Ari Pahala Hutabarat
Apa yang kita dapat dari membaca sebuah puisi kecuali keriangan, dan sekaligus, rasa cemas. Riang karena pembaca akan mendapatkan semacam perspektif–dan karenanya—persepsi baru akan realitas. Cemas, karena “realitas” baru yang dipaparkan oleh puisi itu belum lagi utuh ia kenali. Kecemasan karena rasa pasti pembaca akan sesuatu menjadi goyah.
Keriangan dan kecemasan yang sama saya rasa akan pula ada pada diri kita saat membaca puisi-puisi Ahmad Yulden Erwin yang pada pada buku “Hara Semua Kata” ini.
Pada puisi yang lalu menjadi judul buku kumpulan puisi ini, “Hara Semua Kata”, secara eksplisit Ahmad Yulden Erwin (selanjutnya disebut AYE) telah menggugat status ontologis kata, bahasa. Kecemasan dimulai dari sini. Ketidakpastian eksistensi lahir ketika kita sadar bahwa kata, bahasa, cuma semacam penanda, gerak-gerik yang selamanya tak akan mampu memperlihatkan wajah “misteri” yang asli dari realitas. Kecemasan eksistensial ini disebut AYE “kesunyian kita”.
Kesunyian kita
Mungkin semacam prasangka
Menduga-duga batas
Sebelum semua berakhir.
Manusia atau subjek sejak mula memang akan mengalami rasa sunyi. Kesunyian jadi semacam nama tengah dari eksistensi manusia. Kesunyian, yang berasal dari situasi “keterlemparan”—meminjam istilah Heidegger—jadi melekat pada status ontologis manusia. Namun yang membuat manusia tambah menjadi-jadi kesunyiannya, menurut AYE, justru adalah kehendak manusia untuk memahami misteri, menduga-duga batas, dan kehendak untuk “membahasakan” misteri tersebut.
Padahal semua itu hanya prasangka.
Dan inilah pangkal kesunyian kita.
Dalam puisi “Tragedi Terbesar”, AYE telah eksplisit mengutarakan soal kesunyian eksistensial manusia ini. bahkan lebih dari sekedar “rasa sunyi”, ini bahkan sudah menjadi tragedi dalam perjalanan hidup manusia.
Tragedi terbesar dalam kehidupan
bukanlah kematian, tetapi
setiap hasrat tak terkendali
akan kematian,…
dan pada situasi yang sunyi dan tragis ini—
pada akhirnya
setiap pilihan
cuma mampu
melemparkan
kita pada kekosongan.
(puisi “Mindscape)
2.
Status ontologis bahasa yang digugat berbanding lurus dengan status ontologis “Realitas” dan atau “Langit” dan atau “Misteri”. Setiap usaha untuk memahami Realitas adalah usaha yang sia-sia belaka. Sebab apapun anggapan kita tentang Realitas tersebut hanya akan berakhir sebatas prasangka, praduga, persepsi, atau pikiran yang berasal dari subjek belaka. Lalu Aye menyodorkan kata lain—yang diniatkan bukan merujuk pada kata tersebut, yaitu sunya, sunyata, anatta, dan 0. Ketiadaan substansi. Ketiadaan semacam subjek yang independen dan transenden di luar kesadaran manusia.
Dalam sajak “Keajaiban”, AYE menyindir secara halus kehendak tak sadar manusia untuk mencari (mempercayai) adanya semacam keajaiban dan kekuatan “adikodrati”, yang melampaui realitas sehari-hari. Keajaiban yang datang dari “langit nun di atas sana”. Bahwa kebenaran, jika pun kebenaran yang transendental itu dipercaya ada, tidaklah terletak di luar realitas, tapi ia ada, inheren, intrinsik, atau berkelindan di hal-hal yang kongkrit, material, dan dialami dalam kenyataan hidup keseharian, seperti terselip dalam lipatan kertas sehari-hari.
Keajaiban itu ada pada: bintang-bintang berkilau di malam buta/matahari bersinar di awal pagi/debur ombak di akhir senja/kicau pipit yang berebut remah padi/tiga kucing hitam dalam tatapan mata bocah/seorang gadis manis di depan kubur kekasihnya/buku-buku lapuk/pena/kertas/cermin/dan lain-lain.
Di dua larik terakhir puisi penyair menegaskan bahwa ketakmampuan manusia untuk memastikan jawaban terhadap misteri realitas justru adalah keajaiban itu sendiri. Meskipun pada dua larik terakhir ini kita pun masih menemukan entitas-entitas yang transenden sekaligus kehendak untuk mendefinitifkan kepastian pada realitas, yaitu “Tuhan” dan “jawaban”.
Sajak “Keajaiban” ini berkorelasi dengan sajak “Di Tengah Sunyata”—yang sekali lagi dengan cara yang bersifat parodis—menyindir status ontologis bahasa, tentang keambiguitasan, sekaligus karenanya, ketakmampuan bahasa dalam merumuskan realitas yang “sebenar-benarnya”.
Beberapa kutipan dari beberapa sajak ini juga menggambarkan status bahasa yang serupa dengan dua sajak di atas:
Tak ada lagi rahasia/semua berakhir dalam kematian bahasa/tapi kita terus melahirkan nama-nama…bahasa menunggu ajalnya dalam ke-kini-an hidup kita!…penjara kata-kata/penipuan makna-makna/belenggu tanda-tanda….(sajak “The Power of Emotion).
Bahasa tinggal bentuk/…(sajak “(Metamorfosis!) Angin Selatan)
sebab bahasa telah makin jauh/dari realita…ternyata waktu sedang bermain-main/dengan manusia,/dengan keheningan dan kata-kata….(sajak “Meditasi dengan Sebatang Rokok).
aku makin sakit/langit telah dijajah bahasa…aku makin sakit/tapi bahasa kian jadi sempit/tak ada kisah daun bambu//atau air kelapa dalam kalimatku….(sajak “Aku Makin Sakit).
Hidup berdenting/di luar cemas dan bahasa….(sajak “Fraktal Matahari).
sebelum/sepasang tanda tanda kembali berputar//di luar bahasa…. (sajak “Hara Semua Kata).
3.
Tukar-tangkap antara makna “Real” dengan bahasa seperti yang terdapat pada beberapa kutipan larik sajak di atas membayang juga pada ihwal yang lain; kelindan antara Yang Imanen dengan Yang Transenden, antara Yang Denotatif dengan Yang Konotatif, antara Yang Spasial dengan Yang Temporal, antara Yang Zahir dengan Yang Batin, antara Yang Real dengan Yang Simbolik, atau antara Yang Material dengan Yang Ideal pada sajak-sajak AYE.
Oposisi biner yang lazim digunakan dalam cara berpikir sehari-hari, karena memang begitulah cara pikiran bekerja, dianggap AYE justru sebagai biang dari keterpecahan subjek dalam memandang dirinya maupun realitas. Menatap hidup menjadi 0:/pikiran 1 menjadi 2, ujarnya dalam pembukaan sajak “Meditasi dengan Sebatang Rokok”.
Pertanyaan eksistensial tentang siapakah “aku”, sang subjek, lalu jadi soal yang lumayan deras dipertanyakan AYE pada sajak-sajaknya dalam buku puisi ini. Kata lainnya: status ontologis subjek/aku dipertanyakan, digugat cara pen-definisi-annya, digugat statusnya sebagai “pemberi makna” maupun yang “dikenai makna”.
Sajak-sajak yang berjudul “Tanpa Subjek”, “Pintu”, “Fabel Sendiri”, “Waktu-Kini-Aku”, “Tiga Dimensi Personalitas”, “Sabung Ular Czeslaw Milosz”, “Martabat Tujuh”, “Interferensi”, “Kecambah”, “Sugesti Jarak”, dan “Joni Telah Mati” adalah perayaan total akan gugatan terhadap posisi status Subjek tersebut. Perayaan yang menggugat status subjek misalnya akan kita baca juga pada beberapa kutipan-kutipan larik sajak berikut ini:
Namun, siapakah putra sang kala?/mungkin kau, mungkin aku, mungkin/bukan siapa-siapa. aku adalah dia: sebentuk/penolakan tiada habisnya….
Jadi, kita ini siapa?/kita hanyalah sepi yang tak henti mencabik/nama-nama, di sini, di tubir tanda baca, maka kau/melupakan aku, maka aku melupakan kau, maka kau/akan terus-menerus mengelak dari aku dari kita/dari dia, maka kau akan terus-menerus bukan kita….
…apa kau telah lupa nama-nama,/nama-nama benda, nama-nama diri, namamu sendiri/….
Hei, inikah kematianku? Penjara kata-kata, penipuan/makna-makna, belenggu tanda-tanda…kini, manusia memang tak perlu bunuh diri, sebab/takdir bukan lagi misteri, dan maut bukan milik pribadi….
( sajak “The Power of Emotion).
aku harus pergi, dan tetap kembali/sebagai diriku sendiri, sebagai satu pribadi…. (sajak “Setangkai Puisi buat Lennon).
lihatlah zaman/yang makin kehilangan manusia, lihatlah/manusia yang makin membenci dirinya,…
aku ini tak ada, kau pun tak ada, tak ada lagi/manusia!…
kami cuma sebentuk/kepahitan tanpa substansi, kami tak perlu/identitas, kami non pribadi…
kami hanyalah ilusi….
(sajak “(metamorphosis!) Angin Selatan).
Jadi, kami ini siapa?/ sesuatu yang mesti dilupakan…
Inikah riwayatmu? Bukan, itu bukan riwayatku./namun, kita ini subjek. Bukan, kau hanya objek…aku lah nilai,/akulah nilai yang tak mampu menilai diriku…akulah wakil/dari generasi tanpa substansi, makanlah dirimu….
(sajak “Sophocles, 2058).
Apa tujuanku lahir ke bumi?/memeluk ilalang pagi hari//
Siapa aku sebenarnya?/ulat di daun kenanga.
(sajak “Gurindam 12”).
Aku mulai membayangkan/kita berdua adalah kekosongan…
Kau di atas tubuhku/menjelma gelombang/seperti katastrofi….
(sajak “Labirin Ariadne”).
Tentu ada banyak sebab mengapa sang subjek kemudian dipertanyakan kembali posisi ontologisnya pada sajak-sajak dalam buku ini. Mulai dari efek kolonialisme yang secara sistematik meng-others-kan subjek yang ada di dunia ke-3, badai modernisasi yang menghembuskan informasi secara brutal, ketakmampuan subjek mengenal hakikat dirinya (baca: pikiran, mind) sendiri, sampai pada pemahaman AYE yang dilatarbelakangi alusi-alusi Budhisme Zen, Hindu, atau Sufisme. Dan sajak-sajak dalam buku ini seperti ditugaskan AYE untuk mengamplifikasikan kembali pertanyaan primal tersebut, pertanyaan permanen yang juga jadi sumber kegelisahan para pemikir, mistikus, penyair—yang sayangnya—kadang dianggap manusia kebanyakan sebagai pertanyaan yang tak penting lagi untuk dipertanyakan atau justru dianggap sudah selesai, baik melalui perlindungan dalil-dalil agama maupun dilihat dari kepentingannya yang tak pragmatis.
Saya tak berkehendak untuk menjawab apa pemikiran yang ditawarkan AYE atau memaparkan dasar pemikiran yang melatarbelakangi pemikiran AYE soal gugatannya terhadap posisi subjek dalam sajak-sajaknya ini. Saya mempersilakan pembaca untuk melacaknya sendiri.
Pada sajak-sajak AYE akan pembaca temui sekian banyak permainan alusi, tindak referensial yang membuat teks tidak jadi barang tertutup pada dirinya sendiri. Saya meyakini, justru memang di sini tugas puisi—mengajak pembaca untuk berselancar mengarungi badai makna di dalam teka-teki bahasa. Hasilnya, konklusi yang didapat pembaca bukanlah semacam proposisi baku, sekali matang tanpa diskusi, tapi sebuah peristiwa ketersingkapan Ada, dalam istilah Heidegger. Permainan metafora dan jukstaposisi dalam sajak-sajak AYE mau tak mau akan selalu menolak sebuah pemaknaan tunggal dan definitif akan makna, bahkan terhadap sekian banyak pemikiran sang penyairnya sendiri terhadap objek yang diolahnya.
4.
Penggugatan akan status realitas juga jadi hal yang intens dilakukan AYE dalam beberapa sajaknya dalam buku puisi ini, di samping gugatan akan bahasa dan subjek. Bahkan jika harus disimpulkan—ketiga ihwal ini saling berkait, berkelindan, saling sebab-menyebabkan. Pemahaman akan subjek mau tak mau akan membawa pada pemahaman akan kerja bahasa (baca: pikiran) dan pemahaman akan bahasa juga akan punya konsekuensi langsung akan pemahaman atas realitas.
Beberapa sajak; “Tragedi Terbesar”, “The Power of Emotion”, “Setangkai Puisi buat Lennon”, “(Metamorfosis!) Angin Selatan”, “Sophocles, 2058”, “Gurindam 12”, “Keajaiban”, “Tiga Epifani”, “Mindscape”, “Fraktal Matahari”, “Di Luar Jendela”, “Tiga Belas Baris Puisi Laut”, “Buku Mimpi”, “Sugesti Jarak”, “Paradoks Senja”, dan “Hara Semua Kata” adalah sajak-sajak yang secara intensif mengolah gugatan-gugatan akan status ontologis realitas, baik dalam hubungannya dengan subjek, maupun dalam hubungannya dengan pikiran dan bahasa. Sajak “Meditasi dengan Sebatang Rokok” adalah sajak yang paling fokus dan intensif mengolah tema status realitas ini.
Jika kita telisik, memang ada proses saling memantulkan, saling bercermin, dari tiga tema utama pada sajak-sajak di atas. Hal ini tentu tak bisa dihindari. Karena membicarakan realitas, mau tak mau kita akan membicarakan sang penghuni dan penafsir realitas, yaitu subjek, dan juga pasti pembicaraan akan berlanjut pada soal bagaimana cara subjek memahami realitas, yaitu dengan menggunakan bahasa sebagai alat utama pikirannya. Maka, identifikasi dan kodifikasi tematik pada sajak-sajak di atas hanya bersifat umum, dengan melihat titik tekan tematik yang paling intens diolah pada sajak-sajak tertentu.
Sama seperti olah tema pada status ontologis subjek di atas—gugatan akan status realitas juga disebabkan oleh banyak faktor—mulai dari sihir kolonialisme, modernisasi dan informasi, pemahaman yang dangkal dan serampangan terhadap dalil-dalil religiusitas oleh kebanyakan manusia, penemuan-pemahaman terbaru tentang apa itu realitas dalam ilmu fisika kuantum, definisi-definisi yang selalu diperbaharui tentang hakikat psikis manusia dalam ilmu psikologi, sampai pada tesis-tesis dasar yang diyakini penganut disiplin Budhisme Zen, Vedanta, sampai Sufisme.
5.
Menariknya, AYE lalu menjadikan puisi jadi semacam solusi (meski sementara) dari silang sengkarut praduga-prasangka subjek akan dirinya sendiri, bahasa, dan realitas yang melingkupinya. Puisi, oleh AYE, diangkat statusnya. Puisi bukan lagi “sekedar” sekumpulan kata-kata yang indah dan hanya berkepentingan untuk menyampaikan haru-biru perasaan anak manusia, tapi ia punya fungsi, punya kekuatan yang jauh lebih dahsyat. Puisi adalah juga alat untuk bertanya, mempertanyakan, menggugat, mengajukan tesis baru, membentuk kosmos baru, alat untuk mengabadikan momen sekejap dari kekinian, presensi, media untuk mentransendensikan yang imanen, menawarkan perspektif baru saat dua hal yang berbeda atau bertolak belakang bertemu (seperti dalam jukstaposisi, misalnya), dan lain-lain.
Dalam sajak “Kelahiran Puisi”, yang bagi saya merupakan manifesto ontologis bagi puisi, AYE berujar dengan sangat lugas dan benderang:
Puisi menghancurkan setiap kepastian.
Puisi meleburkan setiap kemungkinan.
Puisi mencipta kawah dahsyat keraguan,
dan kita akan berulangkali dilahirkan,
berulangkali diledakkan.
…
Puisi membikin hangus setiap konsonan
pada lidahmu. Puisi adalah permainan
tanda tanya dalam tanda seru…memecah
kuantum makna…
Puisi membakar pohon pengetahuan.
Puisi meruntuhkan kuil kesenian.
Puisi membunuh setiap messiah yang dijanjikan.
Puisi melempar cahaya ke gelap jantung kita.
….
Begitulah hakikat sejati puisi bagi seorang Ahmad Yulden Erwin: penggugat atas segala yang hendak “dipastikan dan dikukuhkan”. Puisi adalah festival yang hingar-bingar untuk merayakan segala “kemungkinan”. Lalu, ihwal apa saja dari yang “pasti dan kukuh” itu yang hendak digugat oleh dan melalui puisi? Apa saja! Namun, seperti sudah dibicarakan di atas, ada tiga tema utama, tiga tema primal, yang akan dan selalu digugat puisi, yaitu definisi, rasa kukuh dan pasti kita akan “realitas, subjek, dan bahasa/pikiran.”
Dalam sajak “The Power of Emotion” puisi, yang tidak dipedulikan dalam pergaulan hidup masyarakatnya, dijadikan semacam cerminan dan tolok ukur ketakberdayaan sekaligus kebanalan cara hidup bermasyarakat. Dalam pembuka atas tiga bagian sajak itu bisa dibaca—
Aku berteriak! Aku berteriak
di tengah masyarakat
yang tak peduli sajak-sajak!
…
Aku berontak! Aku berontak
di tengah masyarakat
yang tak peduli sajak-sajak!
…
Aku meledak! Aku meledak
di tengah masyarakat
yang tak peduli sajak-sajak!
Repetisi tiga kali atas fenomena masyarakat yang tidak peduli sajak-sajak dan amplifikasi atas seruan “berteriak” menjadi “berontak” menjadi “meledak” merupakan penegasan akan status “ontologis” puisi yang mengelak jadi cuma “sekadar” dalam konstelasi peradaban. Bahwa puisi bukan hanya pelipur lara dari kontestasi ilmu ekonomi, politik, hukum, dan teknologi yang saat ini menjadi pemain utama dalam mengatur tata-kelola kehidupan.
Hal serupa, tapi dengan nada yang sedikit melankoli dan romantik dapat juga kita temukan dalam sajak “Setangkai Puisi untuk Lennon” dalam kutipan berikut ini:
Aku harus pergi, zaman ini/menakutkan sekali, orang-orang/bergegas dalam sihir informasi—/betapa gila bisa merindukan puisi…
Aku ingin revolusi, aku ingin/terus mabuk, terus mabuk dalam puisi…
Kita mungkin penyair hitam,/tapi zaman ini terlalu membosankan, aku ingin/satu situasi, situasi lembut, tenang seperti/sepasang payudara, aku ingin melihat dunia/—sesaat saja—di luar segala kegilaan prasangka.
Sajak-sajak AYE yang lain, yang menyoal status puisi, proses kreatif penulisan puisi, upaya puisi menangkap sedikit momen keabadian, dan fungsi puisi dapat juga dibaca pada sajak “Tiga Belas Baris Puisi Laut”, “Perihal”, dan “Krakatau”.
6.
Ada perihal yang menarik: setelah secara gegap-gempita AYE merayakan posisi, tugas, dan fungsi puisi, tidak hanya bagi kesadaran individu, tapi juga bagi pergaulan tata masyarakat—di dua larik terakhir sajak “Kelahiran Puisi”—AYE seperti menegasi afirmasi-afirmasi awalnya tentang puisi.
Puisi, yang menjadikan bahasa, sebagai satu-satunya media ungkapnya, dinegasi oleh larik:
…Puisi lahir tanpa kata-kata
…
Puisi tak pernah dilahirkan.
Ada semacam paradoks di sini. AYE mengafirmasi sekaligus menegasi tesis Heidegger soal bahasa sebagai “rumah sang Ada”. Pada Heidegger, bahasa tak hanya berhenti sebagai media, alat, representasi, tapi juga sekaligus menjelma sebagai presentasi sang Ada itu sendiri. Sang Ada, yang tersembunyi di balik tindak teknologis sehari-hari, yang turun derajatnya hanya sekadar menjadi “alat-alat”—muncul dan mengungkapkan diri “di dalam dan melalui” bahasa. Tanpa bahasa, maka sang Ada menjadi tak ternamai, tak dikenal, dan karena itu bisa saja dianggap tak ada. Upaya untuk menganggap bahwa kehadiran sang Ada, yang transenden dan lepas dari segenap sistem korelat manusia, menjadi sekadar utopia, sekadar “prasangka”. Baru setelah sang Ada menampakkan diri “di dalam dan melalui” bahasa, sang Ada menjadi eksis, dalam artian ia jadi meng-Ada, Maujud.
Tersingkapnya Ada disebut poiesis, yang merupakan akar kata dari puisi. karena itu tak heran jika Heidegger memberi harga yang begitu tinggi pada puisi. bahkan ia menganggap bahwa setiap tindak seni, bukan hanya puisi/sastra, tapi segala rupa tindak seni, pada hakekatnya merupakan sebentuk puisi—dan puisi menggunakan bahasa sebagai alat ungkapnya.
Pada titik ini, saya melihat irisan ide yang sama antara AYE, Heidegger, dan Plato—mengenai hakikat puisi, hakikat bahasa, hakikat tulisan, dan pada akhirnya: hakikat realitas. Mau tak mau saya harus mundur ke belakang, ke Plato, yang menguarkan ide dualitas dan prinsip mimetiknya (melalui pencerminan akan forma-forma, arkhe, substansi primal, semacam usaha idea-lisasi) pada segenap hal—termasuk bahasa/tulisan/puisi.
Baiklah, saya akan sedikit berpayah-payah mengungkai dua larik misterius dari sajak AYE di atas, tapi dengan meminta bantuan selarik ujaran Plato sebagai bahan uraiannya.
Tulisan-tulisan terbaik tak lain daripada sebuah jalan untuk menolong kenangan dalam memahaminya, ujar Plato dalam Phaedrus. Tulisan-tulisan terbaik ini bisa kita sepakati untuk sementara sebagai puisi, sebab puisi, seperti pernah dikatakan Tolstoy, misalnya, merupakan ungkapan terbaik dari perasaan-perasaan terbaik dari manusia. Berarti—untuk sementara dalam bahasan ini—puisi-puisi terbaik tak lain sebuah jalan, media, ini merupakan kesimpulan pertama. Kesimpulan kedua, puisi berfungsi untuk menolong. Siapa? Kenangan. Kesimpulan ketiga, mengapa puisi (harus menolong kenangan), untuk memahaminya. Nya di sini berarti kenangan itu sendiri.
Sebagai jalan, puisi berarti tidak berkepentingan bagi dirinya sendiri. keberadaannya muncul untuk pihak lain, entitas lain. Pihak lain ini adalah “kenangan.” Puisi karena itu sejak masa azalinya sudah mengemban tugas, yaitu menjadi perantara bagi kenangan untuk memahami dirinya sendiri. puisi sedari awal sudah terikat pada tugas ini. Ia tidak mandiri, dan eksistensinya bergantung pada apakah ia mampu menjalankan tugas tersebut dengan baik atau justru gagal.
Kegagalan itu sendiri berarti membatalkan eksistensi puisi. Kegagalan di sini punya banyak faktor, zahir maupun batin. Kegagalan zahir berarti puisi tak mampu memainkan kebebasannya secara penuh di ruang disiplin bahasa. Kegagalan batin berarti ia gagal menampung secara utuh “isi” kenangan, atau ia justru, dalam proses “memperantarai” ini malah “mengerdilkan” kenangan, atau membuatnya jadi klise, membuatnya jadi “umum”, atau sebaliknya, malah membuatnya jadi terlampau personal, subjektif.
Kenangan adalah ide, konsep, abstrak, sedangkan tulisan atau puisi adalah kongkrit, material. Namun, bagaimana cara kita agar yang konseptual dan abstrak ini terwadahi? Atau jangan-jangan “kenangan” pun masih merupakan sesuatu yang laten, entitas potensial, yang baru akan sempurna wujudnya saat ia mengenakan tubuh tulisan atau puisi.
Plato rupanya, mungkin demi kepentingan praktis, membedakan dua entitas tersebut, seakan-akan dua wujud yang berbeda, dengan “kenangan”—yang dalam hal ini berarti “ide” memiliki status ontologis yang lebih tinggi, lebih luhur ketimbang tulisan/puisi. Karena itu ia menerakan kata “jalan” bagi tulisan untuk menebalkan “Ada bagi Yang Lain-nya” sebuah tulisan. Pada titik ini, tulisan memang sudah diselesaikan esensi-nya. Peran dan fungsinya sebagai wujud telah “ditakdirkan” terlebih dahulu ketimbang eksistensinya. Namun, kelak, kita akan paham melalui strukturalisme dan Derrida, bahwa tulisan ternyata bisa mendurhaka. Bahwa tulisan juga membawa takdir “Ada bagi Dirinya Sendiri”. Bahwa esensi yang hendak dikekalkan dan ditertibkan pada sekujur diri tulisan bisa mengelak—ketika ia melakukan loncatan lokus pada sintaksisnya atau ketika ia memainkan peran secara bebas di dalam rumah tangga linguistiknya, baik dalam peran fonetis, sintaksis—yang berakibat pada hasil semantisnya.
Status ontologis tulisan seperti yang dikatakan Plato ini mengandung dua kemungkinan: 1) Tulisan punya status yang lebih rendah ketimbang kenangan, karena fungsinya hanya sekadar wadah, bahwa wujudnya hanya bisa eksis saat kenangan bersedia meletakkan dirinya di dalam tulisan. 2) Tulisan punya status yang sejajar dengan kenangan, sebab wujud kenangan adalah sekaligus wujud tulisan, kenangan membutuhkan tulisan untuk mematerialkan dirinya yang konseptual. 3) Tulisan melakukan semacam reproduksi terhadap dirinya, sehingga lahir entitas baru, pemaknaan baru, “kenangan baru.”
Pada model kemungkinan ketiga ini, tulisan melarikan diri dari tugas asalnya, ia secara serentak masih mengemban kenangan, tapi sekaligus menyusun kenangan baru. Tulisan jadi wujud yang di dalam dirinya mengandung banyak sekali kenangan. Kita bisa lihat “jejak-jejak kenangan”, meski ia tak melupakan kenangan awalnya. Tulisan pada model ketiga ini seperti menolak adanya satu pusat pemaknaan, menolak satu versi kenangan, dan membuat (bisa juga menggeser atau melampirkan) pusat-pusat pemaknaan baru. Ada banyak suara pada tulisan. Suara dari beragam kenangan.
Metafora, saya rasa adalah siasat yang dilakukan tulisan sejak awal untuk menunaikan tugas Plato, sekaligus mendurhakainya. Metafora, yang kemudian terwadahi secara absolut pada puisi, adalah contoh “pembangkangan” tulisan terhadap beban hanya “satu kenangan” yang dipaksakan pada tulisan.
Lalu, siapa yang “menulis dan kenangan siapa?” Seakan ada dua subjek di sini yang menjalankan dua tindakan, menulis dan mengenang. Tetapi, jelas, menulis adalah tindak eksterior dan mengenang adalah tindak interior. Karena tulisan adalah tindakan eksternalisasi terhadap “yang eksterior” pada subjek, maka wajar jika Plato mendudukan tulisan pada level di bawah kenangan, yang sekali lagi, interior. Tulisan dianggap mengandung aspek ketidakmurnian dalam dirinya. ketidakmurniaan secara instrinsik ada di dalam tulisan, sebab pada saat tulisan diproduksi, ia sudah tak lagi menyatu dengan subjek. Tulisan dan subjek jadi dua entitas yang berbeda. Jika meminjam pandangan Ibn Arabi, subjek (penulis) adalah “ayah”, sedangkan tulisan (objek) adalah “anak.”
Sekilas, ayah dan anak seakan merupakan dua entitas, dua maujud yang berbeda. Namun, bukankah keduanya adalah sama, yang satu mengindikasikan yang lain, mengafirmasi sekaligus menegasi. Maujud Ayah hanya eksis jika ia merupakan afirmasi akan maujud anak, demikian pula sebaliknya, maujud anak eksis bila ia mengafirmasi ayah. Namun, negasi juga diperlukan di sini—maujud ayah tidak sama dengan maujud anak, dan maujud anak tidak sama dengan atau tidak identik dengan maujud ayah. Huwa La Huwa, ujar Ibn Arabi. Jadi, sekali lagi kita harus mencurigai ujaran Plato. Namun, efek dari ujaran Plato di atas sangat besar bagi peradaban, yang mengandaikan adanya metafisika-kehadiran, ujar Derrida.
Kenangan, mengindikasikan sesuatu di masa lampau. Sesuatu ini pernah terjadi, pernah jadi pengalaman, dan posisi tulisan di sini jadi semacam “penulisan kembali”, bukan sesuatu yang baru, turunan, mimetik. Pada “tulisan-tulisan yang baik” kenangan menyingkapkan diri, meskipun penyingkapan ini tak pernah berhasil dan definitif. Sesuai kodratnya sebagai mimetik, kemampuan tulisan tetap hanya sebatas meniru, meniru kenangan. Tulisan hanya mampu, pada akhirnya, mewadahi “jejak-jejak” kenangan, atau jadi semacam cermin, yang menangkap sekaligus memantulkan kembali wajah kenangan, tapi ia bukan kenangan itu sendiri, melainkan, sekali lagi, tulisan yang merupakan cermin ini, cermin yang tak tertib. Cermin yang kerap menyelewengkan wajah kenangan.
…untuk menolong kenangan dalam memahaminya, ujar Plato. Rupanya kenangan membutuhkan tulisan, entitas lain, untuk memahami dirinya sendiri. Ada sirkulasi pengenalan diri di sini. Kenangan asal (yang berperan sebagai ayah)—tulisan (yang berperan sebagai anak)—kenangan ke-2 (hasil dari/merupakan mimetik). Ini jadi semacam proses dialektikanya Hegel, di mana dalam rangka mengenal dirinya, kenangan lalu menegasi dirinya sendiri, mengasingkan diri, mengambil jarak, mengobjektifikasi diri, melalui tulisan—untuk lebih bisa “memahami” diri sendiri. Saya jadi teringat bunyi hadist qudsi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, aku ingin dikenal, maka kuciptakan engkau.”
Kenangan asal atau kenangan primal juga bisa disebut kenangan transendental. Ia diandaikan selalu “hadir” dalam setiap tulisan. Kehadirannya hanya bisa dimediasi melalui “tulisan yang baik”, meskipun kehadiran di dalam tulisan tersebut tak bisa pernah sempurna, karena ia hanya berupa cermin yang memantulkan wajah asli kenangan. Setiap usaha tulisan untuk menangkap secara utuh wajah kenangan primal akan selalu gagal, karena yang ia tangkap hanya bayangan wajah, bukan wajah yang sebenarnya. Wajah bayangan itu akan selalu subjektif. Tak pernah bisa menjadi wajah objektif, wajah kenangan primal.
Apakah memang ada wajah kenangan primal tersebut? Memang adakah kenangan objektif itu, wajahmu sebelum engkau dilahirkan, ujar tradisi Zen? Ini soal lain lagi, yang jelas Plato memercayai itu.
Hal menarik adalah status ontologis tulisan. Di satu sisi ia hanya merupakan “anak” kenangan, tapi di sisi lain, ia juga merupakan bagian dari kenangan itu sendiri. Melalui tulisan, (melalui bahasa, ujar Heidegger) kenangan (Ada, ujar Heidegger) menyingkapkan dirinya. Tulisan adalah jalan bagi kenangan untuk mengenal dirinya kembali, ujar Plato.
Oleh karena itu, harus segera dimaklumi bahwa tulisan memiliki fungsi utama untuk menyingkap dan mengaktualisasi kenangan, yang mulai sekarang kita sebut kenangan primal, arkhe. Soal pertamanya: di manakah lokasi kenangan primal ini? Apakah ada di dalam diri subjek, di dalam diri manusia? Ataukah di luar subjek? Jika ia berada di dalam diri subjek tidakkah itu berarti bahwa kenangan primal akan terikat pada kesadaran manusia? Tidakkah ia bergantung pada pikiran subjek—yang pada akhirnya—akan mendistorsi atau memuaikan kenangan melebihi kadar wujud yang jadi haknya? Atau justru kenangan primal ini ada di luar diri subjek—bahkan ada di luar “dunia”, realitas, di mana subjek hidup/menghidupi di dalamnya? Dan itu berarti kenangan bersifat “transenden” atas subjek, dunia, dan subjek-di dalam-dunia? Kata lainnya, apakah kenangan ini lepas dari segenap korelasi kemanusiaan, terhadap apapun properti kemanusiaan, mulai dari persepsi, kesadaran, intensi, dan lain sebagainya?
Jika ia ada, wujud, dan bersifat transenden atas segala sesuatunya (mau tak mau saya harus meminjam istilah Syekh Ibn Arabi, tanzih), maka bagaimana cara kita mengenalnya, baik laten maupun fenomen-nya? Dan bagaimana kita yakin bahwa kenangan primal yang tanzih ini sudah mampu terwadahi melalui tulisan dengan akurat?
Atau mau tak mau kita harus berujar, bahwa tanpa tulisan, kenangan primal justru akan lenyap, tak dikenal. Bahwa hanya melalui tulisanlah kenangan primal “maujud”, menjadi ada, tetapi tetap dengan kewaspadaan penuh—maujudnya kenangan primal ini hanya sebatas kemampuan subjek dan tulisan untuk menghadirkannya. Beranjak dari kewaspadaan ini didapat dua kesimpulan sementara: 1) tulisan tak lain merupakan kenangan primal yang maujud. 2) maujudnya kenangan primal masih menyisakan rumpang, semacam ruang yang tak sepenuhnya terisi oleh definisi, dan masih menyisakan jejak-jejak yang mesti terus ditelusuri.
Soal berikutnya: aktivitas pembacaan terhadap tulisan juga mau tak mau, seperti telah diurai di atas, akan mereduksi atau memuaikan wujud kenangan. Hal yang sama berlaku sebaliknya—aktivitas penulisan, sadar tak sadar, akan mereduksi atau memuaikan wujud kenangan primal. Aktivitas penulisan yang tak sadar akan fungsi pertama dan utamanya, yaitu untuk menyingkap dan memediasi kenangan primal akan dirinya sendiri berarti telah gagal sejak awal dalam tindak operasionalnya.
Lalu, bagaimana cara puisi merepresentasikan kenangan primal?
Hanya manusia, maujud yang mengetahui ke-maujud-annya dan mengetahui (berkat inspirasi untuk proses mencipta dan menemukan hal-hal baru) kenangan primalnya. Benda dan hal-hal tidak mengetahui ke-maujud-annya, tetapi benda dan hal-hal juga merupakan manifestasi dari kenangan primal (perihal apakah ia berbentuk laten atau fenomen, itu lain soal). Maka, melalui tulisan, manusia berusaha memanifestasikan kenangan primal—dengan cara mencari representasinya melalui benda dan hal-hal.
Keberadaan benda dan hal-hal punya dua kemungkinan relasi dengan manusia atau subjek, yaitu: 1) Mereka merupakan objek, entitas yang dengan keberadaannya menegasi manusia atau subjek—bahwa ada maujud lain yang bukan manusia. Efek dari negasi benda dan hal-hal ini justru mengafirmasi maujudnya manusia. 2) Permainan ganda dari relasi subjek-objek antara manusia dan benda plus hal-hal ini seperti menyadarkan manusia bahwa tiada jalan lain baginya untuk mengaktualisasikan kenangan primal yang mengusik dirinya kecuali dengan mengandaikan mewujudnya kenangan primal tersebut pada benda dan hal-hal. Jika manusia memutuskan relasinya dengan benda dan hal-hal, maka tulisan hanya semacam wadah yang sekadar menampung gebalau pikir dan rasa manusia—yang abstrak, konseptual, tak bisa dicari referensinya, korespondensinya. Apakah tindak penulisan semacam ini dimungkinkan? Mungkin saja. Namun, tindak penulisan semacam ini adalah sebentuk pengingkaran ontologis, baik terhadap dirinya sendiri, maupun terhadap benda dan hal-hal. Pengingkaran ontologis ini juga akan mengakibatkan adanya semacam keterputusan epistemologis. Bagaimana subjek bisa tahu bahwa dirinya subjek, jika ia tak menemukan negasi terhadap entitasnya dalam diri objek, benda dan hal-hal? Maka relasi antara subjek dengan objek harus diaktifkan, disegarkan, diperbaharui. Hubungan antara subjek dan objek harus dilandasi sikap takzim dan akrab. Keangkuhan subjek di hadapan objek tidak menguntungkan subjek, karena secara otomatis, sekali lagi, ia melakukan sebentuk pengingkaran ontologis bagi dirinya sendiri. ia hidup tidak (saja, sekadar) bagi dirinya sendiri. Ia hidup di dalam dan bersama-sama “hal” lain.
Adanya tuntutan untuk mengkongkritkan, mematerialkan, mengiderawikan, atau mengkorespondensikan kenangan primal ini yang membuat para penyair atau penulis kemudian menciptakan imaji-imaji, juga metafora-metafora dalam tulisannya.
Pada mula dan akhirnya, puisi adalah sebentuk tindak anamnesis, kenangan yang menemukan dirinya kembali.
Oleh karena itu menjadi wajar: Puisi lahir tanpa kata-kata/Puisi tidak pernah dilahirkan,ujar AYE. Dua larik ini saya rasa turut memantulkan soal yang sama dengan yang pernah disampaikan Plato seperti yang diuraikan di atas. Tangkap-lari antara yang Transenden dan yang Imanen, antara yang Zahir dengan yang Batin sekira saya itu yang hendak diungkap AYE melalui dua larik terakhir pada sajak “Kelahiran Puisi”. Kata lainnya: puisi menjadi titik temu, lokus di mana ruang dan waktu bertemu, lokus di mana yang transenden dan yang imanen berpelukan, meski sebentar, presensi. Dan sekali lagi—imaji, metafora, juga teknik jukstaposisi menjadi alat yang ideal untuk mewadahi pertemuan unik ini.
7.
Imaji, metafora, dan jukstaposisi.
Dalam puisi, imaji berguna untuk mengubah kenyataan atau peryataan konseptual menjadi kenyataan atau pernyataan-pernyataan observasional, sehingga pembaca disentuh inderanya—yang pada akhirnya—diniatkan agar pembaca dapat menerima atau bahkan memberi makna baru pada puisi. Imaji dapat menyuburkan proses produksi makna pada diri pembaca—yang juga pada akhirnya—merupakan fungsi puisi yang utama: membebaskan semacam pemaknaan tunggal dan definitif dari puisi.
Pada langkah tertentu, langkah kedua, imaji bisa berubah menjadi metafora. Pada titik ini imaji tak berhenti jadi sekadar denotasi, tapi telah bersulih rupa menjadi konotasi. Ia menghendaki tingkat pemahaman yang lebih dari yang sekadar literal. Melalui metafora, pesan atau ide mengalami intensifikasi. Tak berhenti hanya di situ—metafora juga akan melakukan intensifikasi terhadap ekspresi—meski ia tetap bisa dirujuk petanda referensialnya. Kata lainnya, imaji dan metafora adalah tindak kongkretisasi, tindak materialisasi terhadap konsep dan ide. Caranya beragam, bisa dengan laku membandingkan, menghubungkan, atau justru mengkontraskan. Laku menghubungkan, membandingkan, atau mengkontraskan ini mau tak mau berakibat pada pergeseran semantik—yang literal menjadi kiasan, yang denotatif menjadi konotatif—atau saya kerap menggunakan istilah ini untuk membicarakan haiku-haiku atau sajak-sajak imajis, yaitu mengubah yang imanen secara serentak menjadi transenden.
Pemahaman bahwa ada “yang transenden”, yang terletak “di atas” realitas sehari-hari ini yang juga secara sadar digugat AYE dalam beberapa sajak pada bukunya ini—dan menariknya—ia secara intens dan canggih menggunakan imaji, metafora, dan juga jukstaposisi sebagai “teknik” dalam proses penggugatannya tersebut. Yang Transenden bisa dibaca sebagai “langit”, “Tuhan”, “pengalaman-pengalaman mistis yang adikodrati”, “keajaiban yang melampaui kenyataan sehari-hari”, “kesadaran substansial”, dan lain sebagainya.
Pada sajaknya yang berjudul “Keajaiban”, AYE melakukan gugatan akan ihwal “yang gaib, langit, dan transenden” dan memperlawankannya secara langsung dengan hal-ihwal yang “zahir, bumi, dan imanen”. Secara eksplisit AYE memulai sajaknya dengan pertanyaan: apakah keajaiban itu? Lalu ia sendiri yang menjawabnya, meskipun jawaban ini juga berupa gugatan: kekuatan?semacam kekuatan untuk menghentikan matahari dari putarannya, atau menghela gunung dari lokanya?
Pada bait ke-2, AYE langsung menjawab pertanyaan tersebut dengan pernyataan: bahwa yang ajaib itu, yang intens dan mistis itu, tidaklah terletak pada pengalaman-pengalaman adikodrati, seperti yang selama ini menghuni banyak benak para pemeluk teguh, tapi terletak pada segala yang biasa,/bahkan terlalu biasa, tetapi nyata.
Lalu, dimulailah pemerian jawaban terhadap pertanyaan apa itu keajaiban melalui serangkaian benda-benda, peristiwa-peristiwa yang inderawi—serangkaian imaji dan metafora:
Bintang-bintang berkilau di malam buta, matahari bersinar di awal pagi, debur ombak saat senja, kicau ratusan pipit mematuki remah padi, tiga kucing hitam, bocah yang kesepian, gadis yang menangis, dua tangkai bunga, kuburan, buku-buku lapuk, pena, kertas, cermin, dan angin.
Semua ihwal di atas adalah zahir, material, kongkrit, imanen—yang digunakan AYE untuk menjawab sebuah soal yang transenden. Kata lainnya, hal-hal yang zahir itu, yang imanen itu, pada titik tertentu adalah juga yang batin itu, yang transenden itu. Bahwa pada titik tertentu (jika engkau bisa secara tepat memahaminya, mungkin ujar AYE) yang natural adalah sekaligus supranatural, yang denotatif sekaligus jadi yang konotatif—dalam artian ia merangkum makna yang lebih dalam, lebih luas, lebih besar, ketimbang penampakan lahiriahnya. Buddha ada di balik setiap batu, sebuah ungkapan dari tradisi Zen.
Imaji-imaji natural pada sajak di atas, seperti lazim digunakan dalam haiku, mengalami semacam proses transendensi, menjadi penanda tingkat ke-2, yang tak hanya meladeni indera semata, tetapi secara seketika membuka atau melontarkan baik penulis maupun pembacanya ke dunia yang lebih intens, keheningan yang tiba-tiba bergema, “Ada” yang tiba-tiba memunculkan wajahnya. Imaji-imaji ini tidak mengalami transformasi menjadi simbol, seperti lazim dalam tradisi seni kaum sufi—karena khawatir Yang Zahir akan lebih dirayakan dan dipertuhankan ketimbang Yang Batin. Imaji-imaji natural yang ada pada sajak di atas, seperti yang juga lazim digunakan dalam haiku, dalam kepoloson, kebisuan dari komentar, dan “ke-apa-ada-nya”, secara seretak menghimpun lapis-lapis dunia dalam dirinya.
Jadi, secara teknis, AYE berhasil mendayagunakan imaji secara lebih intensif, melebihi fungsi yang kerap dipakai para penyair tanah air kebanyakan. Imaji pada sajak ini, dan juga pada beberapa sajak yang lain, tak cuma bertugas sebagai alat untuk mengongritkan suatu gagasan menjadi suatu gambaran atau peristiwa, tapi ia telah menjelma menjadi semacam tujuan dari gagasan dasar AYE tentang apa itu realitas dan lain sebagainya. Imaji pada beberapa sajak AYE tidak lagi cuma jadi representasi gaya ungkap, tapi sudah jadi presensi. Ia literal sekaligus metaforis.
Hal begini bukan hanya digunakan AYE pada imaji, tapi juga metafora, dan jukstaposisi. Pada sajak berjudul “Gurindam 12” imaji dan metafora dipakai untuk kongkretisasi ide, sehingga konsep menemukan semacam gambaran atau peristiwanya secara inderawi dan jukstaposisi digunakan (juga dengan memakai imaji dan atau metafora sebagai pembandingnya) agar pembaca “memberikan makna kedua atau ketiga” pada puisi. Jika imaji berhenti hanya menjadi sekedar imaji, maka terjadi intensifikasi ide. Jika imaji mengubah diri menjadi metafora, maka intensifikasi meluas, bukan hanya pada ide tapi juga ekspresi, sehingga ide pertama mendapat semacam ide pada tataran lapis kedua. Jika imaji digunakan melalui teknik jukstaposisi, maka makna mengalami semacam diseminasi, perluasan makna menuju yang tak terhingga, sesuai dengan medan semantik di kepala masing-masing pembaca.
Setiap larik pertama pada sajak “Gurindan 12” ini merupakan pernyataan konseptual. Hal ini menyaru pada model gurindam pada tradisi melayu yang memang selalu menempatkan larik pertama sebagai wadah bagi persoalan atau ide atau konsep yang kemudian hendak dicari jawabannya di larik ke dua.
Pada bagian 1:
Makin lama pikiran makin terasa sesak
Landak hitam masuk ke rimbun semak.
Di bagian ini, imaji telah bergerak menjadi matafora, namun tak berupa jukstaposisi.
Bagian 2:
Bagaimana melampaui rasa takut?
Belajarlah dari setangkai rumput
Di bagian ini, imaji bergerak menjadi jukstaposisi.
Bagian 3
Apakah hakikat terdalam dari kepedihan?
Capung-capung terbang menjelang hujan.
Di bagian ini, imaji bergerak menjadi jukstaposisi.
Bagian 4
Apa tujuanku lahir ke bumi?
Memeluk ilalang pagi hari.
Di bagian ini, imaji bergerak menjadi jukstaposisi.
Beberapa bait lain, di mana imaji bergerak menjadi jukstaposisi, antara lain:
Siapa pencipta semesta ini?
Teratai mekar dalam sunyi.
Apa mereka tengah bermimpi?
Setangkai soka mekar di awal pagi.
Mengapa misteri ini begitu sederhana?
Murai batu berkicau di dahan mangga.
Apa makna perjalan manusia?
Kucing siam tidur di bawah purnama.
Bagaimana menatap langit tanpa prasangka?
Sepasang bajing berkejaran di dahan nangka.
Siapa aku sebenarnya?
Ulat di daun kenanga.
Beberapa bait lain, di mana imaji bergerak menjadi metafora, antara lain:
Kemana pergi setelah mati?
Embun menguap dari ranting turi.
Segalanya tinggal gema pikiran sendiri.
Elang hitam terbang di bawah matahari.
Penggunaan imaji, yang lalu bergerak menjadi metafora atau berperan sebagai jukstaposisi juga bisa ditemukan pada sajak “Jalan Lain Musashi”, “Fabel Sendiri”, dua bait pertama dalam sajak “Di Luar Jendela”, dua bagian pertama dari sajak “Suluk Menjelang Bisma Gugur”, tiga bait pertama dalam sajak “Sabung Ular Czeslaw Milosz”, “Testamen Theseus”, “Martabat Tujuh”, “Buku Mimpi”, “Epigram”, “Paradoks Senja”, dan sajak “Pulang Pagi”.
Khusus sajak “Kosomologi Bahagia”—ini merupakan perayaan total terhadap jukstaposisi. Pada sajak ini, konsep “bahagia” dibandingkan secara langsung dengan beberapa imaji yang berperan sebagai jukstaposisi, di mana imaji bertugas sebagai pengkontras dari konsep “bahagia” itu sendiri, imaji seperti membawa ide yang berlawanan secara konseptual dengan ide pertama, misalnya:
Bahagia ada pada mata yang menatap darah langit dan bumi
Bahagia ada pada kedamaian yang meleleh dibakar matahari
Bahagia ada pada lancip belati dihunjam ke dada kesabaran
Bahagia ada pada ibu muda yang tertawa mencekik bayinya
Bahagia ada pada bangkai-bangkai membusuk dalam perang
Dan seterusnya.
Lalu, pada sajak “Tiga Epifani”, terutama pada bagian dua dan tiga, imaji benar-benar berfungsi, bukan sekadar sebagai alat puitik, tetapi justru menjadi bagian yang esensial dari konsep AYE sendiri tentang kesadaran subjek dan hakikat realitas. Imaji adalah lokus di mana, sekali lagi, yang imanen dan yang transenden bertemu, dalam satu ruang dan waktu, pada momen ke-kini-an yang abadi, presensi.
Kini kupaham gerak pikiran
semata diri penuh tujuan,
kerikil tajam di jalan sepi
atau malam menanti pagi.
…
Dari jendela ruang tamu:
kupandang pucuk daun lamtara,
menjulang ke angkasa.
Awan kini bergerak perlahan.
Bisa dibuat kesimpulan sementara; penggunaan imaji, metafora, dan teknik jukstaposisi oleh AYE sudah melampaui para pemulanya—kaum imajis dan surealis. Pada sajak-sajak AYE, imaji, metafora, dan jukstaposisi bukan hanya alat dan teknik, tapi telah jadi esensi. Meskipun hal ini tak semuanya tercermin dalam seluruh sajak yang terkumpul pada buku ini.
8.
Pemerian imaji pada puisi berarti menghamparkan alam benda di dalam ruang. Tata imaji berarti juga tata ruang, sekaligus waktu, sebab narasi, urutan-urutan benda ada di dalam durasi—yang akhirnya akan menjelma menjadi peristiwa. Namun, tak banyak sajak dalam buku AYE—saat imaji liar tergesa menghapus/bayang surut laut…seakan kalimat/tak lengkap atau hanya isyarat. Konsekuensinya adalah puisi yang berimbang, antara pernyataan konseptual dan pernyataan obeservasional. Pembubuhan makna pun jadi berimbang—antara makna yang diproduksi pembaca, melalui peng-konotasi-an imaji-imaji yang terhampar dengan makna yang diproduksi penyair. Beberapa sajak yang membangun peristiwa, antara lain sajak “Fabel Sendiri”, “Di Luar Jendela”, “Suluk Menjelang Bisma Gugur”, “Sabung Ular Czeslaw Milosz”, “Labirin Ariadne”, “Testamen Theseus”, “Buku Mimpi”, “Epigram”, Paradoks Senja”, dan “Pulang Pagi”.
Penghadiran peristiwa yang tak lengkap membuat beberapa sajak AYE seperti menghindar dari pendahulunya, kaum imajis, juga haiku, yang berusaha secara maksimal meminimalisir peran subjek lirik. Beberapa sajak tersebut juga secara sadar didesain untuk tak mengubah secara total yang subjektif menjadi objektif, melalui pemerian dan hubungan antara benda-benda, situasi-situasi, dan aksi, seperti yang disaran T.S. Elliot dalam konsep korelasi objektifnya. Penghindaran secara sadar ini membuat sajak-sajak tersebut berada di antara dunia simbolisnya Rimbaud dan Mallarme, imajismenya Pound, Elliot, Wallace Stevens, William Carlos William, haiku-nya Basho, Buson, atau Issa, dan surealismenya Octavio Paz—juga, pada puisi tertentu—Allan Ginsberg.
Pada sajak “The Power of Emotion”, “(Matamorfosis!) Angin Selatan”, “Waktu-Kini-Aku”, dan “Fraktal Matahari” pengaruh surealismenya Paz, juga Beat-nya Allan Ginsberg nampak pada tipografi penuh rumpang, (seakan) otomatisasi penulisan, penghabluran secara spontan perasaan dan intelektualitas, pensejajaran, perbandingan, maupun pengamplifikasian yang banal dengan yang sakral, yang abstrak dengan yang kongkrit, kata sifat dengan kata benda atau kata kerja melalui metafora dan hiperbola.
Tipografi yang penuh rumpang plus enjambement yang sengaja patah juga bisa didapat pada sajak yang berjudul “Tanpa Subjek”, “Joni Telah Mati”, “Kelahiran Puisi”, “Martabat Tujuh”, dan “Krakatau”.
Tipografi dan enjambement yang rumpang ini memang dibutuhkan agar pensejajaran atau penyerentakan di dalam ruang bisa dimunculkan. Tipografi ini menjadi lokus yang ideal bagi “kehadiran yang menyerentak”, presensionis, antara yang real dengan yang simbolik dan yang imajiner, antara mimpi dengan kenyataan, antara alam al-mulk dengan alam al-malakut, antara masa lalu dengan masa kini dan masa depan. Keserentakan di dalam ruang ini merupakan pengaruh dari surealisme, imajismenya Pound dan Elliot—dan kalau dilacak lebih jauh lagi ia juga merupakan konsep dasar dari segenap tradisi mistik—yang secara sadar diambil AYE dan dieksplorasinya habis-habisan.
Melalui konsep “kehadiran dan keserentakan” ini pula maka garis linieritas waktu, dalam hal ini historisitas, bisa dimampatkan di dalam ruang yang sama dengan masa kini. Oleh karena itu menjadi wajar jika akan dijumpai banyak sekali alusi-alusi di dalam sajak-sajak AYE—mulai dari alusi yang bersumber dari pertistiwa sejarah, tokoh historis tertentu, peristiwa, konsep, idiom dan istilah mistik tertentu, sampai dengan alusi yang berasal dari ranah fisika dan Mahabharata. Alusi-alusi ini berkonsekuensi pada pembubuhan diksi-diksi tertentu, yang “tak lazim” digunakan dalam diksi puisi Indonesia mutakhir.
Beberapa alusi dan diksi yang bisa ditemui, antara lain: messiah, john lennnon, Percy B. Shelley, the will to power, du contrat social, Frankenstein, la nausea, manunggaling kawula-gusti, Sophocles, creon, antigone, Hegelian, gurindam, judas, mudra, sunya, sunyata,lao tse, en-soi, black hole, du fu, Heisenberg, Archimedes, panta rei-nya heraklitos, Zarathustra, srikandi, bishma, fichte, Solomon, musashi, daruma, budha, mowgly, Ceszlaw Milosz, Mallarme, ariadne, katastrofi, interferensi, theseus, andre gide, martabat tujuh, anatta, isa, hara, dan Krakatau.
Alusi-alusi, juga diksi-diksi ini harus dipecahkan kodenya, harus dilacak makna literalnya oleh pembaca jika ingin mendapat semacam pemahaman yang utuh terhadap puisi yang termaktub dalam buku ini. Pembacaan terhadap puisi memang dimungkinkan pula dengan melepaskan teks dari hubungan referensialnya. Teks puisi masih bisa dinikmati, dimaknai, tanpa kita harus bersusah payah mencari dan memecah kode-kode yang termuat alusi.
Namun, untuk konteks puisi tertentu, sajak-sajak AYE misalnya, rasanya pelacakan terhadap alusi dan diksi memang harus dilakukan. Mengapa? Karena alusi dan diksi-diksi “tak lazim” itu digunakan bukan hanya sekadar penambah citarasa estetik atau puitik belaka, bukan sekadar bumbu rempah agar membuat rasa puisi jadi lebih nikmat. Alusi dan diksi dipakai memang untuk mewadahi semacam konsep dasar yang diyakini penyair soal tindak presensi dalam realitas. Alusi dan diksi—juga termasuk metafora, imaji, dan jukstaposisi—digunakan untuk menggiring pembaca ke sebentuk kosmos baru, yang jika pelacakan itu berhasil dilakukan, maka pembaca akan mendapat lalu melihat realitas dalam perspektif yang lebih segar.
9.
Tindak pembacaan terhadap puisi memang akan selalu bersifat sementara dan tergesa-gesa. Seiring berjalannya waktu dan peristiwa, tindak pembacaan akan selalu menghasilkan tafsir-tafsir baru, meski puisi yang dibacanya tetap sama. Apakah puisi tersebut yang berubah atau medan makna di kepala pembaca yang mengalami perubahan. Tak ada jawaban final soal ini. Saya meyakini kedua hal tersebut saling berhubungan dalam tindak dialektis yang tak berkesudahan.
Demikian pula kiranya pembacaan saya terhadap sajak-sajak Ahmad Yulden Erwin dalam buku “Hara Semua Kata” ini. Tentulah pembacaan yang saya lakukan juga bersifat sementara dan tergesa-gesa. Namun, apakah memang ada makna final untuk puisi? Saya rasa tidak ada. Bukankah kehendak kita untuk membubuhkan definisi, makna final, dan kepastian terhadap puisi, juga segala sesuatu, merupakan musuh utama seni khususnya puisi?
Puisi menghancurkan setiap kepastian
Puisi mencipta kawah dahsyat keraguan
Puisi adalah permainan tanda tanya dalam setiap tanda seru…
ujar Ahmad Yulden Erwin, dan
jika kau setangguh itu, tuliskan puisimu.
Demikianlah.****
____
* Ari Pahala Hutabarat adalah Penyair dan Sutradara Teater KoBER