TERASLAMPUNG.COM — Meskipun desakan sudah pernah disampaikan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), namun sampai hari ini (6/4/2020) pemerintah belum mau membuka data terkait pasien yang sudah dinyatakan positif mengidap virus corona atau Covid-19.
Menurut IDI dan AJI, data pasien positif virus corona itu sangat penting untuk memudahkan penelusuran kontak pasien dan memprediksi penyebaran virus serta upaya pencegahannya.
Dalam setiap konferensi pers terkait pemutakhiran (update) data virus corona di Indonesia, juru bicara pemerintah untuk penanggulangan Covid-19 Achmad Yurianto, selalu hanya menyampaikan angka-angka berupa jumlah orang yang positif virus corona, penambahan jumlah pasien yang sembuh, dan penambahan jumlah pasien yang meninggal.
Begitu juga data yang dirilis oleh Dinas Kesehatan atau Gugus Tugas Penanggulangan Covid-19 di level provinsi di seluruh Indonesia.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Dr. Daeng M Faqih, SH, MH mengatakan pemerintah sebaiknya mulai membuka identitas pasien positif virus corona (Covid-19). Menurut Faqih pemerintah cukup menjelaskan minimal pemerintah mengumumkan nama dan alamat lengkapnya.
“Cukup nama dan alamat, itu cukup. Itu sudah bisa dipetakan nanti penyebarannya kemudian bisa dipagari supaya tidak menyebar,” katanya, pertengahan Maret 2020 lalu.
Menurut Faqiih, keterbukaan informasi ini bermanfaat untuk memberikan peringatan kepada yang lain agar tidak mendeteksi yang sakit.
“Berkaitan dengan melindungi, memagari, dan contact tracing siapa yang berhubungan dekat dengan dia. Kalau tidak dilakukan itu sudah susah penyebarannya,” katanya.
Hal senada dikayakan Dewan Pakar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), M Nasser. Menurut M. Naseer, membuka identitas pasien positif corona tidak termasuk membuka rahasia medis.
“Kerahasiaan medik diatur dalam empat undang-undang lex specialis, yakni Pasal 48 UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Pasal 38 UU Nomor 36 tahun 2015 tentang Tenaga Kesehatan, Pasal 38 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan Pasal 73 UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Secara materi, kata dia, isi pasal-pasal tersebut tidak berbeda jauh atau berulang. Dengan adanya empat undang-undang lex specialis ini maka kami memegang azas hukum lex specialis derogat lex generalis,” tuturnya.
Menurut Nasser, dari empat UU itu rahasia medik seseorang bisa dibuka bila berhadapan dengan kepentingan kesehatan publik.
“Menyembunyikan identitas pasien terinfeksi corona hanya akan mendukung penyebaran rasa takut pada masyarakat,” kata Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia itu.
Ia mencontohkan saat pemerintah mengumumkan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi positif corona. Hal tersebut dianggap menimbulkan simpati mendalam warga dan menimbulkan kesadaran kesehatan dari orang-orang yang pernah berhubungan dengannya.
Sementara Ketua AJI Indonesia, Abdul Manan, mengatakan pemerintah perlu lebih transparan dalam menyampaikan informasi soal Covid-19. Menurut Manan, pemerintah juga perlu membuka riwayat perjalanan pasien positif Covid-19, menyediakan peta sebaran, dan mengumumkan pejabat publik yang positif Covid-19.
“Untuk menghindari kesimpangsiuran data, pemerintah juga perlu menyamakan data dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara terus-menerus. Transparansi ini penting untuk memberitahu publik agar memahami bahaya virus ini. Sehingga, bisa berhati-hati dan berusaha tidak menjadi korban berikutnya. Semua informasi tersebut hendaknya disediakan dan didistribusikan secara meluas, serta mudah diakses oleh publik, termasuk oleh kelompok difabel dan pendamping mereka,” katanya.
Manan mengatakan, pemerintah perlu bersikap terbuka dalam menangani krisis ini, dengan menyampaikan kondisi sebenarnya tentang kesiagaan, kebijakan yang dibuat, dan kendala yang dihadapi. Termasuk juga kesediaan untuk mendengarkan masukan publik, ahli kesehatan, serta bantuan dari negara lain dalam menghadapi virus Corona.
“Pemerintah perlu memberitahu publik segera jika ada informasi terbaru. Langkah ini dimaksudkan untuk menanggulangi penyebarluasan informasi di masyarakat, yang bisa jadi belum tentu kebenarannya. Jika pemerintah konsisten melakukannya, itu akan menjadi investasi kepercayaan yang penting bagi pemerintah. Sebab, publik akan percaya bahwa pemerintah segera memberitahu jika ada perkembangan baru. Sehingga, tak ada kebutuhan untuk memercayai sumber informasi yang lain. Informasi yang disampaikan pemerintah juga menyediakan dan mendistribusikan informasi yang mudah diakses oleh setiap kelompok difabel dan pendamping mereka,” tandasnya.
Hingga Senin (5/4/2020) dikabarkan sudah ada 19 dokter yang meninggal dunia karena virus corona. Selain menyampaikan keprihatinan mendalam, IDI meminta pemerintah memastikan perlindungan bagi para petugas di garda terdepan penanggulangan virus corona, termasuk pada dokter dan tenaga medis.