TERASLAMPUNG.COM — Peneliti Merapi Cultural Institute (MCI), Gendhotwukir, mensinyalir adanya upaya penyusupan radikalisme agama melalui dunia pendidikan usia dini. Kelompok-kelompok radikal ini menanamkan ajaran radikal pada anaknya selama menjalani pendidikan formal sejak usia dini.
“Bukti konkretnya, berdalih sesuai ajaran agama, anak-anak kecil dilarang bersalaman dengan guru perempuannya dan dilarang ikut acara keagamaan sekolah meski seagama dengan dalih beda aliran. Bahkan, penyusupan itu konkret dengan kehadiran buku-buku yang berbau radikalisme seperti yang belum lama ini terjadi di Solo,” kata Gendhotwukir melalui rilis MCI yang dikirim ke redaksi Teraslampung.com, Selasa (26/7/2016).
Menurut Gendhotwukir, di sejumlah sekolah sudah muncul gerakan terselubung dari kelompok tertentu yang menanamkan paham-paham anti keberagaman. Anak-anak ini benar-benar didoktrin secara radikal. Kondisi ini sangat berbahaya dan korban indoktrinasi radikal inilah embrio-embrio kaum radikal yang ke depannya sangat berbahaya.
“Oleh sebab itu, dunia pendidikan kita harus benar-benar peka dan jeli dengan realitas ini,” tegasnya.
Gendhotwukir mengatakan, radikalisme di setiap agama berkembang ketika mereka yang pemahaman agamanya sempit dan sepotong-sepotong bertemu guru yang menjerumuskan dan memerintahkannya untuk berjihad dengan berjuang melawan pihak lain yang seolah-olah menghalangi upaya menegakkan kekuasaan dan kedaulatan Allah dalam kehidupan sehari-hari.
“Sejatinya radikalisme itu memiliki pilar evaluasi, penolakan dan perlawanan terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Dengan kata lain, radikalisme itu tidak muncul tanpa sebab,” tegas peneliti yang pernah mendalami filsafat di Jerman itu.
Ia menambahkan radikalisme memiliki tujuan akhir yaitu menggantikan tatanan yang ada dengan tatanan baru yang ada dalam pikiran pelaku dan kelompoknya. Mereka ini pun memiliki beragam skenario untuk mengkader dan merekrut.
“Sesuai arti dasar kata radic, sikap radikal mengandaikan keinginan untuk mengubah keadaan secara mendasar,” tandasnya.
Sebagai sebuah gerakan radikal, mereka ini biasanya keukeuh dengan ideologi yang dipegangnya dan tak jarang menciptakan embrio-embrio yang diharapkan lebih radikal. Di ranah sosial mereka ini mengatasnamakan nilai-nilai ideal seperti kerakyatan atau kemanusiaan, sedangkan dalam ranah agama mengatasnamakan kehendak Allah.
“Mereka ini berjuang melawan musuh-musuh tertentu yang muncul dalam bentuk komunitas atau tata sosial keagamaan yang dipandang menyimpang serta berjuang atas nama Allah,” tegas peneliti yang kini intensif mendalami Cultural Studies.
Ia menambahkan kaum radikal ini biasanya menolak cara pikir historis dan hermenis dalam memahami Kitab Suci agamanya. Gerakan kelompok ini juga bersifat eksklusif dan dipertegas dengan dianutnya identitas-identitas khusus.
“Di situ ada klaim kebenaran secara absolut, ketaaatan buta dan pemahaman agama yang sempit atau bahkan salah dan cenderung menyimpang,” tegasnya.
Cenderug menyimpang karena mereka ini tertutup untuk dialog dan hanya berkutat dengan dirinya sendiri atau yang sepemahaman.
“Dialog yang komprehensif menjadi momok yang menakutkan bagi mereka, juga karena adanya arogansi atas klaim kebenaran tunggal. Dengan kata lain, di luar keyakinannya, tidak ada kebenaran. Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud harus jeli dan waspada dengan penyusupan gerakan radikalisme di dunia pendidikan,” kata dia.
Menurutnya, radikalisme di ranah ilmu sosial sejatinya bukanlah konsep yang begitu asing lagi. Disiplin politik, sosiologi dan sejarah sudah sejak berabad-abad yang lalu menggunakan istilah ini untuk menelaah fenomena sosial tertentu.
“Khusus untuk radikalisme agama, istilah ini menjadi fenomenal dan populer di abad ini seiring dengan masifnya serangan bom kaum radikal yang mengguncang berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia,” ujarnya.