Jauhari Zaelani
Kemarin, Sabtu 10 Januari 2014, saya menghadiri acara aqiqah. Pasangan muda ini muda dan kaya. Rumah baru yang megah, hidangan makan dan suasana menggambarkan kemakmuran pasangan ini. Tapi melalui tulisan ini, saya akan berbagi cerita yang disampaikan oleh Ustad Edison, penceramah pada acara tersebut. Kurang lebih begini, penggalan cerita sang ustad:
Mendidik anak, itu amanah. Gampang-gampang susah, apalagi pada era serba hedon pada masyarakat urban. Sang ustad berkisah “..di negeri jiran, ada pasangan muda yang sukses. Suaminya kerja dari pagi hingga malam, demikian juga sang istri.
Di tengah kesibukanya, Dedek, sang anak tumbuh bersama sang pengasuh. Pagi, mandi dan makan bersama sang “mbak”-nya. Berangkat sekolah bersama mbak, pulang sesampai di rumah sang anak makan dan nonton tv sama mbaknya. Malam hari, tidur dengan mbaknya. Sesekali, ayah dan ibunya melihat anaknya yang sudah tidur pulas. Pasangan muda tersebut puas, anak lelakinya tumbuh normal dan cerdas. Karir kerjanya pun cemerlang. Tentu saja, gambaran ini menyenangkan sekali dan menjadi dambaan setiap orang tua “muda usia”.
Keberhasilan itu ditandai dengan memiliki rumah dan kendaraan untuk kerja. Suatu hari, sang ayah membeli mobil baru berharga “milyaran”. Disayangnya mobil yang mengkilat. Dielusnya mobil yang mendongkrak kebanggaan dirinya. Kemanapun dirinya pergi selalu bersama mobilnya yang amat prestisius itu.
Suatu hari sang ayah dinas ke luar kota. Berhari-hari ia meninggalkan keluarga, dan terutama mobil kesayangannya. Mobil yang mahal itu, ditinggal di garasi rumahnya. Garasi yang lega, karena lebar dan bersihnya. Harum semerbak dari dalam mobil memenuhi ruang “kandang mobil- nya itu.
***
Sang anak, Dedek tumbuh dengan cerdas dan manisnya. Di sekolah, ia berani tampil dan pinter menyanyi. Buku gambarnya, di penuhi coretan dengan warna-warni krayonnya. Coretan-coretan itu menyalurkan emosinya dan ia acap tersipu senang ketika memperoleh pujian dari ibu gurunya di sekolah maupun dari sang mbaknya.
Suatu hari, ketika “mbaknya” sedang mengerjakan pekerjaan rutinnya di dapur, sang anak main di garasi. Gambar dan bayang-bayangan dirinya ada di mengkilap mobil itu, kakinya mendorong mendekati gambar dirinya di mobil itu. kemudian, tangannya mengelus dirinya yang nampak di mobil ayahnya tersebut. Berulang-ulang dielus bayangan dirinya yang dalam kilap mobil itu.
Tubuhnya merapat ke mobil, pipinya ditempelkan “pipinya” yang di mobil. Tangannya, mengusap-usap mobil, ia merangkul dan memeluk dirinya. Sembari terus menempel di mobil itu, Dedek membayangkan ibu dan bapaknya menjemput sekolah. Dia membayangkan ibu dan bapaknya bersama dirinya di dalam mobil itu. Dia membayangkan ia dipangku, dipeluk, dicium ibunya di dalam mobil itu. Dia membayangkan ia main berkejaran di taman bersama ibunya. Dia membayangkan ia bersama ayahnya main kuda-kudan. Dia membayangkan bersama ayah dan ibunya duduk-duduk di taman. Dia membayangkan ayah dan ibunya bergantian memeluk dan menggendongnya. Dan dia membayangkan dirinya tertidur di pelukan sang ibunya.
***
Keesokan harinya, sang ayah pulang. Kangen dengan mobilnya, ia memasuki garasinya. Kejut tak alang kepalang, ia memanggil mbaknya.
“…mbak, siapa yang mencoret-coret mobil ini?! Mbak tahu nggak mobil ini bisa untuk membeli tanah sekampungmu itu?”
Sang mbak, diam terpaku. Tak berani menatap sang manjikan. Apalagi menjawab.
Sang anak, yang baru datang menyusul di garasi pun senang hati menjawab pertanyaan sang ayah.
“Papa, ini yang menggambar adek. Bagus kan pa? Ini gambar papa, ini gambar mama, ini gambar mbak, dan ini gambar Dedek,” sang anak dengan semangat mempresentasikan lukisannya.
Sang ayah menumpahkan kekesalan dan kemarahan. Ia memukul anaknya. Tak puas dengan tangannya, kemudian mengambil sebilah tongkat kecil untuk memukul jari jemari anak semata wayangnya. Sang anak menangis sejadi-jadinya. Sang anak menangis sambil memanggil sang “mbaknya”. Dedek ditinggalkan ayahnya dalam pelukan sang mbak. Hingga di kamar, sang anak, Dedek, terus menangis hingga berhari-hari.
***
Suatu hari, sang ibu melihat ke kamar mbaknya. Melihat anaknya sedang panas, ia mengeluarkan uang seraya memerintah mbak membawa ke dokter. Berhari kemudian, sang ibu menengok anaknya ke kamar pembantunya. Terkejut dan terpekik sang ibu melihat anaknya sudah kurus, matanya kuyu dan celong menonjol, wajahnya pucat pasi. Kata ibunya, “Mbak…kan sudah saya suruh di bawa ke dokter!” kata sang ibu.
Dijawab oleh pembantunya,”Saya sudah ke dokter nyonya. Tetapi Dedek tidak mau minum obat tidak mau makan. Kalau tidur, Dedek selalu ngigau dan memanggil-manggil papa dan mama,” sang mbak berkisah dengan berurai air mata.
***
Di rumah sakit, sang anak menjalani perawatan dokter dan perawat. Dia senang, ibunya ada di kamarnya. Ketika ia bangun ia melihat ibunya ada di sisinya. Dedek menikmati ketika disuap minum dan makan oleh ibunya. Ketika malam hari, ibunya menemani tidur-tidurnya. Rasa senang itu yang membuat lukanya cepat sembuh.
Sampai datang suatu hari, ayah dan ibunya berada di kamar tempat ia dirawat. Ketika itu datang sang dokter yang sudah akrab dengannya. Sang dokter berkata “Dedek senang ya, ada ayah-ibu. Dedek sudah sembuh dan boleh pulang. Sudah dijemput ayah dan ibu. Tapi dibuka dulu ya perbannya, terus diganti yang baru,”
Dedek perhatikan dengan seksama tangan dokter yang bekerja dengan lembut. Membuka pelan-pelan perban yang membungkus tangannya. Hingga selesai dan kemudian nampak olehnya tangannya. Diperhatikannya, tangannya yang sudah tak terbungkus lagi. Dipandangnya tanganya, di kibas-kibaskannya tangannya, hingga berulang-ulang.
Dedek berharap jari-jarinya kan muncul. Dikibaskannya lagi dan lagi tangan, tak juga muncul jari jemarinya. Di pandanginya sang dokter, di tatapnya bergantian sang ayah dan ibunya. Pandangan penuh tanda tanya. Tak ada jawaban, semua hanya terdiam.
Dedek turun dari tempat tidur dengan bimbingan dokter. Ia bersujud di depan ayahnya. Seraya meminta maaf.
“Ayah, maafkan Dedek ayah. Dedek telah merusak mobil ayah yang bagus dan mahal itu. Hingga ayah murka pada Dedek. Maafkan Dedek ayah…”
Semua terdiam. Dedek masih sujud dan memeluk kaki ayahnya. Berurai air mata.
“Ayah, Dedek berjanji, tak akan nakal lagi ayah. Dedek berjanji, jika Dedek sudah besar, akan saya ganti mobil ayah yang rusak. Tapi, tolong ayah. Tangan saya kembalikan seperti semula. Tumbuhkan jari jemari ini ayah….”
****