TERASLAMPUNG.COM — Tuntutan dan vonis ‘aneh’ terkait kasus narkoba dengan terdakwa Sekretaris Daerah nonaktif Kabupaten Tanggamus Mukhlis Basri terus menuai gugatan.
Selain menjadi olok-olok dan bahan sindirian di dunia maya, vonis sangat ringan dan rehabilitasi Mukhis Basri juga ditentang DPD Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat). Kini Granat meminta Kejaksaan Agung (Kejagung), Komisi Yudisial (KY), dan Mahkamah Agung (MA) menyelidiki ringannya hukuman untuk Mukhis Basri.
BACA: Kasus Narkoba, Sekda Tanggamus Hanya Divonis Satu Bulan Penjara
“Hari ini kami kirim suratnya. Kami menilai vonis ringan yang dijatuhkan kepada tersangka narkoba sering terjadi, termasuk di Lampung. Banyak penyalahgunaan narkoba dihukum rehab. Padahal Presiden Joko Widodo sudah mengintruksikan pemberantasan segala bentuk penyalahgunaan narkoba,” kata Ketua Granat Lampung, Tony Eka Candra, di RM Begadang Resto, Rabu (29/3/17)/
Menurut Tony, pelaku tindak pidana narkotika seharusnya dihukum maksimal agar menimbulkan efek jera. Selain itu, penegak hukum harus konsisten dalam menegakkan supremasi hukum, demi memenuhi rasa keadilan dan upaya pemberantasan tindak pidana narkotika.
Tony mencontohlam tertangkapnya Ridho Rhoma, anaknya Raja Dangdut Rhoma Irama. Karena tertangkap, Ridho Roma bukan korban. Diia harus mempertanggungjawabkannya secara hukum. Beda kalau dengan kesadaran sendiri menyerahkan diri untuk minta direhab, katanya.
Ketua Granat Bandarlampung, Ansori, mengatakan dalam Pasal 62 UU No. 5 Tahun 1997, kata Gindha Ansori Wayka ancamannya bisa lima tahun penjara dan denda seratus juta rupiah terhadap orang yang membawa psikotropika.
“Jaksa ternyata cuma menuntut lima bulan dan sepuluh juta rupiah,” katanya.
BACA: Henry Yosodingrat Sinyalir Hasil “Assesment” Rehabilitasi Tersangka Narkoba Diperjuabelikan
Dengan tuntutan rendah terhadap Mukhlis dan dua rekannya, menurut Gindha Ansori Wayka, telahbmemicu stigma negatif terhadap penegakan hukum yang tidak mencerminkan semangat yang digaungkan oleh pemerintah itu sendiri.
Gindha Ansori Wayka menilai hati nurani hakim seperti mati bila memberikan vonis ringan tanpa mempertimbangkan bukti-bukti, saksi dan fakta yang terungkap di persidangan. Vonis ringan itu memunculkan dugaan adanya praktik mafia peradilan dalam penetapan putusan kasus narkotika, ujarnya.
Menurut Ansori, aalaupun di dalam UU 35 tahun 2009 tentang narkotika ada vonis rehabnya dipasal 103, tetapi tetap saja bahwa hukum ini seolah cidera dalam implementasinya.
TL/ILS