Gulai dan Tembakau

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di FKIP Unila

Gule (gulai), sate (satai), dan tongseng adalah tiga makanan favorit untuk mereka yang menyukai masakan dari daging kambing; utamanya mereka yang masih usia di bawah enam puluh tahun dan tidak memiliki masalah dengan penyakit darah ringgi. Hidangan ini khusus dijual oleh warung makan tertentu khas Jawa  dan sudah tersebar di seantero Nusantara. Semua pecandunya akan mengatakan makanan ini enak, apalagi pada warung tertentu yang menjadi favorit banyak orang.

Demikain juga dengan tembakau. Bagi para perokok akan memiliki selera tembakau tersendiri; apakah masih berupa tembakau belum olahan, atau sudah menjadi sigaret kretek. Setiap perokok memiliki rokok favoritnya masing masing dengan nama yang berbeda antara satu dengan yang lain. Karena tingkat kegemaran atau kesukaan yang tinggi, sampai sampai malam hujan lebatpun jika kehabisan rokok, para perokok akan menembus badai dan gelapnya malam, untuk mencari warung rokok yang masih buka. Tampaknya luar biasa tingkat keenakan rokok mempengaruhi dorongan atau hasrat untuk memenuhinya.

Pertanyaannya bagaimana kalau gule kita campur dengan tembakau/rokok ? Secara rasa keduanya “enak”; tetapi apakah enaknya tembakau kita campur dengan enaknya gule akan menjadikan campuran “enak tenan”, atau sebaliknya “pahit tenan”? Ternyata kedua “enak” itu tidak dapat kita gabungkan agar menemukan rasa yang lebih enak. Dua enak ditambahkan, ternyata hasilnya kebalikan.

Apa penyebabnya ? hal ini karena ontologi enaknya gule dengan ontologi enaknya tembakau itu berbeda, sehingga kedua enak dalam pengertian rasa menjadi berbeda dalam pengertian substantif. Oleh karena itu,  sekalipun memiliki lambang konsonan sama, ternyata lambang itu tidak mewakili sepenuhnya substantif objek.

Bagaimana kalau itu kita bumikan dalam nalar harfiah? Ternyata kata enak tersebut hanya mewakili dalam himpunan tertentu dari jenis tertentu. Oleh karena itu,  jika jenisnya berubah atau diubah, maka kesimpulannya akan berubah, perubahan itu bisa jadi menjadikan penyimpangan.

Logika inilah sekarang yang sedang berkembang pada pemikiran kelas menengah negeri ini dalam melihat kepemimpinan baik dalam skala lokal, regional, maupun nasional. Banyak di antara mereka menemukan contoh sosok seseorang pada waktu menjadi pemimpin tuggal sangat sukses; namun begitu dipasangkan kepada pemimpin lain yang juga sukses, hasilnya justru remuk redam.

Tidak sedikit dijumpai Walikota, Bupati, Gubernur yang dengan pasangannya berumur seumur jagung mesranya. Berikutnya mereka pecah kongsi, bahkan menjadi musuh dalam selimut, atau hubungannya bak api dalam sekam. Jarang sekali pasangan baik itu bisa mengakhiri periodesasinya dengan baik; padahal mereka adalah orang orang baik.

Hubungan gule dan tembakau ini mencuri perhatian tersendiri pada saat ini. Ada calon pemimpin bangsa yang “melamar” hati rakyat dengan baliho atau spanduk berukuran raksasa; namun hasilnya justru tidak begitu menyenangkan, kalau tidak boleh dikatakan “layu sebelum berkembang”. Itu karena rakyat sekarang berbeda dengan rakyat tahun delapanpuluhan. Ada yang tanpa uborampe, cukup modal mendatangi, mendengar, mengajak; ternyata lebih banyak mendapat simpati. Kenyataan sosial seperti ini banyak tidak diwaspadai oleh para “peminat” untuk menjadi Raja atau Ratu.

Namun, janganlah berpikir jika yang terakhir itu baik, dan yang pertama kurang baik. Karena mereka memiliki galur tersendiri di dalam masyarakat. Demikian juga jika ada yang sama sama mendapat penilaian baik, kemudian dipasangkan, menjadikan lebih baik lagi. Semua itu bukan jaminan; karena sekali lagi gule dan tembakau tidak mungkin bersatu dalam satu belanga.

Ada sahabat yang pecandu rokok atau tembakau, dan penikmat gule; tetap saja mengatakan keduanya harus dinikmati dengan cara yang berbeda, tidak dengan mencampurkannya. Sanepo ini jika dimaknai secara mendalam; maka membenarkan thesis di atas. Oleh sebab itu, persoalan pasang memasangkan dalam kepemimpinan seharusnya melalui pemikiran yang mendalam. Apa lagi jika posisi diurutkan; jelas akan terjadi penomorduaan akan menjadikan rasa dirinya hanya “ban serep” yang diturunkan jika ban utama berhalangan.

Kegagalan demi kegagalan sudah pernah kita jumpai, namun kita tidak pernah mengambil hikma dari peristiwa itu. Kejadian itu seolah dimaknai sebagai “kegagalan sosial” biasa. Padahal otoritarianisme bisa jadi tidak kita sadari tumbuhnya karena kegagalan dalam memaknai sebagai orang kedua, sementara rasa diri seolah adalah nomor pertama. Sementara orang pertama merasa tidak perlu orang kedua, sejauh bisa diatur sendiri kenapa harus meminta bantuan orang kedua. Salah makna seperti ini masih terus berlangsung sampai saat ini, coba kita jujur melihat yang ada di kota kita, provinsi kita, dan atau negara kita.

Mudah-mudahan renungan sosial ini menjadi bahan referensi ke depan dalam memaknai sesuatu yang unggul, ternyata satu unggul di tambah satu unggul bukan bermakna sangat unggul, karena bisa jadi berantakan karena saling adu unggul.

Selamat berakhir pekan…..