu ini sangat membahayakan perjalanan demokrasi negeri ini.

Pertanyaan lanjut sadarkah para pengambil kebijakkan dan keputusan ditingkat pusat sampai daerah akan perubahan fenomena ini di tengah masyarakat. Belajar dari sejarah masa lalu kita sering baru menyadari setelah semuanya terlambat; akhirnya kita sibuk mencari “kambing hitam”, sementara sebenarnya kambing sudah lama berubah menjadi hitam.

Jangan sampai bak pepatah mengatakan “arang habis besi binasa”; kita sudah mengeluarkan dana triliunan rupiah hanya untuk mendudukan pasangan memimpin daerah, yang kita peroleh tidak sebanding dengan itu semua. Akibatnya kita akan memperoleh sosok pemimpin yang standard-standar saja akibat dari buah sistem yang kita bangun tidak melahirkan pemimpin yang berkualitas.