Catatan Rudolf Puspa*
Berita tanggal 16 Desmber 2020 tentang Elena, seorang wanita berumur 104 tahun yang sembuh dari Covid-19 setelah dirawat 14 hari di rumah sakit Gregorio Madrid, Spanyol, viral di media sosial. Tepuk tangan dokter dan perawat mengiringi sang nenek meninggalkan rumah sakit dengan senyum bahagianya. Mukjizat? Anugerah? Tuhan Maha Besar bekerja secara misterius?
Membaca berita tentang nenek Elena mengusik pikiran dan perasaan saya yang juga sedang menjalani usia senja. Tanggal 29 Juni 2022 saya memasuki umur 76 tahun. Saya sadari, usia itu sebagai sebuah perjalanan bonus kehidupan dari Sang Maha Kuasa yang sering sukar dipahami secara logika. Perjalanan panjang yang jika disusun sebagai sebuah biografi tak akan cukup hanya dengan 3-4 lembar kertas kwarto tentunya.
Hal yang tidak dimungkiri bahwa usia senja akan mendapat ruang utama dalam kehidupan pribadi yang disebut kesepian. Ruang yang tidak menyediakan teman untuk bicara secara harafiah tempat saya bisa bertatap muka saling dengar dan melihat. Saya sendirilah yang harus mencarinya dan siap untuk menikmati betapa tidak mudah mendapat kemudahan untuk itu. Alasan utama yang terhormat adalah anak, menantu, keluarga punya kesibukan menyelamatkan hidupnya. Masih bersyukur di Negeri Matahari Terbit masih memiliki budaya kunjungi orang tua. Juga bisa jadi tempat penitipan cucu selama orang tuanya bekerja dan sore hari dijemput pulang.
Dalam keadaan seperti itu terasa sebagai berkah melimpah walau tentu juga terbatas pada umur si anak ketika sudah remaja dan siap mandiri. Beda dengan negeri barat yang memang sudah menjadi budaya hidup sendiri hingga akhir hidupnya. Di taman-teman sekitar rumah tampak mereka jalan-jalan, mengobrol, bermain, bercanda asyik dengan anjing piaraannya. Tidak heran bila sering muncul berita ditemukan lansia meninggal sudah berhari-hari seorang diri di rumahnya. Bagi yang pelihara anjing mudah diketahui tetangga karena sang anjing menggonggong untuk memberitahu warga.
Selain itu, masih bisa beruntung jika berada tinggal di rumah jompo sehingga masih bisa berteman dengan sesamanya. Namun, di ruang sepi itu ternyata tidak selalu gelap gulita karena tersedia jendela, pintu, dan atap yang bisa dibuka sehingga mata dan telinga masih diberi kesempatan melihat dan mendengar suara, gerak, warna, embusan angin yang menyapa dan siap sedia menjadi teman atau lawan berkomunikasi. Keindahan alam serta lalu lalang manusia dengan beraneka laku dramatisnya menyulap ruang sepi ini menjadi sebuah taman kehidupan yang menyediakan jawaban dari apa yang dibutuhkan manusia lanjut usia. Pertanyaannya: mau dan mampukah membuka? Atau pasrah dan menerima menjadi pesakitan sambil menunggu hari panggilan terakhirnya? Bersyukurlah bila masih ingat untuk berdoa.
Seperti umumnya manusia biasa ketika usia senja tiba suara parau, tubuh gemetar, jantung berdetak sumbang, pandangan mata kabur mendesak mendorong ke sudut-sudut ruang gelap hingga ketakutan tumbuh dan makin hari makin menguat bahkan hingga melumpuhkan logika berpikir serta emosi yang gaduh oleh perasaan takut akan datangnya kematian. Yang selama ini dengan gagah yakin dan percaya bahwa mati pasti akan tiba dan tak perlu dipermasalahkan. Tiba-tiba kini justru kematian menjadi hantu yang menakutkan. Perasaan ngeri merasa sendiri, merasa tak berguna, merasa tak punya apa dan siapa sehingga bagai berada di tengah kuburan yang dikelilingi hantu-hantu yang siap menerkam merobek-robek jiwa yang kehilangan kekuatannya.
Tiap manusia diberikan kekuatan cadangan bagai ban serep untuk dipergunakan ketika malapetaka datang dan seluruh kekuatan hidup sehari-hari habis. Cuma memang terkadang ada yang ingat dan kadang tidak. Awalnya saya tidak tahu apa sebab aku bisa ingat ban serep yang tersimpan rapi. Dengan demikian, saya menyadari masih memiliki daya hidup untuk menggerakkan tubuh dengan segala perangkatnya dan bergerak membuka pintu, jendela, atap ruang sepi.
Sinar mentari, angin, menerobos masuk ruang dan memutar balikkan ketakutan menjadi daya hidup dan saya merasa lahir kembali. Lahir di ruang yang ditemani buku, piagam penghargaan, poster, foto-foto manggung yang justru memberikan kehangatan yang menyadarkan bahwa aku ada dan masih terus meng-Ada. Saya tidak sendirian karena kulihat hamparan taman, ladang, sawah, hutan, gedung-gedung pencakar langit, lalu lintas padat saling berebutan untuk sampai tujuan, pameran seni rupa, pertunjukkan kesenian dalam segala bentuknya, anak-anak bermain riang gembira, pelajar menuntut ilmu, kampus-kampus siang malam sibuk menganalisis, observasi, bekerja keras untuk tidak beku oleh perubahan-perubahan yang terus menerus terjadi di dunia ini.
Saya bergerak menari, bernyanyi, bergumam hingga berteriak menyapa, mendekap kesegaran yang dibawa angin dan sinar mentari. Melalui jendela dan pintu serta atap yang selalu kutemui adalah anak-anak, remaja, muda mudi yang melambaikan tangan memanggilku. Merekalah tunas-tunas bangsa yang akan terus lahir dan membutuhkan usapan, bisikan, dorongan untuk melangkah kedepan mencapai apa yang sering orang katakan mimpi atau cita-cita yang ditemui secara merdeka. Mereka hanya bergerak mengikuti rasa, emosi yang timbul yang tidak mau digurui atau diarahkan apalagi ditentukan. Mereka butuh untuk mendapat ruang merdeka belajar, bekerja hingga mendapatkan ruang yang dipilih dirinya bagi dirinya serta lingkungannya.
Kucubit kulitku, kugelitiki tubuhku, kutampar wajah dan masih terasa sakit, geli dan perih yang membuatku sadar bahwa usia senja bukan berupa seonggok daging yang renta tak punya daya; namun akan menjadi daya hidup yang justru menjadi tongkat ajaib bagi anak cucu hingga cicit dalam membentuk diri mereka bergelora penuh gairah hidup bagi diri dan sesamanya bukan saja lokal, nasional namun menembus masuk ke dunia luas untuk berenang di samudra penuh ombak besar, terbang menembus awan-awan tebal serta berjibaku kedalam hutan belantara dan menjadi sang juara.
Sejarah panjang kesenimananku yang telah mengalir sejak 1966 hingga kini adalah cermin dahsyat yang memperlihatkan sebuah perjuangan hidup dari panggung ke panggung di kota besar, kecil hingga desa yang terpencil di nusantara dan 11 negara. Bukan hanya pertunjukkan namun juga kegiatan bengkel latihan yang bukan sekedar melatih berteater namun lebih jauh adalah justru memberi ruang inovasi anak-anak muda hingga menemukan kepribadian dan karakternya. Keringat dingin, hangat hingga panas membakar semangat bergerak sehingga tak ingat lagi lelah, sakit, miskin, cibiran, sanjungan dalam kegiatan menggelorakan hidup melalui kesenian dan khusus bagiku teater.
Gairah. Ya gairah yang tumbuh dari dalam lubuk hati yang tidak mengenal waktu dan ruang untuk terus bekerja bahkan jauh dari pemikiran finansiil. Gairah adalah terjemahan dari passion. Ketika kita sudah memiliki gairah akan sesuatu maka akan mendapatkan rasa nikmat yang merupakan sebuah keberuntungan. Tak pelak lagi ruang sepi justru membukakan mata telinga hatiku hingga akupun merasakan sebagai kelahiran keduaku dalam gairah yang tidak berubah namun justru makin menguat. Manusia pada hakikatnya selalu membutuhkan teman ataupun lawan untuk berdialog, debat bahkan tidak menutup kemungkinan bertinju di atas ring, yang justru menjadi batu asah yang akan menyegarkan gairah. Salah satu keberuntungan dalam gairah adalah terciptanya rasa bersama dalam kebersamaan. Berlawanan ide, karakter, laku dramatik bukan merupakan sikap untuk bermusuhan yang hanya akan melahirkan “kekerasan” dalam berbagai bentuknya yang semakin jauh dari perdamaian hidup sejahtera.
Saya temukan kegairahan hidup selama bergaul dengan anak,cucu, cicit di arena teater berpuluh tahun sudah. Saya dapatkan pelajaran yang sangat berharga dan layak dibagikan adalah ketika senja mulai kumasuki adalah dalam hal kemampuan untuk menyingkirkan ego yang tidak mau mendengar dan hanya mau didengar seolah-olah umur yang lebih tua adalah yang paling benar dan harus dituruti. Perasaan inilah yang akan membuat usia senja terjerembab pada rasa kecewa, merasa disendirikan, dijauhkan bahkan lebih menyayat yakni dibuang. Padahal, semua itu terjadi bukan karena mereka namun justru dari dalam diri sendiri.
Memang diakui bahwa sering umur senja sangat sulit menerima gairah anak muda yang terlihat jauh berbeda dengan gairah si senja usia. Jadi tak heran jika terjadi jurang yang dalam antara si muda dengan si senja. Karena keras kepala si senja maka si muda mengalir mencari jalannya sendiri dan itu bisa diartikan merupakan cara terbaik dalam menghormati karakter si senja. Manusia sering lupa bahwa hidup memiliki apa yang disebut irama. Irama adalah perubahan dari saat ke saat dari awal hingga akhir. Masa lalu kita bukan milik anak kini walau tidak salah diajak melihat dan merdeka untuk dipakai sebagai batu loncatan atau tidak. Yang pasti harus kita pahami mereka berlari ke depan bukan mundur ke belakang.
Dari uraian di atas kita bisa memahami kenapa yang namanya regenerasi di berbagai bidang begitu sulit dilakukan. Sepertinya ada halangan yang sangat mendasar yakni budaya adat zaman feodal masa silam bahwa yang namanya raja itu seumur hidup dan penggantinya adalah putra mahkota. Jika mengarah kesana maka cukup terasa menghardik pemikiran kita untuk menyadari bahwa rentang waktu zaman raja2 silam hingga hari ini sudah lebih dari seratus tahun. Usia kemerdekaan bangsa saja sudah 77 tahun hingga 2022 ini. Oleh karenanya, kita perlu keberanian membedah masa lalu yang masih belum terlalu lama berlalu yakni pemerintahan yang berkuasa 21 tahun dan yang terdekat 32 tahun. Adakah benih benih feodalisme yang melahirkan raja dan putera mahkota yang istilah kerennya KKN? Perlu ruang tersendiri untuk bincang masalah ini.
Yang kini saya rasakan justru sangat berbahagia ketika gairah berkesenianku tetap mampu terselenggara bersama anak, cucu, dan cicit. Ada terpancar sangat kuat daya hidup bersama anak bangsa yang sedang tertatih, melata, merangkak, menggapai dan bergerak di tanah bebas melepas merdeka dan bergandeng erat mencapai masing-masing apa yang menjadi mimpinya. Bukan sebagai pelaksana kemauan orang tua mereka. Itu semua aku syukuri karena selama berkarya sebagai sutradara aku memilih apa yang sering disebut sebagai teater aktor. Barangkali ini akibat positif aku terlahir sebagai anak yang pemalu sehingga selalu lebih nyaman berada di balik layar.
Karenanya, saya sangat minim bicara walau sudah sebagai sutradara. Lebih saya banyak mendengar dan melihat lalu memberikan ruang dan waktu para pemain dan penata artistik berkarya yang tentu pada akhirnya sutradara yang menjadi penentu. Kusadari merangkai ciptaan para pemain dan juga penata artistik ternyata tidak mudah sehingga memerlukan polesan, potong tambah sana sini sehingga menjadi satu rangkaian yang tepat menjadi satu bentuk pertunjukkan yang komunikatif indah dan penuh daya sentuhan dari hati ke hati.
Gairah tidak mengenal waktu dan ruang serta menembus rasa takut tidak memiliki kenikmatan benda-benda duniawi. Tidak ada alasan apapun untuk mengatakan bahwa gairah juga tak mengenal usia senja. Ia akan terus menggema menggerakkan daya hidup yang justru membawa sinar terang serta angin segar yang terus merasuki jiwa yang terpancar lewat senyum damai dan membawa kasih bagi sesamanya tanpa kecuali. Bahkan keberagaman yang merupakan bentuk kebangsaan kita yang tak ada duanya di dunia akan mudah menyatu dalam diri setiap anak bangsa untuk menjadi sebuah kekuatan yang akan mampu hadir sebagai bangsa besar yang mengayomi dunia. Jika kita semua bisa menyadari hal ini tentulah akan semakin terhindar pertikaian akibat perbedaan suku, ras, adat budaya, agama hingga pilihan politik.
Senja bukan merupakan ruang sepi yang mutlak yang membuat lemas hingga sakit yang justru membebani keluarga. Jika awalnya aku juga tak menemukan kata yang tepat untuk menjawabnya maka tanggal 26 Desember 2016 di panggung teater Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki aku berdiri dan menerima penghargaan dari Federasi Teater Indonesia sebagai “Abdi abadi”. Sebuah penghargaan yang untuk pertama kali ada dan ini merupakan sejarah yang menyadarkan bahwa seluruh kehidupanku didukung sebuah daya hidup yang bernama pengabdian. Barangkali aku merasa lebih tepat memahami istilah abdi yang tentu bisa disamakan dengan passion atau gairah. Abdi mengandung sifat bijak, arif, merangkul, mengasihi, yang bisa mengasah sifat ego untuk tidak menjadi penghalang dalam bekerjasama. Menjadi teringat tokoh pewayangan yakni Semar yang dikenal sebagai dewa yang turun ke bumi mengabdi manusia.
Semakin bersyukur karena melalui teater aktor saya dilatih memiliki mata telinga yang peka yang ujungnya adalah kemampuan berbagi dan peduli. Hal ini sebenarnya sudah terangkum pada sila ke empat kita yang kesohor yang memang digali dari bumi pertiwi yakni musyawarah. Menyedihkan sekali bila sila ke empat ini semakin menipis sehingga yang terjadi justru saling kuat-kuatan bahkan dalam fisik dan jumlah. Saya percaya kesenian apapun terutama yang telah hidup mengakar di bumi pertiwi bila diberi ruang dan waktu akan mampu mengembalikan marwah bangsa yakni cinta tanah cinta air cinta udara jadilah cinta tanah air udara Nusantara.
Pengabdian adalah suara, gerak gairahku yang membawa keberuntungan untuk tetap berdaya hidup dalam menerima serta menjalani usia senja bahkan semakin menuju malam sunyi yang terang benderang bagiku, bagi anda, bagi kita semua.
Salam jabat bahagia gairah senja!
*Rudolf Puspa, Sutradara Teater Keliling