Oyos Saroso H.N./Teraslampung.com
OGAN KOMERING ILIR —Tragedi Sungai Sodong berawal dari dari kesepakatan warga Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji. Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan dengan pihak perusahaan PT. Treekreasi Margamulya (TM/ Sumber Wangi Alam (SWA), pada awal 1997, untuk pembangunan kebun plasma. Masyarakat mau bersepakat karena kesepakatan itu beranfaat untuk ekonomi mereka.
Pada 6 April 1997, masyarakat menyerahkan sebanyak 534 surat keterangan tanah (SKT) seluas 1068 Ha kepada pihak perusahaan untuk dibangunkan plasma desa. Berselang beberapa bulan, tepatnya 1 Juli 1997, Kepala desa Sungai Sodong, Camat Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir. PT.TM menandatangani daftar anggota plasma desa Sungai Sodong. Sementara KKPA-nya (Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggota) menginduk pada koperasi Makarti Jaya Desa Suka Mukti, karena saat itu di Desa Sungai Sodong belum terbentuk koperasi.
Dari sini kerjasama berjalan lancar tanpa ada masalah. Namun, lima tahun kemudian muncul persoalan. Hal itu bermula dari rencana perusahaan sawit itu yang mengajukan usulan pembatalan plasma. Pihak perusahaan menganggap lima tahun kerja sama itu berjalan, perkebunan tidak efektif.
Usulan tersebut disetujui warga Sungai Sodong, dengan syarat lahan yang sudah ditanam harus diganti rugi dan Surat Keterangan Tanah dikembalikan kepada warga. Dari sinilah konflik dimulai.
PT TM tidak tidak dapat memenuhi syarat yang diajukan warga. Sebagai solusinya, perusahaan itu menawarkan pola kerjasama pemakaian lahan selama 10 tahun, dengan besaran nilai uang ditentukan perusahaan yang akan dibayarkan kepada warga setiap bulan terhitung efektif akhir bulan Maret 2002. Perjanjian itu sesuai surat PT TM No: PAN-GMDE/ tertanggal 26 Januari 2002 dan ditandatangani oleh Geral Manager PT TM, A.M Vincent.
BACA: Cerita tentang Tragedi Mesuji
Sepanjang tahun 2003 – 2009, masyarakat Sungai Sodong baik secara kelompok maupun melalui Koperasi Taerantang Jaya yang sudah dibentuk di desa itu menanyakan kepada pihak perusahaan mengenai realisasi atau penyelesaian plasma yang dibatalkan baik berupa ganti rugi, pengembalian SKT, maupun pola kerjasama pemakaian lahan. Namun, hal tersebut tidak mendapat tanggapan serius dari PT TM.
Kekesalan warga pun memuncak. Sejak Agustus 2010, warga Desa Sungai Sodong melakukan pendudukan lahan dan memanen di atas lahan yang masih bersengketa tersebut.
Pada Oktober terjadi pertemuan di lokasi lahan perkebunan dihadiri oleh 2 orang anggota DPRD OKI, Pihak Pemkab OKI, Camat Mesuji, Polres OKI, pihak perusahaan dan warga desa. Pada November 2010, DPRD OKI memfasilitasi pertemuan musyawarah antara masyarakat Sungai Sodong dengan PT.TM/SWA namun tidak didapat penyelesaian.
Pada awal April 2011, pihak perusahaan menambah sekitar 50 petugas keamanan (PAM) swakarsa Wira Sandi ke lokasi perkebunan tersebut. Penambahan pengamanan tersebut menyebabkan situasi yang semakin memanas.
Puncaknya, pada 21 April 2011 terjadi pembunuhan terhadap 2 orang warga Desa Sungai Sodong bernama Indra Syafe’i bin Ahmad Tutul, 19, dan Syaktu Macan bin Sulaiman, 21. Keduanya ditemukan warga dalam keadaan luka parah di jalan poros utama perkebunan tersebut.
Indra Syafei mengalami luka di kepala akibat benda tajam, leher nyaris putus dan luka tembak tembus di dada kiri dan kanan. Sedangkan Syaktu meninggal dengan punggung tertancap sangkur.
“Korban Indra Syafei dan Syaktu sebenarnya bukan termasuk petani yang berkonflik dengan perusahaan. Indra punya kebun yang berdekatan dengan areal perusahaan tersebut. Saat kejadian sebenarnya korban ingin melihat keributan. Namun, dia justru ditangkap pasukan PAM Swakarsa,” kata salah seorang paman almarhum Indra Syafei.
Warga menduga penganiayaan ini dilakukan oleh pihak keamanan perusahaan dan aparat. Dugaan ini diperkuat berdasarkan pengakuan Syaktu yang saat ditemukan warga dalam keadaan sekarat masih bernafas, dan akhirnya meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Kematian dua warga Desa Sungai Sodong memicu kemarahan warga. Pada hari yang sama, warga masyarakat dari beberapa desa secara spontan melakukan serangan balik ke mess perusahaan yang ada di lokasi perkebunan.
Serangan warga ini menimbulkan bentrokan yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa dari pihak perusahaan sebanyak lima orang, sehingga jumlah korban dalam kasus tersebut menjadi 7 orang.
Pascakejadian itu, suasana di kecamatan Mesuji tidak lagi tenteram. Teror, intimidasi, ketakutan dan aksi kekerasan membayangi warga.Investigasi yang dilakukan Walhi, YLBHI, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebutkan pelbagai ancaman terhadap warga disampaikan melalui pesan singkat (SMS) yang beredar di masyarakat.
Sebagian warga yang takut akhirnya terpaksa tidur di hutan dan perahu.Areal lahan yang menjadi sengketa hingga kini tetap dikuasai perusahaan. PT SWA melakukan panen di lahan tersebut dengan dikawal aparat Brimob dan Pamswakarsa yang ditambah jumlahnya di antaranya didatangkan dari Banten.
Aparat Brimob juga menjaga kantor mess perusahaan di lokasi perkebunan desa Sungai Sodong.Kasus yang terjadi di Mesuji Lampung lain lagi.
Kasus yang menyebabkan satu orang petani tewas dan enam warga kritis akibat luka tembak dalam kerusuhan yang melibatkan ratusan warga di lima desa dengan aparat keamanan perusahaan sawit PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI), Kecamatan Tanjungraya, Mesuji, Kamis petang (10 November 2011).
Bentrokan dipicu sengketa lahan sawit antara warga dengan PT BSMI.