Oyos Saroso H.N./Teraslampung.com
BANDARLAMPUNG — Konflik horizontal di Lampung Selatan yang melibatkan warga suku Bali dengan suku Lampung, beberapa tahun lalu, masih menyisakan trauma bagi sebagian besar warga Bali. Termasuk warga Lampung asli Bali yang tinggal di luar Kabupaten Lampung Selatan. Salah satunya adalah I Wayan Sumerta Dana Arta alias Wayan Mochoh.
I Wayan Mochoh sempat beberapa minggu tidak berani masuk kantor. Bahkan, ia sudah berniat pulang ke Bali bersama keluarga karena takut akan menjadi sasaran amuk massa. Namun, niat itu dicegah sahabat sekaligus saudara angkatnya yang dikenal sebagai tokoh dan seniman Lampung, Syafril Yamin.
“Karena Bang Syafril Yamin mencegahnya, akhirnya saya batal pulang ke Bali. Bang Syafril yang menjamin keselamatan saya. Ia minta saya dan keluarga tidur di rumahnya,”kata I Wayan Mochoh.
I Wayan Mochoh adalah salah satu seniman asli Bali yang sejak belasan tahun lalu mengembangkan dan mempromosikan seni tradisional Lampung ke luar daerah. Meskipun asli Bali, Wayan Mochoh, 41, sejak 1995 sudah menjadi penduduk Lampung.
Pada berbagai even seni nasional, ia bersama kelompok tari dan kelompok musiknya selalu membawa nama Lampung. Dalam beberapa even nasional itu Mochoh bersama kelompok seni tradisi Lampung menjadi juara. Pada sebuah even Festival Seni Tradiosional Nusantara di Yogyakarta, Oktober 2012 lalu, tim seni tradisional yang dididik dan dipimpin Mochoh menjadi juara.
Wayan Mochoh mengaku ia sebenarnya sudah berencana untuk menggelar syukuran di Desa Balinuraga untuk merayakan kemenangan tim seni tradisi dari di Desa Balinuraga dalam festival seni di Yogyakarta.
Wayan Mochoh mengaku sudah lama dia menjadi pelatih para remaja Desa Balinuraga menekuni kesenian. “Yang mereka pelajari bukan seni Bali, tetapi justru seni tari dan seni musik tradisional Lampung. Seni yang mereka tampilkan dalam festival di Yogyakarta dan menag itu juga seni tradisional Lampung,” kata alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu.
Wayan Mochoh datang ke Lampung pada 1995 atas permintaan Gubernur Lampung (ketika itu) Poedjono Pranyoto. Ia diminta Gubernur Poedjono Pranyoto untuk membina kesenian warga transmigran asal Bali yang ada di Lampung. Setahun mengabdi, Wayan kemudian diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Ia pun kemudian menikahi gadis Bali dan menetap di Bandarlampung hingga sekarang.
Wayan Mochoh mengaku mau menerima ajakan Poedjono Pranyoto karena ia mendukung semangat Poedjono untuk menjadikan Lampung sebagai “Indonesia mini”. Menurut Wayan Mochoh, semangat Poedjono layak didukung karena sesuai dengan cita-citanya untuk mencintai semua budaya Indonesia.
“Apalagi ketika kuliah di ISI saya memang belajar berbagai seni tradisi Indonesia. Termasuk seni musik Jawa, Sunda, dan Padang,” ujarnya.
Setelah tinggal di Lampung dan mengenal seni tradisi Lampung, lambat laun kecintaan Wayan Mochoh kepada seni tradional Lampung pun menjadi lebih berkembang. Mochoh tekun belajar seni tradisi lain, mulai tari tradisional, seni rupa, hingga seni musik tradisional Lampung.
“Dalam beberapa segi ada kemiripan antara seni tradisi Bali dengan seni tradisi Lampung. Itulah yang membuat saya merasa makin tertantang untuk terus belajar seni tradisional Lampung. Agar generasi muda Bali di Lampung mengenal dan mencintai seni tradisi Lampung, saya mengajari mereka seni tradional Lampung. Sebab, bagaimanapun mereka kini sudah menjadi penduduk Lampung,” kata Mochoh.
“Bahkan, saya juga mengajari orang asli Lampung tentang seni ukir. Selama ini kami hidup
berdampingan secara damai dengan orang Lampung. Bahkan, saya diangkat sebagai
saudara oleh tokoh seni musik tradisional Lampung, Syafril Yamin,” kata dia.
Di Lampung, I Wayan Mochoh dikenal sebagai penemu nada alat musik cetik atau gamolan pekhing, yaitu alat musik tradisional Lampung yang sudah berusia ratusan tahun. Alat musik yang dibuat dari bilah bambu itu menurut Wayan Mochoh dipengaruhi oleh budaya Cina. Alat musik itu disebut cetik karena jika dimainkan bunyinya ‘cetik-cetik’. Orang Lampung ada juga yang menyebutnya sebagai gamolan pekhing (alat musik
bambu)
Bersama Syafril Yamin, pengrajin alat musik cetik dari Lampung Barat, Wayan Mochoh kemudian memperkenalkan alat musik cetik ke sekolah-sekolah di Lampung. Ia juga menggelar workshop cetik di beberapa sekolah tinggi seni di Indonesia. Antara lain di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, STSI Bandung, ISI Solo, Isi Medan dan ISI Surabaya.
“ISI Denpasar merencanakan alat musik cetik menjadi salah satu materi kurikulum musik Nusantara di perguruan tinggi itu. Saya akan terus berusaha musik tradisional Lampung menjadi salah satu mata
kuliah perguruan tinggi seni di Indonesia,” kata Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia, Denpasar, ini.
Bersama-sama Syafril Yamin, seniman tradisi yang memang asli Lampung, Wayan Mochoh mengajari para siswa dan guru-guru menabuh cetik. Berkat kerja kerasnya kini alat musik tradisional asli Lampung itu dikenal di seluruh Lampung.
Menurut Wayan Mochoh alat musik yang menyerupai gamolan pekhing ada di beberapa daerah di Indonesia.Misalnya, di Bali, Jawa, dan Sulawesi. Di setiap daerah, alat musik dari bilah bambu itu mempunyai nada gamolan yang berbeda-beda.
“Saya memperlajari semuanya sampai ketemulah kekhasan cetik dibanding yang lain. Cetik memiliki karakter nada yang berbeda dengan kulintang. Cetik terdiri dari enam (6) nada dan satu (1) oktaf, yaitu do, re, mi, so, la, si, do, dan do oktaf. Di mana nada-nada tersebut kena pengaruh sedikit diatonis dan sedikit sentuhan Cina sehingga saya menamakan nadanya atau larasnya pelog enam nada,” ujarnya.
“Kenapa tidak ada nada 4 (fa)? Saya menduga karena bagi etnis Cina angka empat (4) itu angka mati sehingga dianggap tabu. Maka, nada fa dalam Cetik dihilangkan. Inilah yang saya sebut bahwa alat musik tradisional Lampung itu ada pengaruh Cina,” ujarnya.
Sebelum tercatat dalam rekor MURI, temuan Wayan itu juga sempat diperkenalkan dengan cara ’’mengamen’’ ke beberapa hotel berbintang di Lampung. Hal itu dilakukannya sejak 2003 hingga sekarang. Pada Februari 2012 lalu, hasil penelitian Wayan tentang alat musik tradisional Lampung itu diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Gamolan Pekhing (Alat musik Bambu).
“Buku tersebut akan menjadi salah satu rujukan pengajaran ekstrakurikuler seni musik tradisional Lampung di sekolah-sekolah di Lampung,” kata dia.
Dedikasi Mochoh terhadap seni tradisional Lampung membuatnya diberi Anugerah Mahakarya Kebudayaan oleh Musium Rekor Indonesia (MURI) pada 2011 lalu. Wayan dinilai berjasa karena menemukan laras pelog enam nada dalam cetik atau gamolan pekhing dan membuat alat musik tradisi itu dikenal para
siswa di Lampung.
Wayan Mochoh mengaku setelah warga Bali dan Lampung di Lampung Selatan damai, ia dan para seniman Lampung lainnya akan lebih banyak turun ke desa-desa untuk saling memperkenalkan seni Bali dan Lampung.
Kini Wayah Mochoh juga sedang menggarap program pembelajaran seni tradisional Lampung bagi para siswa Sekolah Dasar yang orang tuanya beretnis Jawa yang tinggal di perbatasan Kabupaten Lampung Selatan dengan Kota Bandarlampung. Wayan Mochoh meyakini seni budaya bisa menjadi perekat antarsuku di Indonesia.
“Kami ingin agar akulturasi seni budaya bisa berlangsung secara alami. Saya yakin pendekatan budaya bisa menjadi salah satu solusi untuk mengurangi konflik yang disebabkan perbedaan suku, agama, dan adat istiadat,” katanya.***
—-
Artikel ini pernah dimuat di koran dan website thejakartapost.com