Opini  

Honorarium BPKA Lampura, Sengaja atau Tidak Sengaja?

Bagikan/Suka/Tweet:

Feaby Handana

Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah diminta mengembalikan, malu pula. Kondisi inilah yang sedang dialami oleh petinggi-petinggi di Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Lampung Utara.

Semua itu dikarenakan honorarium penanggung jawab pengelolaan keuangan mereka tahun 2023 ternyata disoal oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau yang lebih dikenal dengan BPK. Penyebabnya, apalagi kalau bukan dinilai melanggar aturan.

Penanggung jawab pengelolaan keuangan BPKAD di antaranya terdiri dari Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah dan Pembantu Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah, Bendahara Umum Daerah/BUD, Kuasa BUD, dan dua Kuasa BUD lainnya.

Adapun aturan yang dilanggar itu adalah Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional sebagaimana yang dirubah menjadi Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023. Ada dua pelanggaran yang ditemukan oleh BPK dalam persoalan honorarium tersebut.

Pelanggaran pertama mengenai besaran honorarium yang ditetapkan. Besarannya dianggap BPK telah melampaui batas tertinggi. Untuk pembayaran honorarium Bendahara Umum Daerah/BUD yang melekat pada Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset/BPKA, pemkab menyediakan anggaran sebesar Rp27-an juta per bulan.

Jumlah ini lima kali lipat lebih besarnya dari yang diharuskan. Sebab, jika mengacu pada aturan yang ada, besaran satuan honorariumnya hanya ada di kisaran Rp5 jutaan/bulan. Pun demikian halnya dengan honorarium Kuasa BUD yang melekat pada Kepala Bidang Perbendaharaan BPKA.

Dari Rp5 juta yang diharuskan, yang bersangkutan ternyata menerima Rp17-an juta/bulan. Kemudian, dua orang kuasa BUD yang bertugas memverifikasi Surat Penyediaan Dana/SPD. Mestinya, honorarium mereka berdua hanya Rp5 jutaan/bulan. Namun, nyatanya masing-masing dari mereka menerima Rp12-an juta/bulan.

Pelanggaran kedua adalah keberadaan jabatan Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah yang diberikan pada bupati dan jabatan Pembantu Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah untuk wakil bupati. Padahal, secara aturan, penetapan kedua jabatan tersebut sama sekali tidak berdasar.

Total uang yang digelontorkan untuk pembayaran honorarium itu disebut-sebut mencapai angka di atas Rp1,7-an miliar. Dari nominal tersebut, honorarium bupati dan wakil bupati yang paling banyak menyedot anggaran. Totalnya diperkirakan mencapai Rp1,2 miiliar lebih sepanjang tahun 2023.

Besarnya potensi kerugian negara akibat kebijakan serampangan itu jugalah yang membuat BPK tak tinggal diam. Mereka pun berkesimpulan bahwa honorarium itu wajib dikembalikan tanpa terkecuali ke kas daerah.

Awalnya, kesimpulan ini sempat dibantah oleh BPKAD Lampung Utara. Mereka bersikeras bahwa kebijakan mereka telah sesuai aturan. Menurut mereka, apa yang terjadi dalam persoalan ini semata-mata karena perbedaan pandangan seputar hukum antara mereka dengan BPK. Tak lupa dalih diskresi pun turut mereka sampaikan.

Sikap ngotot seperti ini tak ubahnya seperti dua sisi mata koin. Di satu sisi, sikap seperti ini memang sudah seharusnya mereka lakukan. Sudah menjadi naluri manusia untuk mempertahankan diri saat ‘terancam’. Semua pertahanan bisa jadi akan dikeluarkan agar dapat selamat.

Sayangnya, kengototan itu salah alamat. Mereka mungkin lupa bahwa BPK memiliki otoritas tertinggi dalam urusan keuangan. Otoritas ini jugalah yang mengharuskan setiap pegawai BPK memahami semua aturan yang berkaitan dengan urusan keuangan. Tujuannya agar setiap kesimpulan yang akan diambil nantinya benar-benar berlandaskan hukum.

Di sisi berbeda, sikap seperti ini semakin menelanjangi diri mereka sendiri. Sebab, apa yang dilakukan itu bertolak belakang dengan visi mereka sendiri yang ingin mewujudkan pengelolaan keuangan dan aset daerah yang transparan dan akuntabel.

Dari persoalan ini jugalah publik mulai dapat mengukur kemampuan mereka yang di sana ternyata tidaklah hebat-hebat amat. Padahal, selama ini, mereka yang duduk di sana dikenal sebagai orang-orang pilihan.

Kemampuan mereka tentulah di atas rata-rata. Sebab, yang mereka kelola itu uang daerah yang mencapai nilai triliunan. Uang yang ditujukan untuk menyejahterakan rakyat. Bukannya malah sebaliknya. Yang sejahtera hanya diri sendiri atau golongan.

Meski begitu, kita juga tak boleh berputus asa dengan kemampuan mereka. Semoga dengan pengalaman pahit ini, mereka tidak lagi dengan mudahnya menyepelekan aturan. Dengan demikian, pengelolaan keuangan di sana akan benar-benar efektif dan efisien. Tentunya, sembari berbenah, mereka yang diwajibkan mengembalikan honorarium, menunaikan terlebih dahulu kewajiban itu. Dengan demikian, potensi tersandung persoalan hukum di kemudian hari tak akan terjadi.