Feaby Handana
Hanya dalam rentang waktu sepekan, kantor Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah atau BPKAD Lampung Utara sempat dua kali didatangi oleh puluhan orang. Puluhan orang itu adalah para kepala desa dan para kontraktor yang hendak menagih uang.
Rombongan pertama berasal dari para kepala desa yang menuntut pembayaran Alokasi Dana Desa atau ADD tahun 2023. ADD ini telah lima bulan tak mereka terima dari pemkab. Padahal, keberadaan ADD sangat penting untuk menyambung hidup mereka dan perangkat desa di bawahnya.
Singkat cerita, Pemkab Lampung Utara akhirnya mau membayarkan ADD itu sebanyak dua bulan. Tiga bulan sisanya, menunggak lagi seperti tahun-tahun sebelumnya. Sisa tunggakan dijanjikan akan dibayarkan pada tahun berikutnya.
Jeda sebentar, Kantor BPKAD Lampung Utara kembali didatangi oleh pihak lainnya. Kali ini yang mendatangi mereka adalah rombongan kontraktor. Puluhan kontraktor itu kesal karena seperti dipingpong ke sana – ke mari saat menuntut haknya.
Mereka sempat menyisir sejumlah ruangan di BPKAD kala itu. Baik Kepala BPKAD maupun Kepala Bidang Perbendaharaan tak ada di ruangannya. Mereka baru meninggalkan ruangan Bidang Perbendaharaan usai mendapat kepastian bahwa tuntutan mereka akan segera dibahas oleh BPKAD.
Berkaca dari sejumlah persoalan di atas, tak salah rasanya jika kita beranggapan bahwa pejabat di BPKAD Lampung Utara banyak yang kurang piawai dalam menjalankan tugasnya. Kemungkinan ini cukup menggelitik akal sehat kita. Sebab, mereka yang bekerja di sana adalah orang-orang ‘pilihan’. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk masuk ke sana tidaklah mudah, apalagi sampai memegang jabatan.
Ketidakpiawaian inilah yang membuat persoalan-persoalan keuangan bagai tak ada ujungnya. Saban tahun selalu saja terjadi. Entah itu persoalan ADD, entah itu persoalan Tambahan Penghasilan Pegawai, atau persoalan uang proyek, semuanya sama. Selalu terulang tiap tahunnya. Seolah-olah, mereka di sana tidak mampu menyiapkan sebuah formula untuk mencegah hal itu kembali terjadi.
Kalau dipikir-pikir, anggapan itu ada benarnya juga. Tengok saja persoalan honorarium penanggung jawab pengelola keuangan di BPKA Lampung Utara tahun 2023 yang mulai terendus ke permukaan. Besaran honorariumnya dapat dikatakan gila-gilaan. Padahal, standar harga itu telah jelas diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional sebagaimana yang dirubah menjadi Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023.
Honorarium penanggung jawab pengelola keuangan di BPKA itu di antaranya terdiri dari Bendahara Umum Daerah/BUD, kuasa BUD, dan dua orang kuasa BUD yang bertugas memverifikasi Surat Penyediaan Dana/SPD. Untuk BUD, posisi ini melekat pada jabatan Kepala BPKA, sedangkan kuasa BUD melekat pada Kepala Bidang Perbendaharaan BPKA.
Besaran honorarium yang mereka terima melampaui batas tertinggi yang diharuskan. Untuk seorang BUD saja, honorarium yang diterima dapat mencapai Rp27-an juta per bulannya. Padahal, jika mengacu pada aturan yang ada, besaran satuan honorariumnya diperkirakan hanya berada di kisaran Rp5 jutaan per bulan.
Begitu juga dengan besaran honorarium yang diterima oleh kuasa BUD atau Kepala Bidang Perbendaharaan BPKA dan kuasa BUD di bawahnya tiap bulannya. Dua kuasa BUD di bawahnya itu adalah kuasa BUD yang bertugas memverifikasi Surat Penyediaan Dana/SPD.
Sesuai aturan, honorarium mereka bertiga itu diperkirakan sama dengan honorarium yang diterima oleh BUD. Hanya sebesar Rp5 jutaan/bulan. Namun, ternyata honorarium kuasa BUD dan dua kuasa BUD di bawahnya diperkirakan berada di kisaran Rp12 juta-Rp17 juta dalam tiap bulannya.
Menariknya lagi, dalam daftar penerima penanggung jawab pengelola keuangan di BPKA tersebut kabarnya terdapat dua jabatan yang tidak tercantum dalam peraturan presiden tersebut. Bahkan, jumlah honorariumnya disebut-sebut nyaris tiga kali lipat besarannya.
Dalam peraturan presiden tentang standar harga tersebut, besaran berikut pihak-pihak yang diperkenankan menerima honorarium telah terang benderang tertera di dalamnya. Usia peraturan ini pun telah tiga tahun. Jadi, rasanya kecil kemungkinan jika mereka tidak mengetahui mengenai batasan-batasan itu.
Ketidaksesuaian besaran honorarium yang ditetapkan ini semakin menguatkan opini publik bahwa sejumlah petinggi di Pemkab Lampung Utara memang kurang piawai dalam memahami tugasnya. Meski begitu, kita juga tidak boleh berburuk sangka. Bisa jadi persoalan honorarium itu terjadi karena landasan hukum yang digunakan tidak sama. Dengan demikian, apa yang mereka lakukan telah sesuai aturan.***
*Jurnalis Teraslampung.com