Opini  

Gubernur Lampung For Sale

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh : Gunawan Handoko *

Meskipun pelaksanaan Pemilihan Gubernur (Pilgub) baru akan diselenggarakan secara serempak pada 17 Juni 2018, namun suhu politik sudah mulai menghangat, dibarengi dengan banyaknya baleho dan banner para kandidat yang menghiasi tempat-tempat strategis di perkotaan dan pelosok desa. Bukan itu saja, media sosial seperti Facebooks, Twetter dan Youtube menjadi ajang bagi para tim sukses untuk ‘menjual’ para kandidat yang didukungnya.

Media sosial ini memang cukup efektif untuk melakukan sosialisasi, karena dalam waktu singkat informasinya langsung dapat di respon oleh masyarakat secara luas, dari kota sampai ke pelosok desa. Sayangnya, para kandidat tidak mengemas secara baik dengan dukungan operator yang cerdas dan mumpuni. Alih-alih program sosialisasi dapat mengenai sasaran, justru berubah menjadi black campaign dan saling ejek dan menjelek-jelekkan kandidat yang bukan pilihannya. Maka tidak jarang ‘pemirsa’ yang sadar politik lebih memilih untuk memblokir akun milik tim sukses yang isinya hanya perdebatan seperti berebut tulang tanpa sumsum.

Pemilihan Gubernur Lampung kali ini memang sangat menarik, dengan munculnya banyak kandidat. Ada memang yang masih malu-malu kucing, tapi ada pula yang dengan terang-terangan berani mendeklarasikan dirinya sebagai Calon Gubernur, meski saat ini masih dalam tahap Bakal Calon, belum Calon Tetap.

Hanya KPU sebagai penyelenggara Pemilu yang berhak untuk menetapkan Calon. Semua kandidat – termasuk kandidat yang menjabat ketua Parpol – saat ini masih sibuk melakukan lobi-lobi ke partai politik untuk mendapatkan dukungan minimal 17 kursi parlemen atau 20 persen dari jumlah anggota legislatif yang ada.

Koalisi antar partai harus dilakukan, mengingat tidak ada Parpol yang memiliki perwakilan sejumlah persyaratan diatas, kecuali PDI Perjuangan. Mestinya para kandidat dalam melakukan sosialisasi dibarengi pula dengan pendidikan politik bagi masyarakat, agar masyarakat menjadi paham bahwa sosok yang mereka kagumi saat ini sedang berjuang untuk bisa tampil sebagai Calon Tetap. Hal ini sangat penting untuk memberikan pehamaman yang benar tentang tahapan Pemilu, sekaligus untuk menciptakan suasana yang sejuk di tengah masyarakat. Mungkin akan lebih menyentuh hati apabila para kandidat memohon do’a restu kepada masyarakat agar dapat memperoleh dukungan dari parpol, ketimbang menunjukkan kehebatan diri dan janji-janji.

Saling sindir, saling hujat dan saling serang antar kandidat pun hendaknya dihentikan, karena hal tersebut sama sekali tidak menguntungkan. Justru hanya akan menumbuhkan rasa tidak simpati masyarakat yang berimbas menurunnya partisipasi calon pemilih. Para kandidat harus bisa menunjukkan sifat kenegarawanannya dan memang pantas untuk dipilih.

Setiap memasuki medan laga, calon pemimpin yang baik harus memiliki sifat ksatria, yakni perang tanpa harus bertanding, menyerbu tanpa membawa pasukan, dan meraih kemenangan tanpa ada yang merasa dikalahkan. Sosok seperti inilah yang diidamkan masyarakat saat ini, khususnya masyarakat Lampung yang dikenal berbudaya dan religius. Yang dibutuhkan masyarakat saat ini bukan janji-janji, namun sosok pemimpin yang memiliki komitmen dan keberpihakannya kepada rakyat tidak diragukan.

Diyakini, masyarakat akan mudah jatuh hati kepada kandidat yang berpolitik secara santun. Kesantunan akan menuntun seseorang untuk menghargai perbedaan pendapat. Kesantunan juga akan membimbing seseorang pada sebuah komitmen atau kesepakatan sehingga perbedaan menjadi benih mewujudkan kebersamaan. Memang benar, ada istilah dalam berpolitik yang abadi adalah kepentingan. Selama kepentingannya sama maka kelanggengan dapat terjaga. Tetapi pernahkah disadari bahwa terkadang realitas yang terjadi di mana kepentingan yang dilanggengkan itu melanggar nurani atau menabrak rambu-rambu kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?

Saat perilaku politik (sengaja atau tidak sengaja) menjauhi kesantunan maka adegan yang memalukan pun akan terjadi. Sehingga saling hujat bukanlah sebuah kesalahan, beradu argumentasi yang berujung pada adu fisik menjadi hal yang biasa, atau saling klaim dengan mengusung nama kepedulian menjadi identitas yang berujung pada penonjolan ego diri yang berlebihan.

Perlu disadari bahwa Pilkada bukan semata-mata hanya untuk memilih pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur, namun juga harus mampu memberikan pendidikan berpolitik dan berdemokrasi bagi rakyat. Sekedar untuk sosialisasi sah-sah saja, namun jika disertai dengan memberikan sesuatu dengan pamrih untuk menarik simpati rakyat, sungguh hal tersebut akan menghambat proses pendidikan politik dan demokrasi. Kita harus belajar banyak dari pelaksanaan Pemilihan Gubernur DKI yang baru saja berlangsung. Banyak pihak yang kecele dan merasa telah ’dibohongi’ rakyat. Rakyat kita sudah semakin cerdas dan berpikir rasional. Mereka tidak bisa lagi dicekoki dengan janji-janji muluk atau diiming-imingi dengan bantuan sembako.

Rakyat butuh sesuatu yang pasti disertai bukti konkret. Rakyat juga tidak bisa lagi dipengaruhi oleh tampilnya tokoh-tokoh agama seperti kiai dan ulama agar memilih calon tertentu. Belajar dari itu semua, maka kunci utama untuk merebut hati rakyat bukanlah dengan berjualan janji dan menabur uang serta sembako, itu cerita masa lalu yang harus disudahi. Pilgub Lampung harus menjadi pesta rakyat yang nyaman, aman dan menyenangkan.

* Pengurus Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan (PUSKAP ) Wilayah Lampung