TERASLAMPUNG.COM — Pada tahun 2018, hanya ada dua judul buku sastra Lampung yang terbit, yaitu Sanjor Induh Kepira, kumpulan sajak karya Elly Dharmawanti dan Lapah Kidah Sangu Bismillah, kumpulan prosa karya Semacca Andanant. Karena tidak memenuhi ketentuan batasan minimal 3 (tiga) buku dari penulis berbeda, kedua buku tersebut penilaiannya ditangguhkan pada tahun berikutnya.
Sedangkan pada tahun 2019 terbit tiga judul buku sastra: Muli Sikop sai Segok, kumpulan sajak Z.A. Mathikha Dewa; Lawi Ibung, kumpulan cerbun (cerpen) S.W. Teofani; dan Lunik-Lunik Cabi Lunik, kumpulan cerita mini Udo Z. Karzi. Lima buku terbitan 2018 dan 2019 yang dinilai untuk Hadiah Sastra Rancage Lampung 2020.
Kelima buku itu terbitan Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung. Menjadi pertanyaan, mengapa hanya satu penerbit yang mau menerbitkan sastra (berbahasa) Lampung. Sebelumnya, ada BE Press dan Lampung Literature. Artinya, sampai setakat ini, tak lebih dari tiga penerbit yang peduli dan mau menerbitkan sastra Lampung.
Sanjor Induh Kepira (Senja yang Kesekian) berisi 71 puisi pendek-pendek Elly Dharmawanti. Puisi-puisinya banyak berbicara mengenai perasaan tak menentu ‘aku liris’ yang terluka, tetapi mencoba bersetia pada sesuatu yang diyakini. Lingkungan pesisir yang yang tercemar dan kemanusiaan yang ikut rusak bersamaan dengan hilangnya jatidiri. Secara umum, Elly cukup berhasil membangun suasana puisinya.
Sajak-sajak Z.A. Mathikha Dewa dalam Muli Sikop sai Segok (Gadis Manis yang Sembunyi) lebih banyak menggunakan bahasa yang sederhana dan lugas. Agaknya, penyair ini masih mencari-cari bentuk penyajian puisi yang pas. Namun secara keseluruhan puisi-puisi dalam kumpulan ini cukup menarik. Ada cuatan-cuatan yang membuat sajak-sajak dalam buku ini terasa lebih kuat.
Boleh dikatakan, cerbun-cerbun (cerpen-cerpen) S.W. Teofani dalam buku Lawi Ibung membawa perbedaan dibandingkan dengan cerpen-cerpen yang bertaburan di media massa. Meskipun berbahasa Lampung, cerbun Teofani mengingatkan pada cerpen-cerpen Mustafa Bisri dan Zainal Abidin Thoha.
Dengan cerita-cerita sangat pendek Udo Z Karzi melalui Lunik-Lunik Cabi Lunik (Kecil-Kecik Cabe Rawit) berkisah ringan ihwal dunia kanak-kanak, mestipun sebenarnya ia tidak sedang menulis cerita anak-anak. Terkadang, ada sentakan dari perilaku anak-anak yang membuat orang tua tertegun, tertawa, bahkan berefleksi. Sangat segar.
Akan halnya Semacca Andanant, ia hadir di Lapah Kidah Sangu Bismilah dengan bandung dan hahiwang, dua bentuk sastra lisan Lampung berbentuk prosa liris. Namun, ia berhasil memasukkan unsur modern dalam penyajian karya tulisnya.
Untuk menentukan satu dari lima karya tersebut sangatlah sulit karena pencapaian kadar sastrawi dengan spektrum estetis yang berbeda, paling tidak ada tiga spektrum, yaitu kesatuan (unity), kerumitan (complexity), dan kesungguhan (intensity).
Setelah memperhatikan, pilihan jatuh kepada Lapah Kidah Sangu Bismillah, Bandung & Hahiwang karya Semacca Andanant. Terjemahan bebas Lapah Kidah Sangu Bismillah adalah Berjalanlah dengan Bekal Bismillah. Bandung dan hahiwang merupakan jenis sastra lisan Lampung. Bandung berisi nilai-nilai agama, adat, atau aturan hidup. Bandung dalam buku tersebut ada empat belas judul dan hahiwang ada dua belas judul.
Berikut ini terjemahan dari teks Bandung yang menunjukkanpengakuan sang penutur terhadap keberadaan Allah Yang Mahakuasa.
Bismillah yang pertama, alhamdulillhya Allah Robbi, hambamu tak berdaya, hamba mohon ampunan, engkau pemilik segalanya, dari langit sampai bumi, yang Nampak oleh mata, sampai dengan yang tak Nampak oleh mata, engkau segala raja, junjungan dalam hati, Tuhan tiada memiliki rupa, tiada yang menyamai, yang memiliki segala tahta, bersemayam di arasy-nya, …. (hlm. 5).
Hahiwang berisi pahitnya kehidupan. Berikut ini terjemahan dari teks hahiwang yang menunjukkan kesedihan sang penutur.
Di situ saya tambah resah, hancur rasanya, teriak tak kusadari, menangis histeris pun terjadi, ya Allah apa daya, kasihan nasib diri ini, dengan siapa aku meminta pertolongan kalo musibah ini yang menimpa diri, ayah tak lagi bersama, ibu pun sudah meninggal dunia …. (hlm. 43).
Bandung dan Hahiwang yang seyogianya dituturkan secara lisan dengan alunan dan nada suara tertentu menjadi terdokumentasi secara tertulis, sehingga bisa dinikmati dengan cara membaca. Memang di satu sisi kehilangan kelisanannya, tetapi di sisi lain ini membuka peluang nilai-nilai dalam bandung dan hahiwang dapat dinikmati secara luas.
Hal tersebut dimungkinkan karena Semacca Andanant berhasil meramu ketradisionalan ke dalam teknologi cetak. Buku ini akan lebih bagus lagi jika dilengkapi dengan VCD yang berisi rekaman penuturan bandung dan hahiwang tersebut.
Semacca Andanant adalah nama pena dari Dainurint Toenith, kelahiran Kotaagung, 29 Desember 1974. Sejak masih SD mulai suka merangkai kata membuat wayak (pantun), segata lagu Lampung. Ia mulai mengenal bandung dan hahiwang melihat orang tuanya ngebandung di rumah. Sejak saat itu ia semakin suka.
Setelah menimbang-nimbang secara matang, diputuskan penerima Hadiah Sastra Rancage 2020 untuk sastra Lampung adalah: Lapah Kidah Sangu Bismillah, Bandung & Hahiwang karya Semacca Andanant diterbitkan oleh Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung.
Semacca Andanant (Dainurint Tunith), menerima Hadiah Rancage tahun 2020 berupa piagam dan uang.
Udo Z. Karzi