Tekno  

Hati-Hati, Candu Gadget Bentuk Pribadi Egois

Anak-anak bermain gadget (Ilustrasi)
Bagikan/Suka/Tweet:
Anak-anak bermain gadget (Ilustrasi)

TERASLAMPUNG.COM– Kehadiran teknologi ponsel pintar dan tablet termutakhir yang didukung internet berkecepatan 4G, kalau tidak disikapi dengan bijak pelan-pelan namun pasti menjadikan anak sebagai pribadi yang makin dimiskinkan.

“Memang, kemajuan teknologi membawa banyak kemudahan bagi manusia. Namun, ada juga dampak negatifnya. Anak-anak kini asyik bercengkrama dengan beragam aplikasi game di smartphone, tablet dan komputer. Bahkan, tidak sedikit yang kini suka nongkrong di game center hingga berjam-jam lamanya,” terang Peneliti Merapi Cultural Institute (MCI), Gendhotwukir.

Peneliti yang pernah mengenyam pendidikan di Philosophisch-Theologische Hochschule Sankt Augustin Jermanini mengaku khawatir dengan makin canggih dan suburnya teknologi modern yang terus merengsek ke pelosok-pelosok desa, entah melalui gadget dengan benchmark yang makin mumpuni atau dengan menjamurnya game-game center hingga di gang-gang perkampungan dan pelosok-pelosok desa.

“Permainan berbasis teknologi memang kaya sensasi, mengasyikkan dan penuh fantasi. Game-game modern menjadi lebih praktis karena tak memerlukan tanah lapang dan banyak teman seperti dalam permainan tradisional. Cukup sendirian di depan layar komputer, smartphone atau tablet, seseorang bisa terjun dalam dunia permainan yang mengasyikkan,” imbuhnya.

Namun di balik kemudahan yang didapat dari game-game modern, terang salah satu Pendiri Rumah Baca Komunitas Merapi (RBKM) di lereng Gunung Merapi ini, ada aspek eksistensial seseorang yang makin tersamar. Game-game modern yang makin canggih cenderung mengarahkan dan membentuk seseorang menjadi pribadi yang individualis dan egois.

“Anak benar-benar menjadi generasi ‘menunduk’. Anak cenderung menciptakan dunianya sendiri dan menikmatinya seorang diri. Ia semakin berjarak dari dunia nyata. Ia semakin teralienasi (terasing) dari dunia sekitarnya. Saking asyiknya, saat dipanggil pun kadang tidak mendengar. Egoisme terbentuk karena pembiasaan,” terangnya.

Anak membangun dunianya sendiri dalam mesin yang menakjubkan dan lambat laun mesin itu menguasainya. Karena kecanduan, anak tidak lagi merasakan diri sebagai pembawa aktif dari kekuatan dan kekayaannya, tetapi sebagai benda yang dimiskinkan, yang tergantung pada kekuatan di luar dirinya.

“Dalam game-game modern anak bertamasya ke dunia bentukannya sendiri dan berkuasa atasnya. Tetapi sebenarnya, ia tidak mencipta fantasi maupun ilusi. Ia hanya memakai saja sarana yang sudah ada dan terformat sedemikian rupa. Ia masuk ke sebuah dunia mikrokosmos tanpa pengembaraan, tanpa keriangan dan rasa takjub. Ia hanya takjub pada citraan simulasi,” tegas peneliti yang intensif menekuni Cultural Studies ini.

Ia menjelaskan dalam game-game modern, anak bukanlah pencipta, ia hanya pemakai. Ia digiring pada dunia mikrokosmos yang telah diprogram. Lawan yang ada bukanlah manusia, tetapi ikon-ikon dalam dunia maya yang telah diprogram. Maka, yang dihasilkan adalah kemabukan pada ikon-ikon maya, sekadar kenikmatan (ekstasi) kecepatan pengoperasian keypad, layar sentuh atau keyboard.

Satu hal yang sering tidak disadari bahwa ketika mesin-mesin yang diciptakan itu mulai menguasai manusia, nilai-nilai manusiawi pelan-pelan ditiadakan. Yang terjadi di sini yaitu pemiskinan makna bersosialisasi yang mengarah pada hilangnya kepekaan sosial. Seseorang semakin teralienasi dari lingkungan dan dunia riilnya.

“Kehadiran game-game modern membawa manusia semakin terasing dari dunia riil. Seseorang tidak perlu berinteraksi dengan orang lain untuk bermain game-game tersebut. Sendirian pun dapat bermain dan menciptakan dunianya sendiri. Dunia yang lebih hebat, lebih megah, walau sama sekali lain dengan dunia riil.

“Anak bisa saja menjadi lupa dengan keberadaan alam sekitar dan sesamanya. Ia sendirian, tanpa orang lain dan tanpa alam. Dengannya, kecakapan sosial tidak terasah. Oleh sebab itu, sudah selayaknya para orangtua bersikap bijak dan tegas. Mereka hendaknya mengetahui waktu yang tepat untuk memberikan gadget pada anak, memberikan batasan maksimal agar anak tidak kecanduan dan meluangkan waktu rekreasi keluarga tanpa gadget,” sarannya.