Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Sejarah gula di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari praktek kolonialisme Belanda. Bahkan, bumi Nusantara yang dulu bernama Hindia Belanda pernah menjadi wilayah dengan produksi gula terbesar. Dalam jurnal The Sugar Industry of Colonial Java and Its Global Trajectory, disebutkan bahwa dari tahun 1870 sampai akhir abad ke-19, Jawa secara konsisten merupakan produsen sekaligus eksportir gula tebu terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Mengutip laman resmi LP2M Universitas Jember, kegiatan ekspor gula dari Hindia Belanda tercatat dilakukan di Batavia oleh VOC.
Namun demikian, ada indikasi bahwa pembuatan gula kristal di Indonesia pertama kali dilakukan di wilayah Banten. Masih mengacu pada sumber yang sama, hal tersebut berangkat dari adanya batu Silinder di Museum Banten Lama dan lukisan peta Kota Banten tahun 1595. Ketika Belanda datang ke Indonesia dan mulai melakukan koloni di Pulau Jawa, kebun-kebun tebu monokultur mulai dibuka.
Menukil dari jurnal Dinamika Industri Gula Sejak Cultuurstelsel Hingga Krisis Malaise Tahun 1830 – 1929, pembukaan kebun tebu secara masif dilakukan saat kebijakan sistem tanam paksa diberlakukan. Imbasnya gula menjadi motor penggerak masuknya pundi-pundi keuntungan ke kas negara kolonial. Pada tahun 1835, sudah banyak pabrik gula yang dibangun di Jawa. Sebagai contoh, di tahun tersebut Buduran, Waru, Karang Bong. Tiga tahun berselang, didirikan juga pabrik di daerah Candi, Watutulis, Balong Bendo, dan Gedek. Sistem tanam paksa atau Cultuurstelsel sendiri membawa penderitaan bagi pribumi. Khususnya para petani khususnya di Jawa yang sengsara. Bayangkan saja, di tengah meningkatnya nilai ekspor gula di tahun 1840 yang mencapai 74,2 gulden, kesejahteraan petani justru terabaikan.
Sementara itu dikutip dari buku Jalur Gula Kembang Peradaban Lama Kota Semarang, pada 1860-an, Kuba sebagai negara produsen gula terbesar telah memiliki 77 pabrik yang dilengkapi dengan teknologi vaccuum pan. Sedangkan di Jawa, tidak kurang dari 55 pabrik yang memiliki alat tersebut. Setelah sistem tanam paksa digantikan oleh kebijakan agraris wet di tahun 1870, pihak swasta akhirnya ikut masuk ke dalam industri gula. Sehingga produksi gula meningkat pesat, namun kehidupan petaninya tetap nelangsa.
Manisnya gula lekat dengan sejarah Jawa, khususnya daerah Solo dan sekitarnya. Dua pabrik gula yang berada di sebelah timur dan barat Solo, Colomadu dan Tasikmadu, didirikan oleh Mangkunegara IV. Pada masanya, keduanya menjadi sumber pendapatan utama bagi Kerajaan Mangkunegaran.
Mangkunegaran merupakan satu dari empat kerajaan Jawa yang pada masa kolonial dikenal sebagai vorstenlanden atau “tanah raja-raja”, merujuk pada daerah kerajaan Jawa yang bersifat otonom dan tidak secara langsung dikuasai pemerintah Hindia Belanda. Vorstenlanden terbagi dalam dua karesidenan, yakni Surakarta dan Yogyakarta. Karesidenan Surakarta terbagi lagi menjadi dua wilayah, yakni Kasunanan Surakarta milik Susuhunan (berarti Yang Disanjung) dan Mangkunegaran milik Adipati Mangkunegoro (yang berarti Ribaan Negara).
Wilayah Mangkunegaran mencakup pusat pemerintahan yang berlokasi di Kota Surakarta bagian utara dan daerah pedesaan yang berlokasi di selatan dan timur Solo. Sekarang, wilayah di selatan Solo masuk ke wilayah Kabupaten Wonogiri. Sementara itu, yang berada di timur masuk wilayah Kabupaten Karanganyar.
Sebelum memiliki pabrik gula, sumber pendapatan tradisional Mangkunegaran adalah pajak tanah. Namun, penghasilan dari pajak tanah dirasa kurang mencukupi kebutuhan Mangkunegaran. Wasino (2005) mengisahkan, ide untuk mendirikan perkebunan tebu sekaligus pabrik gula konon bermula ketika Mangkunegara IV berkunjung ke kediaman putra menantunya yang menjabat sebagai Adipati Demak. Di sana ia mengamati, pohon tebu dapat tumbuh subur di area-area perkebunan kelapa yang menjadi bahan dasar industri gula Jawa. Mengetahui bahwa di wilayahnya sendiri pun ada lahan dengan karakteristik serupa, Mangkunegaran IV langsung berkeinginan membangun industri gula milik Praja Mangkunegaran.
Pabrik gula Colomadu berhasil meraih sukses. Dalam panen perdana tahun 1862, dari 135 bahu sawah yang ditanami tebu berhasil diperoleh 6.000 pikul gula. Keberhasilan ini memberi Mangkunegaran modal untuk membangun pabrik gula kedua, yakni pabrik gula Tasikmadu (tasik berarti lautan, madu berarti gula). Pabrik yang mulai dibangun tahun 1871 itu didirikan di Desa Sandakara, Karanganyar. Wasino menyebutkan, hasil gula dari pabrik-pabrik ini dijual ke Singapura dan Bandaneira, selain digunakan untuk konsumsi lokal.
Berdasarkan informasi di atas dapat ditarik benang merah bahwa gula dengan tahta itu berkelindan secara sempurna dari sejak jaman dahulu kala. Semula kerjaan yang hanya mengandalkan cukai atau pajak terhadap rakyat, ternyata menemukan sumber dana baru yaitu gula. Dengan gula inilah menjadikan kerajaan memiliki posisi tawar secara politik dengan pemerintahan penjajah.
Tampaknya pola relasi seperti ini maju berkelanjutan sampai hari ini di tempat lain, dengan seting lain, namun esensinya tetap sama. Ternyata manisnya gula itu berkait erat dengan tahta. Hanya manisfestasinya tahta itu berbeda-beda sesuai dengan konteks kekinian. Bisa saja berwujud sebagai jabatan tertentu dalam pemerintahan, organisasi; atau apapun namanya; dan ini merupakan perwujudan lain bagaimana daya tarik manisnya gula bisa menjadikan manis apapun dari sesuatu yang pahit sekalipun.
Tidaklah menjadi aneh manakala manisnya gula dijadikan posisi tawar oleh penguasa atau yang merasa berkuasa terhadap gula, guna kepentingan tertentu untuk tujuan tertentu. Ini sudah dicontohkan oleh Mangkunegara IV dalam mengokupasi tanah yang diberikan kepada pembesar kerajaan ditarik kembali, kemudian dijadikan kebun tebu. Sementara mereka yang terkena program ini diberi palilah (pengganti) berupa uang. Sementara sekarang dibalik posisinya, yaitu pemilik pabrik gula bisa “mendudukkan” pejabat, dengan tujuan untuk mendapatkan pelayanan “istimewa” semua urusan yang berhubungan dengan bisnis pergulaannya.
Ternyata manisnya gula bisa menjadi gula-gula bagi siapapun, dari rakyat sampai pejabat. Dan lebih seru lagi gula bisa menggoyang tahta, sekalipun dimiliki oleh wanita. Karena gula tidak mengenal jenis kelamin ataupun kasta, sekalipun gula bisa membuat strata. Lebih ampuh lagi ternyata gula bisa membuat suara menjadi “iya” atau “tidak iya”; tergantung sang pemilik gula untuk membuat apa dengan cara apa, dan menyuruh siapa untuk berbuat apa.
Bagaimana jasa gula tidak perlu terlihat. Ini dibuktikan saat kita minum kopi: jika kurang gula kita katakan “kopi pahit”, jika kebanyakan gula kita katakana “kopinya kemanisan”. Gula bisa melebur dan larut ke dalam segala macam sendi kehidupan, sehingga jika sakit baru kita timpahkan dosanya pada gula yaitu “sakit gula”.
Semoga kita memahami bagaimana harubirunya gula dalam kehidupan nyata. Bisa jadi gula-pun dapat untuk membeli demokrasi, sehingga label demokrasi berubah menjadi “demokrasi gula”. Jadi, tidak salah jika untuk menjadi pejabat pun harus paham dengan gula. Sebab jika diperlukan untuk meraih jabatan, jadi gula-gula-pun harus sanggup melakoninya. Gula-gulanya pemilik gula sehingga sempurnalah menjadi pelindung kebun tebu penghasil gula.
Selamat ngopi pagi tanpa gula.