Hari itu 2 Juni 2014

Bagikan/Suka/Tweet:

Isbedy Stiawan ZS

HARI itu, 2 Juni 2014. Hari dan waktu yang bersejarah bagi Sjachroedin ZP, Gubernur Lampung periode 2009-2014. Dan akan menjadi hari bersejarah pula buat Ridho Ficardo untuk 2014-2019.

Bagi Oedin, sapaan Gubernur Lampung yang berpasangan dengan Joko Oemarsaid, sudah pasti akan meninggalkan kantor Gubernuran. Sedangkan bagi Ridho-Bakhtiar akan meniscaya, setelah dinyatakan menang di MK lantaran kubu Manzada menggugat hasil Pemilihan Gubernur (Pilgub).

Lepas dari siapa kalah dan siapa yang menang dalam gugatan Pilgub di Mahkamah Konstitusi tersebut, pokok kata pada hari itu, 2 Juni 2014, merupakan hari bersejarah bagi pemerintahan di Provinsi Lampung.

Lima tahun Bang Oedin memimpin provinsi yang penduduknya sangat multietnis ini. Seorang gubernur yang jika berpidato selalu tak menggunakan teks dan bicaranya ceplas-ceplos yang dibarengi gurauan, tak sedikit warga yang menyukai karena acap terhibur juga.

Oedin, seperti juga pernah diakuinya, pemimpin yang berangkat memiliki konsep atau program. Pertama dengan konsep bahwa Lampung, sebagaimana DKI Jakarta memunyai ikon bernama Monumen Nasional, atau Sumatera Selatan dengan Jembatan Musi-nya. Maka dibangunlah Menara Siger sebelum masuk Pelabuhan Bakauheni.

Menara Siger yang berdiri di bebukitan itu, dari atas kapal motor fery yang hendak menyeberang ke Merak atau sebaliknya, dipastikan penumpang yang berdiri di anjungan akan menyaksikan kemegahan Menara Siger.

Menara Siger mulanya sebagai pintu untuk masuk dan menyeruak potensi wisata di daerah ini. Menara Siger juga sebagai “panggung utama” bagi Provinsi Lampung untuk menyajikan berbagai pertunjukan senibudaya Lampung.

Jika pada tahun-tahun silam, tiap kota kabupaten di Lampung “diwajibkan” menyajikan kesenian dan memamerkan produk masing-masing bergantian, entah pula sekarang apakah masih berlangsung. Menara Siger layaknya Taman Mini Indonesia Indoensia (TMII) yang setiap daerah “diwajibkan” menggelar keseniannya di anjungan masing-masing.

Itu program Oedin, salah satunya terwujud dan ada bukti. Konsep lainnya ialah Kota Baru bagi pusat perkantaran Pemerintah Provinsi Lampung di Jati Agung, Jembatan Selat Sunda, Bandar udara di Krui, dan (silakan deret lagi di sini) tentu banyak lagi, termasuk “menghidupkan” Pulau Pahawang menjadi potensi pariwisata.

Untuk bandara di Krui sudah berjalan, Kota Baru di Jati Agung, Lampung Selatan, masih berlangsung pembangunannya. Meski jalan menuju Jati Agung sampai hari ini masih parah kerusakannya. Dimulai dari Jalan Ratu Dibalau, Way Kandis, Bandarlampung, lalu JL P Senopati, Jati Mulyo-Karang Anyar, hingga pusat kecamatan: Jati Agung.

Nah, JSS yang bisa jadi hingga Oedin meninggalkan kursi singgasana di Pemprov Lampung, belum akan terlaksana. Boleh jadi pula, lima tahun ke depan saat kepemimpinan gubernur yang baru.

Program umroh yang dicanangkan Oedin bukan saja berkesinambungan di pemerintahannya, tapi juga “diikuti” oleh kota dan kabupaten di daerah ini. Terlepas program umroh ini ditengarai bermasalah untuk soal nama-nama peserta umroh, namun program ini “mengena” sasaran; yaitu muslim yang tak mampu berumroh bisa beribadah ke Tanah Suci demi menambah keimanannya.

Oleh sebab itu, kata Mat Yusup, lebih dan kurang kepemimpinan Oedin adalah lumrah diterima. “Yang kurang kita maklumi, yang lebih kita beri apresiasi. Yang gagal kita lupakan, yang berhasil kita acungi jempol,” katanya pagi ini.

Ya satu lagi, terus Mat Yusup, jangan dilupakan Oedin punya jasa besar bagi para seniman Lampung. Pada masa kepemimpinan dia, mimpi para seniman menjadi kenyataan. “Itu Gedung (Dewan) Kesenian Lampung di PKOR Way Halim,” ujar Mat Yusup.

“Tapi belum sempurna. Akustiknya masih belum standard, meubelernya belum ada, dan sebagainya…” aku memotong.

“Itu gampang bagi Oedin, di saat hari-hari jelang dia “pensiun’,” jawab Mat Yusup seperti tahu benar karakter Sjachroedin ZP.

“Gampang dari mana, gundulmu!”

“Itu tentu sudah ada dalam konsepnya, eh salah, programnya,” tukas Mat Yusup. “Terpenting sekarang, Gedung Dewan Kesenian Lampung itu segera diresmikan, dan yang meresmikan adalah Bang Oedin.”

Mat Yusup mengurai, Gedung (Dewan) Kesenian Lampung merupakan karya nyata Gubernur Lampung semaa dipimpin Oedin. Lebih dari 20 tahun, gubernur yang sudah berkali-kali ganti, gedung kesenian tak juga dibangun. Padahal, menurut para seniman Lampung, Gedung Kesenian Lampung adalah utang budaya pemerintah provinsi semenjak Poedjono Pranjoto sejak 1993.

Jadi, tekan Mat Yusup, kalau Ali Sadikin yang gubernur DKI Jakarta bersejerah dan tak akan dilupakan jasanya bagi seniman Indonesia ketika ia membangun dan menandatangani prasasti Taman Ismail Marzuki (TIM), maka diharapkan Oedin juga “mengekal” di dinding Gedung Dewan Kesenian Lampung.

Lalu, aku menggoyang Mat Yusup dengan pernyataan ini, soal Lampung Sai dan Majelis Penyiambang Adat Lampung (MPAL)?

Mat Yusup benar-benar tak berkomentar. Hanya tersenyum. Semua tahu, kedua lembaga itu hanyalah….