Asarpin*
Di sebuah kawasan bukit barisan Selatan di perbatasan Tanggamus dan Lampung Barat, ada sebuah bukit yang oleh petani kopi sekitarnya dinamakan Gunung Malang. Lokasinya tak begitu jauh dari Pekon Atar Lebar. Penduduk sekitar masih memiliki tradisi mengkeramatkan pulan tuha ( belantara tua) yang tak boleh dijamah apalagi sampai menebang pohon di hutan tersebut. Kendati pulan-pulan tuha yang ada telah diapit oleh lahan pertanian kopi, namun para tetua selalu memperingatkan pada yang muda-muda agar tak coba-coba merambah belantara tua tersebut.
Alasannya sangat magis, juga terkait dengan kesuburan lahan pertanian. Jika pulan tuha itu tak ada lagi, maka air-air di sekitar pekawasan itu juga akan mengering, penjaga hutan sebagai pelindung kawasan akan pergi menjauh dan kabut-kabut saban pagi akan menghilang yang berarti kawasan itu tak subur lagi.
Pernah ada satu petani menebang pohon dekat perbatasan pulan tuha tersebut dan celakanya, pohon itu menimpa orang yang sedang memetik kopi. Kekeramatan pohon dan hutan kian menguat seiring dengan kejadian tersebut.
Tapi itu cerita yang sudah cukup lama, yang saya dengar ketika belum masuk sekolah dan ketika ibu-bapak saya masih berkebun kopi di sekitar Gunung Malang tersebut. Kini para petani tak cuma merambah kawasan keramat itu, tapi juga menghabiskan pohon-pohon besar untuk dijadikan lahan pertanian karena hanya di kawasan itulah yang masih subur di sekitar kabupaten Tanggamus bagian barat.
Apa yang dilakukan para polisi hutan kepada para petani di sana? Meminta uang setiap gubuk petani dan itu terjadi sepanjang tahun sejak tiga puluh tahun terakhir. Kini, menurut beberapa kesaksian warga, lahan-lahan pertanian kopi itu sudah tak begitu subur lagi dan para petani mulai merambah hutan perawan yang semakin mendalam untuk menemukan tanah-tanah yang masihperawan. Sampai saat ini saya merenung: mengapa gunung di kawasan itu disebut Gunung Malang. Barangkali karena sang pemberi nama sudah meramalkan bahwa gunung itu akan bernasib malang seperti yang terjadi hari ini.
Apa pun kisahnya, satu hal yang sudah hilang sejak lama dalam kehidupan para petani kita adalah: kesakralan tanah dan hutan. Sulit dijumpai di kawasan hutan di Lampung saat ini tradisi yang masih menjaga dan merawat hutan sebaagai penyangga kehidupan, karena selain kebutuhan lahan
pertanian yang meningkat sepanjang tahun, sementara lahan tak bertambah, juga cara memandang dan memperlakukan alam semesta sebagai sesuatu yang terpisah dengan Tuhan, manusia dan makhluk hidup lainnya.
Akar semua itu adalah gerak perubahan, modernisasi, dan proses pembangunan yang menciptakan desakralisasi di segala bidang kehidupan yang membuat masyarakat tidak kritis dan terbuai oleh keuntungan yang pragmatis. Gagasan-gagasan kearifan lokal dalam teori dan praktek selama ini lebih banyak diteriakkan kalangan terpelajar dan aktivis yang tersadarkan, sementara para pelaku pertanian tetap dibutakan oleh kepentingan sesaat.
* Esais