Ketua NU, Toni Wanggai (ketiga dari kiri) dan Presiden GIDI, Pendeta Dorman Wandikbo (ketiga dari kanan) usai pertemuan di Kantor NU Provinsi Papua . Foto: Jubi/Victor Mambor. |
JAYAPURA, Teraslampung.com — Presiden Gereja Indjili di Indonesia (GIDI), Pendeta Dorman Wandikbo bersilaturahmi ke Kantor Pengurus Nahdatul Ulama (NU) Provinsi Papua untuk mencari solusi atas insiden yang terjadi di Karubaga, Tolikara pada tanggal 17 Juli 2015 lalu. Kedatangan Presiden GIDI ini disambut oleh Ketua NU Provinsi Papua, Toni Wanggai.
“Kami datang bersilaturahmi ke sini (Kantor NU) sekaligus untuk memecahkan masalah perdamaian antara umat GIDI dan umat muslim yang ada di Tolikara, paska insiden kemarin,” ujar Pendeta Dorman, kepada Jubi dalam pertemuan di Kantor NU, Senin (27/7/2015).
Presiden GIDI dalam pertemuan tersebut datang bersama Pendeta Benny Giay, Ketua Sinode Kingmi. Selain dua pendeta ini, hadir juga Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Papua. Kedua pendeta ini mengaku sangat berterima kasih atas pernyataan Ketua NU, Toni Wanggai beberapa waktu lalu yang menegaskan bahwa insiden Tolikara bisa diselesaikan oleh orang Papua sendiri, tidak perlu campur tangan orang luar Papua.
Toni Wanggai menyambut baik niat dua pendeta ini. Ia kembali menegaskan insiden di Tolikara harus diselesaikan oleh orang Papua sendiri. Ia berharap masalah ini bisa selesai secepatnya karena dalam waktu dua bulan ke depan, umat muslim kembali akan melakukan Sholat Ied untuk memperingati Hari Raya Idul Adha.
“Setahu saya, tanah yang digunakan oleh umat muslim membangun Mushola adalah tanah gereja. Kemudian, pihak GIDI bersama Bupati Tolikara juga menyumbangkan sapi untuk umat muslim sebagai permintaan maaf atas surat edaran yang terlanjur diedarkan itu, sekaligus klarifikasi. Ini menunjukkan sudah ada niat baik sebelum insiden terjadi. jadi kita bisa selesaikan sendiri,” kata Toni.
Pendeta Dorman menjelaskan, surat klarifikasi yang dikeluarkan untuk mengklarifikasi surat edaran yang kemudian menjadi masalah itu tidak sampai kepada Kapolres Tolikara sebelum tanggal 17 Juli yang bertepatan dengan hari Idul Fitri. Penyebabnya karena Bupati Tolikara sebagai Ketua Panitia penyelenggaraan kegiatan GIDI pada tanggal 14 pagi harus berangkat ke kampung Panaga untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antar masyarakat di kampung tersebut.
Dalam pertemuan ini kedua pemimpin umat Muslim dan Kristen ini menyempatkan diri berbicara dengan Ustad Ali Mukhtar, pemimpin umat Muslim di Karubaga, Tolikara. Dalam percakapan melalui sambungan telepon, Ustad berumur 38 tahun ini mengaku dalam keadaan baik-baik. Ia sangat senang bisa bicara langsung dengan Presiden GIDI meskipun melalui sambungan telepon. Ia juga mengaku sangat senang karena umat muslim di provinsi Papua telah bertemu dengan pihak GIDI untuk memulai proses perdamaian yang hakiki antara umat muslim di Tolikara dengan masyarakat setempat yang mayoritas anggota GIDI.
“Ya. Dalam waktu dekat, setelah tamu-tamu dari Jakarta yang datang ke Karubaga ini pulang, saya akan ke Jayapura. Saya harap bisa bertemu dengan pak Presiden GIDI agar kehidupan umat muslim dan masyarakat asli Karubaga bisa aman dan nyaman seperti sebelumnya. Memang masalah ini hanya bisa diselesaikan oleh kita sendiri, tidak perlu campur tangan pihak lain. Karena selama sembilan tahun di sini (karubaga), belum pernah terjadi yang seperti kemarin, baik ancaman maupun pelarangan. Kita biasa sholat, aman-aman saja. Hubungan kita juga harmonis bersama saudara-saudara kami di sini. Waktu kios saya terbakar, saya tinggal di rumah orang asli Tolikara beragama Kristen di kompleks Koramil 1702-11. Saya juga diberikan genset oleh pak Presiden GIDI. Terima kasih, untuk genset itu pak,” ujar Ustad Ali Muktar melalui sambungan telepon saat bercakap dengan presiden GIDI.
Baik Ustad Ali Muktar, Toni Wanggai maupun Pendeta Dorman sepaham bahwa umat muslim dan jemaat GIDI adalah korban dalam insiden di Karubaga itu.
“Umat muslim menjadi korban karena dilarang beribadah. Sedangkan umat GIDI menjadi korban penembakan oleh aparat keamanan. Selain kerugian material yang dialami oleh dua belah pihak. Dua-duanya adalah korban,” kata Toni Wanggai.
Pendeta Dorman dalam kesempatan ini, menjelaskan bahwa informasi yang menyebutkan GIDI melarang dedominasi Kristen lainnya untuk membangun gereja di Tolikara tidak benar.
“Mereka seharusnya bertanya pada saya. GIDI tidak pernah melarang dedominasi lainnya membangun gereja di Tolikara. Yang benar adalah, ada umat GIDI yang bermasalah yang kemudian menjadi umat dedominasi lain, ingin membangun gereja di Tolikara. Jadi masalahnya adalah masalah individu tersebut, bukan masalah gereja,” kata Pendeta Dorman.
Di akhir pertemuan, kedua pemimpin umat ini sepakat untuk melakukan beberapa tahap rekonsiliasi menuju perdamaian antara umat muslim dan umat GIDI di Tolikara.
“Dalam waktu dekat kami akan bertemu kembali untuk membahas langkah konkrit kami. Insya Allah, umat muslim di Tolikara bisa sholat Ied dengan tenang saat Idul Adha nanti,” ujar Toni Wanggai.
tabloidjubi.com