Opini  

“Hoax”, “Hoax Ilmiah” Alan Sokal, dan Kasus Saracen

Bagikan/Suka/Tweet:

Ahmad Yudeln Erwin

Sulap dan hoax itu sama sebenarnya, yaitu sama-sama bertolak dari kebohongan atau ketidakbenaran. Bedanya, hoax menyebarkan kebohongan dengan tanpa disadari oleh targetnya sebagai kebohongan, sedangkan sulap memainkan kebohongan dengan disadari oleh targetnya sebagai kebohongan, sebagai semacam trik, tapi justru diharapkan oleh targetnya sebagai hiburan.

Ketika Rocky Gerung dalam acara ILC dua hari lalu menyatakan bahwa peningkatan IQ (meski terminologi ini masih bias psikologi), atau–menurut pendapat saya–lebih tepat peningkatan kemampuan berpikir logis, memang dapat melawan hoax. Jadi, pendapat Rocky Gerung itu memang pendapat yang benar. Kenapa? Karena, logika menuntut pembuktian logis, menutut verifikasi empiris dan atau koherensi teoritik, sebelum satu pernyataan atau informasi atau pendapat dikatakan benar. Ini berarti logika menuntut kesadaran, bukan ketaksadaran yang justru menjadi titik tolak keberhasilan suatu hoax. Dengan kata lain, logika bisa mengubah hoax menjadi sulap, menjadi hiburan.

Sejak berabad lalu di Eropa, hoax sebenarnya adalah semacam kritik yang keras, ketika berbagai saluran kritik yang efektif sudah macet atau mendekati macet, dengan menggunakan semacam permainan humor intelektual. Jadi, syarat orang yang bisa membuat hoax adalah memang orang yang benar-benar mumpuni menguasai bahan yang akan dibuat menjadi hoax, sehingga targetnya tak akan menyadari bahwa itu hanya semacam hoax belaka

Hoax berbeda dari ujaran kebencian, fitnah, berita bohong, atau yang sejenisnya. Kenapa? Karena tujuan hoax sebenarnya adalah sebagai sebuah kritik yang konstruktif menurut keyakinan si pembuat hoax dengan menggunakan medium satire atau parodi atau humor atau bahkan religiusitas dan sains, dan sama sekali bukan sebuah propaganda atau agitasi atau provokasi yang destruktif.

Contoh yang diberikan oleh Rocky Gerung mengenai kasus hoax di Amerika Serikat pada tahun 1996 yang dilakukan oleh Prof. Alan A. Sokal, seorang profesor fisika dari Universitas New York, merupakan contoh hoax dalam bidang sains. Begini bisa ringkaskan kasusnya:

Pada tahun 1996 Sokal hendak menguji (mengkritik) pendekatan studi budaya (cultural studies) posmodernisme yang dianggapnya mengabaikan dasar-dasar objektif sains dan cenderung sembarangan dalam menilai satu studi ilmiah. Itu membuktikan hal itu Sokal kemudian membuat satu makalah “hoax” ilmiah yang berjudul “Melampaui Pembatasan: Menuju Hermeneutika Transformatif dari Gravitasi Kuantum”. (Teks aslinya bisa dibaca di SINI)

Setelah makalah hoax itu selesai dibuat, berikutanya Sokal menyerahkan makalah itu pada editor jurnal Social Tex (dipublikasikan oleh Duke University Press), sebuah jurnal studi budaya postmodernisme yang cukup terkenal di AS.

Makalah hoax yang memang tak masuk akal itu (bila Anda memang memahami teori fisika kuantum), setelah mengalami beberapa kali revisi, akhirnya diterbitkan juga oleh jurnal “Social Text”. Tak berapa lama setelah penerbitan makalah hoax tersebut, Sokal kemudian mengungkapkan dalam jurnal Lingua Franca bahwa makalahnya tersebut adalah sebuah hoax.

Skandal hoax ini menjadi berita halaman depan di The New York Times pada tanggal 18 Mei 1996. Sokal menanggapi kritik dari para pendukung pemikiran kiri dan postmodernis tentang makalah hoax-nya itu dengan menyatakan bahwa motivasinya untuk “mempertahankan pemikiran kiri dari segmen yang sedang trendi (posmodernisme)”.

Sokal juga mengkritik bahwa beberapa ilmuwan ilmu sosial menggunakan istilah ilmiah dan matematika secara tidak benar dan mengkritik mereka karena menolak nilai kebenaran. Ia juga menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sosial dalam perspektif kiri akan lebih baik dilayani oleh dasar-dasar intelektual berdasarkan logika.

Lantas, bagaimana dengan kasus “Saracen” di Indonesia? Menurut saya, hal yang dilakukan oleh Saracen itu bukanlah hoax dalam pengertian yang sebenarnya, yang merupakan satu kritik konstruktif, tetapi patut diduga hanyalah semacam “provokasi berbayar” bahkan “politik adu domba” untuk mencipatkan destabilisasi sosial, politik, atau kultural pada masa pemerintahan Jokowi.