Teraslampung.com, Purworejo — Pergelaran“Gendhing Setu Legi” yang digagas sebagai sarana berkumpulnya masyarakat Jawa di kawasan Kabupaten Purworejo dan sekitarnya kembali digelar di Pendopo Agung Kabupaten Purworejo, Sabtu (11/1) malam ini.
Pergelaran Gendhing Setu Legi” yang bertujuan untuk mengenalkan kembali seni budaya Jawa, meningkatkan kecintaan sebagai orang Jawa, serta mencoba memfasilitasi eksistensi dan aktualisasi kesenian lokal Purworejo ini khususnya dan kesenian Jawa umumnya. Untuk pergelaran malam ini akan ditaja Tari Jawa Klasik “Beksan Golek Ayun-ayun” dan “Beksan Anoman Cakil” serta akan dibeber Wedhar Kawruh” Edukasi Tumpeng untuk Upacara Jawa”.
Ketua penyelenggara Stephanus Aan, mengatakan , pemilihan waktu hari Setu (sabtu) didasarkan pada tradisi Jawa untuk nguri-uri tradisi orang Jawa yang melakukan pengetan untuk hari lahir, weton, atau hari tertentu yang dianggap sakral.
“Kami kemudian mengambil Hari Jadi Kabupaten Purworejo pada 27 Februari 1831 yang jatuh pada hari Minggu Pahing sebagai satu pijakan utama dalam penyelenggaraannya. Kebiasaan orang Jawa adalah melakukan lek-lekan (begadang) di malam hari sebelumnya, dan aktivitas itulah yang kemudian jatuh pada Sabtu Legi,” papar Stephanus Aan yang aktif bergiat di Komunitas Tiyang Jawi.
“Gendhing Setu Legi” , lanjut, Aan panggilan karib Stephanus Aan, mengundang seluruh masyarakat untuk datang selaku orang Jawadengan menggunakan busana (dress code) pakaian Jawa lengkap berupa surjan lurik, jarik, blangkon/udheng/iket dan pusaka untuk pria serta kebaya dan jarik untuk perempuan. Kegiatan ini memberikan ruang berinteraksi dengan menggunakan tata cara dan bahasa Jawa.
“Gendhing Setu Legi” saat ini te;ah memasuki Tahun II dan pada 11 Januari 2020 nanti merupakan pagelaran pertama di tahun 2020. Sebelumnya pada Tahun I, telah dilaksanakan pagelaran sebanyak dua kali yaitu pada 2 November 2019 dan 7 Desember 2019,” imbuh Aan.
Harapannya, tandas Aan, pergelaran “Gendhing Setu Legi” menjadi salah satu upaya nyata akan pelestarian seni budaya Jawa sekaligus sebagai bukti bahwa putra-putri Purworejo masih berpegang teguh pada falsafah dan nilai-nilai kearifan lokal serta jatidirinya sebagai masyarakat Jawa.
”Ini sebagai bukti kalau masyarakat Purworejo merasa handarbeni terhadap budayanya, sehingga terpanggil untuk ikut nguri-uri, menumbuhkembangkan agar tetap ngremboko dan melestarikannya,” kata Aan