Hukuman Mati dan Orang Pinter

Bagikan/Suka/Tweet:
Kuss Indarto
“Kok sekarang banyak orang pinter, tapi lupa pakai ‘roso’ (rasa, perasaan) ya, mas?” ungkap seorang bapak yang tampak mulai rapuh tubuhnya. Kami tak sengaja bertemu di sebuah warung angkringan di pinggir jalan.
“Lha kenapa to, pak?”tanyaku balik, sembari nyeruput teh manis.
“Mosok menghukum mati dianggap bodoh, salah total, dan ketinggalan jaman!” seru si bapak sembari makan nasi kucing dengan lahap.
“Lha kenapa to, pak?” tanyaku hati-hati.
“Belum pernah sih orang-orang pinter itu merasakan seperti saya. Saya sudah hampir 60 tahun, seharusnya sudah banyak santai di rumah, melihat anak-anak hidup nyaman, momong cucu, atau reunian dengan teman lama. Tapi malah sebaliknya,” si bapak mulai curhat.
“Memangnya ada apa to, pak?” lagi-lagi, aku harus hati-hati.
“Ya, anak saya tiga, hancur semua hidupnya karena narkoba! Anak pertama yang memulai sebagai pemakai lalu pengedar. Adiknya lalu ketularan. Seluruh kebaikan yang saya tanamkan dan ajarkan sejak kecil, hilang dipengaruhi orang luar yang mengiming-imingi narkoba dan uang…”
Aku mulai paham duduk perkaranya.
“Anak ketiga, perempuan, kawin dengan bandar narkoba kecil-kecilan yang adalah juga teman kakak-kakaknya. Tapi mereka cerai setelah suaminya ditangkap dan dipenjara. Anak pertama saya juga sempat ditangkap dan dipenjara beberapa bulan. Anak nomer dua lolos, tapi hidupnya seperti tidak aman dan nyaman.”
“Terus, perkembangannya sekarang gimana, pak?” tanyaku.
“Hidup kami seperti mandeg. Saya dan istri sudah menua, tapi harus tetap bekerja keras hanya untuk makan. Masih untung kami masih punya rumah. Tapi, anak-anak kami seperti seperti tak berkembang. Bahkan makan pun sering menumpang kami yang sudah tua bangka. Mereka hidup, tapi tidak memberi kehidupan bagi kami, lahir dan batin. Mereka terlihat sehat, tapi kurang menyehatkan jiwa dan raga kami sebagai orang tua yang punya harapan besar akan kehidupan mereka yang lebih baik. Mereka sekilas terlihat baik, tapi kurang bisa membawa nama baik keluarga, lahir dan batin,” tutur si bapak sembari menyeka air mata.
Teh manis coba kuteguk, tapi seperti tercekat di tenggorokan.
“Coba, mas, sampeyan apa tidak panas hati ketika anak-anak kami sudah tak banyak memiliki masa depannya sendiri, tapi orang-orang yang menjerumuskannya masih bisa bebas. Tertawa. Mungkin mereka pernah ketangkap, tapi dengan mudah sudah bisa keluar bebas dan mencari anak-anak muda lain untuk bekerja padanya jadi kurir atau apalah namanya.”
Saya kesulitan untuk berkomentar.
“Maaf ya, mas, saya pamit. Mau kerja serabutan lagi, biar besok saya dan istri bisa makan. Saya orang bodoh yang tak bisa bicara seperti orang-orang itu. Tapi saya hanya punya “roso”, perasaan. Saya masih gagal untuk bisa menobatkan anak-anak saya. Apa para orang tua bandar narkoba itu juga gagal menobatkan anaknya ya? Apa orang-orang pinter itu bisa menobatkan juga?”
Si bapak berlalu bersama sepeda motor tua dan bututnya. Aku hanya bisa diam. Semoga masih ada harapan untuk kebaikan keluarga panjenengan, nggih pak!