Personel Slank mendukung penuntasan kasus jurnalis Udin (dok tempo) |
Jakarta, Teraslampung.com – Hari ini, Sabtu (3/5), para jurnalis di seluruh dunia memperingati hari kebebasan pers internasional. Memperingati hari pers internasional, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia kembali menegaskan pentingnya perlindungan profesi jurnalis. Meski iklim kebebasan pers jauh lebih baik dibanding era Orde Baru, menurut AJI, profesi jurnalis hingga kini masih dalam ancaman.
“Praktik impunitas nyata-nyata dijalankan aparat penegak hukum dengan pembiaran bahkan perusakan barang bukti kasus pembunuhan jurnalis, demi melindungi para pelaku. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat sejak 1996, sedikitnya ada delapan jurnalis dibunuh yang kasusnya terbengkalai dan para pelakunya belum diadili,” kata Ketua AJI Indonesia, Eko Maryadi, di Jakarta, Sabtu (3/5).
AJI menyatakan, meski sejak 23 September 1999, Presiden Indonesia BJ Habibie mengesahkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) yang mencabut wewenang pemerintah untuk menyensor dan membredel pers, dalam kenyataannya profesi jurnalis masih menjadi salah satu profesi yang paling terancam di Indonesia. Pemerintah melalui aparat penegak hukum, baik dalam lingkungan peradilan umum maupun peradilan militer, terus menjalankan praktik impunitas, melindungi para pelaku pembunuhan terhadap jurnalis dari jeratan hukum.
AJI menyebut Indonesia memiliki rapor merah dalam perlindungan profesi jurnalis. AJI mencatat, sejak 1996, sedikitnya telah terjadi 12 kasus pembunuhan jurnalis.
Menurut Eko, delapan kasus pembunuhan jurnalis itu yang kasusnya tak terselesaikan adalah kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003), Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Nangroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010) dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010).
“Eko mengatakan, praktik impunitas terhadap para pembunuh jurnalis telah menyuburkan praktik kekerasan terhadap jurnalis yang meliput di lapangan,” Eko menambahkan.
Data AJI Indonesia menunjukkan kasus kekerasan yang terjadi setiap tahunnya tidak pernah kurang dari 30 kasus. Kekerasan terhadap jurnalis dilakukan oleh beragam kelompok, mulai dari polisi, tentara, pejabat publik seperti gubernur atau kepala dinas, anggota legislatif, maupun aparat penegak hukum lain seperti jaksa dan hakim. Perilaku aparatur negara yang abai terhadap perlindungan jurnalis juga mengakibatkan semakin banyaknya masyarakat umum yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis yang bekerja.