Zainal Asikin/Teraslampung.com
BANDARLAMPUNG – Memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day), para jurnalis yang bergabung di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung menggelar aksi simpatik di Bundaran Tugu Adipura, Selasa (3/5/2016). Selain diikuti oleh seluruh anggota AJI Bandarlampung, turut serta dalam aksi tersebut sejumlah jurnalis lainnya pun menggelar aksi simpatik.
Dalam aksi itu, puluhan jurnalis baik dari media cetak, elektronik dan online membagi-bagikan sticker kepada para pengguna jalan dan freeze mob (bentangkan spanduk) di lampu merah dan di zebra cross di bundaran Tugu Adipura.
“Tanggal 3 Mei ini, menjadi hari pendorong inisiatif publik turut serta memperjuangkan atas kemerdekaan pers,”kata sekretaris AJI Bandarlampung, Wandi Barboy Silaban di Bundaran Tugu Adipura, Selasa (3/5/2016).
Menurutnya, aksi simpatik yang dihelat pada hari kebebasan pers sedunia ini, agar masyarakat umum dapat mengetahuinya bahwa kondisi yang dihadapai para jurnalis di tanah air sekarang ini yang masih terbelunggu dan belum dihargai.
Dikatakannya, peringatan hari kebebasan pers sedunia ini berawal pada 1993, pada saat itu sidang umum PBB telah menetapkan bahwa 3 Mei diperingati sebagai hari prinsip dasar kemerdekaan pers untuk mengukur kebebasan pers di seluruh dunia.
“Sejak saat itulah, diperingatinya kebebasan pers sedunia demi memepertahankan media dari serangan atas independsi. Selain itu juga, untuk memberikan penghormatan kepada profesis jurnalisnya yang meninggal dalam menjalankan tugasnya,”kata dia.
Menurutnya, seiring kemudahan regulasi mendirikan perusahaan pers, dampaknya media masa baik cetak, televisi, radio dan media online semakin tumbuh subur. Dengan semakin tumbuh suburnya media baik yang berskala nasional, regional maupun lokal ternyata membawa dampak yang kurang baik.
Para jurnalis Lampung dalam aksi simpatik World Pres Day di Bundaran Tugu Adipura Bandarlampung |
“Dampak kurang baiknya, yakni dengan munculnya media yang dikelola dengan secara tidak profesional yang menggaji wartawannya di bawah upah standar,”ujarnya.
Selain itu juga, dengan semakin berkembangnya media yang mengaraj ke konglomerasi dan kapitalisasi, media memosisikan jurnalis sulit untuk menjaga idealismenya.
“Kalau dulu musuh kebebasan pers adalah penguasa, tapi sekarang jurnalis terkadang harus berhadapan dengan perusahaan medianya sendirim” katanya.
Disisi lain, kata Wandi, kasus kekerasan dan adanya intimidasi yang dialami jurnalis. Menurutnya, AJI Indonesia sendiri mencatat, dalamsetiap tahunnya ada sekitar 30-an kasus kekerasan terhadap jurnalissaat menjalankan tugas dan profesinya. Sehingga berbagai upaya terus dilakukan oleh AJI indonesia, dan AJI Bandarlampung untukmemperjuangkan kebebasan pers.
“Ya sesuai dengan pilar perjuangan AJI, menjaga kebebasan pers,meningkatkan profesionalisme dan meningkatkan kesejahteraan pastinya. Tapi upaya mendorong kebebasan pers itu memang sangatlah tidakmudah,”ungkapnya.
Ditegaskannya, peringatan hari kebebasan pers sedunia ini, bisa dijadikan sebuah momentum sebagai perubahan agar pers menjadi lebih baik lagi.