Harry Potter, Masa Lalu, dan Kita

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Nusa Putra*

Harry Potter memiliki masa lalu yang perih, penuh derita dan mengerikan. Ayah dan ibunya tewas saat melawan Lord Voldemort penguasa kegelapan. Ia menjadi yatim piatu. Dibesarkan oleh pamannya dalam suasana yang tidak menyenangkan. Hidupnya adalah derita.

Rupanya perseteruan dengan penguasa kegelapan belum berakhir. Sepanjang hidupnya, sejak kecil, Harry harus berhadapan dengan penguasa kegelapan dan pengikutnya yang sangat kejam. Masa lalu tampaknya merupakan penentu hidupnya pada masa kini dan masa depan.

Harry seperti terus diburu, dihantui dan diancam oleh masa lalu yang sungguh menginginkannya tewas sebagaimana ayah dan ibunya. Apalagi akhirnya ramalan tentang dirinya terungkap. Ia tidak bisa hidup berbarengan dengan Lord Voldemort. Salah satu di antara mereka harus mati. Takdir menentukan mereka merupakan seteru abadi yang harus saling menghancurkan. Ini bermakna hidup kekiniannya merupakan kelanjutan yang niscaya dari masa lalunya. Ia diborgol oleh masa lalu.

Menjadi sandera abadi dari masa lalu. Tak ada pilihan lain.

Masa lalu kadang begitu kejam, sama sekali tak memberi pilihan dan tak terelakkan. Ia memadati ingatan dan hidup sampai sama sekali tak ada celah dan kesempatan untuk seingsut pun menjauhinya. Inilah takdir banyak manusia. Bukan hanya Harry Potter.

Semua manusia melewati dan memiliki masa lalu. Masa lalu tidak pernah dilewati begitu saja, datar-datar saja. Ada penghayatan, kadang mendalam, karena dilalui dengan mengalaminya secara langsung dan nyata. Dalam konteks ini pengalaman menjadi kata kunci. Masa lalu seringkali meninggalkan jejak sangat mendalam dalam sistem memori kita. Kita bisa tersenyum, tertawa bahkan menangis saat mengenangnya. Masa lalu merupakan pengalaman yang menggumpal menjadi kenangan, nostalgi.

Bagaimana kita menyikapi masa lalu, entah berapa banyak atau sedikit, bisa mencerminkan siapa kita. Ada manusia yang menjadikan masa lalu sebagai sumber kebahagiaan, kekuatan dan kebanggan. Apapun yang berasal dari masa lalu sangat dihargai dan dijaga. Perujudan penghargaan itu bisa macam-macam. Mulai dari keterikan pada benda-benda kuno yang berasal dari masa lalu, sampai pada kebanggaan pada gelar-gelar warisan yang berakar pada masa lalu. Gelar-gelar itu dipajang di depan atau belakang nama. Seringkali lebih panjang dari nama. Lucunya, ada pula orang yang bersedia “membeli” gelar-gelar tersebut. Gelar-gelar dari masa lalu yang bisa menjadi bahan ledekan atau olok-olokan pada masa kini.

Ada pula orang yang diborgol masa lalu. Ia tidak bisa memutus borgol atau rantai masa lalu. Masa lalu bagai rantai yang mengikat leher dan kakinya, kemana pun ia pergi. Inilah orang-orang traumatis. Pengalaman tidak menjadi guru yang baik, tetapi menjadi penjara yang buruk bagi mereka.
Umumnya mereka adalah korban. Korban kejahatan atau kekerasan, bahkan terkadang dilakukan oleh orang-orang yang mencintai mereka. Orang yang seharusnya melindungi mereka. Mereka terdiri dari anak-anak yang dibesarkan dengan kekerasan, korban kejahatan seksual, dan orang-orang yang dibesarkan dalam kemiskinan yang akut.

Luka karena kejahatan yang mereka alami menjadi semacam borok dalam sistem otaknya. Itulah sebabnya kenangan buruk masa lalu tak penah bisa mereka lampaui. Tidak sedikit di antara mereka yang berusaha keras agar keluar dari keperihan masa lalu itu. Beberapa berhasil. Namun lebih banyak yang gagal.

Sigmund Freud pendiri pskionalisis percaya bahwa orang-orang yang mengalami gangguan jiwa atau yang tidak mampu kendalikan diri menghadapi situasi tertentu. Orang-orang yang mengalami masalah hidup akut saat dewasa. Termasuk para penjahat. Biasanya berakar dari masa lalu yang kelam dan pahit. Terutama pada saat anak-anak.

Pandangan Freud sangat suram. Memasukkan manusia dalam deteminisme yang tak mungkin dilampauianya. Meskipun pendapat Freud ini terasa sangat merendahkan manusia. Namun, pada kenyataannya memang tidak sedikit manusia yang terkurung tenggelam dalam keperihan masa lalu.
Bagi mereka masa kini dan masa depan merupakan kelanjutan logis, kontinuitas niscaya, akibat yang tak terelakkan dari masa lalu. Masa lalu menenggelamkan mereka dalam hidup tanpa pilihan.

Berbeda dengan tipe manusia di atas adalah manusia yang memiliki kemampuan mengambil jarak dari masa lalu. Manusia tipe ini melihat masa lalu dengan cara yang positif. Ia tahu bagaimana memanfaatkan masa lalu bagi hidupnya pada masa kini. Ia dengan tepat dan cermat memilah dan memilih masa lalu yang bisa diolah bagi peningkatan hidupnya pada masa kini dan masa depan.

Manusia tipe ini mampu melampauai masa lalu. Ia tidak pernah terbebani oleh masa lalu. Betapa pun indah atau perih masa lalu itu baginya. Ia tahu ada bagian dari diri dan hidupnya yang pernah terbakar atau membusuk karena suatu kejadian pada masa lalu.

Tetapi ia yakin selama terus berbuat baik dan mengusahakan kebaikan, semua yang terbakar dan busuk itu akan pulih. Pasti mekar tunas-tunas baru.  Ia sepenuhnya sadar, tak ada manusia suci, tak ada manusia yang tak pernah berbuat khilaf dan salah, terutama pada masa lalu. Namun, ia sadar selama ada kemauan untuk perbaiki diri, minimal mengikuti keledai, diri dan hidup bisa terus dimaknai.

Manusia tipe ini melihat masa lalu seperti tambang emas. Kita tak pernah mendapatkan emas tanpa mengayak atau membersihkan pasir masa lalu untuk menemukan emasnya. Di tambang, emas tersembunyi di antara lumpur dan pasir. Itulah masa lalu.

Ia tahu apa yang perlu diambil dan dipertahankan dari masa lalu, dan apa yang harus dibuang. Dicampakkan dalam lubang hitam masa lalu.

Bagi mereka masa kini tidak selalu merupakan  kelanjutan tak terelakkan dari masa lalu. Mereka bisa lakukan lompatan kuantum, menjadi seseorang yang tak terjamah oleh masa lalu. Bagi mereka, masa lalu tak lebih dari batu loncatan. Sekadar sebuah titik ungkit untuk terbang tinggi, lebih tinggi.

Ada pula manusia yang memperlakukan masa lalu mirip seperti buang hajat  dipagi hari. Dinikmati saat dikeluarkan, dan baru-buru disiram agar segera hilang dari pandangan dan tak pernah ditoleh lagi. Seindah atau seperih apapun, masa lalu adalah masa yang memang harus ditinggalkan. Tak ada waktu untuk sekadar mengingatnya. Karena memang tak bermakna.

Mereka yakin bahwa manusia ditakdirkan menghadap dan berjalan ke depan. Manusia adalah makhluk yang berorientasi atau berkiblat ke depan. Setidak pasti apapun masa depan itu.

Mereka merasa diri seperti kupu-kupu yang sama sekali berbeda dari kepompong meski berasal dari kepompong. Masa lalu adalah kepompong yang berbeda dari kupu-kupu. Jika hendak menjadi kupu-kupu tinggalkan semua kekepompongan. Kupu-kupu bukan kepompong, seperti ayam bukanlah telur.

Masa lalu, masa kini dan masa depan adalah garis putus-putus. Tak ada hubungan logis. Sama sekali bukan kontinuitas, tetapi sepenuhnya diskontinuitas. Mereka lebih sering merasa bahwa masa lalu adalah ilusi dan masa depan merupakan imaji. Bagi mereka yang nyata adalah kini dan di sini.

Mereka tak pernah mau dibelenggu masa lalu dan direpotkan oleh masa depan yang sama sekali tak pasti dan tak terfikirkan. Bukankah saat kita memasuki masa depan, masa depan itu berubah jadi masa kini?

Mereka menghayati bahwa kekinian sama sekali tak berkaitan dengan kelampauan dan keakanan. Bukankah sejarah hidup banyak orang terkenal lebih banyak mengikuti pola ini. Siapakah Madona, Inul Daratista,  Cita Citata, dan Jokowi pada masa lalu? Siapa dia pada masa kini? Dan jadi apa pada masa depan? Mereka  pun tak bisa menjawabnya dengan tepat dan pasti. Sejarah hidup Akil Muchtar, Sutan Bhatoegana, Anas Urbaningrum juga mengikuti pola ini. Keterkaitan itu lebih sering bukan merupakan kausalitas apalagi kontinuitas.

APA MAKNA MASA LALU TIDAK SAMA BAGI SETIAP MANUSIA.

*Dt. Nusa Putra, M.Pd adalah dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Ia banyak menulis buku tentang Metodologi Penelitian.

Baca Juga: Harry Potter dan Politik Kita
Kopi Pagi Lainnya