Opini  

Idul Adha 1436 H: Robohnya Observatorium Kita (6)

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Ma’rufin Sudibyo

 Relik Observatorium UlughBeg yang masih tersisa di Samarkand (Uzbekistan). Inilah observatorium terbesar di dunia pada masanya sebelum berdirinya Observatorium Istanbul. Dari tempat inilah tabel astronomi (zij) maupun katalog bintang yang paling akurat sepanjang sejarah ilmu falak di dunia Islam lahir. Beberapa masih menggunakan tabel tersebut di masa kini. Sumber: Nidhal Guessom, 2013.

Hari-hari ini banyak yang mempertanyakan posisi “kriteria” Imkan rukyat. Salah satunya terkait sifat lokalitasnya yang hanya berlaku di lingkup regional. Bukan global. Sebagai antitesisnya kemudian diapungkan gagasan pembentukan kalender Hijriyyah internasional. Tanpa menyadari bahwa hal itu sudah pernah dilakukan dalam konferensi Istanbul, yang seiring aliran masa kemudian berujung pada terbentuknya “kriteria” Imkan rukyat.

Kalender Hijriyyah internasional memang menjadi impian setiap Umat Islam. Dalam fatwanya terkait penetapan awal Ramadhan dan dua hari raya di Indonesia yang diletakkan di tangan pemerintah melalui Menteri Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun menyinggung soal kalender Hijriyyah internasional. Dalam hemat MUI, pengawasan dan operasi kalender internasional semacam itu perlu ditempatkan di sebuah entitas tersendiri, yang disebut sebagai qadi internasional. Namun hingga kini negara-negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim sejagat yang berhimpun dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) belum jua bisa membentuk entitas tersebut. Maka untuk mengisi kekosongan, peran itu sementara didelegasikan ke setiap kawasan dan di Asia Tenggara disepakati terletak di tangan forum MABIMS.

Membuka kembali perbincangan dan pembentukan kalender Hijriyyah internasional itu sah-sah saja. Apalagi memang konferensi Istanbul itu belum selesai. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Permasalahannya, siapkah mengerahkan segenap tenaga untuk menuju ke sana? Sebab berkaca dari macetnya pembahasan lanjutan konferensi Istanbul dan sebaliknya suksesnya Konferensi Meridian 1884, ada banyak langkah yang perlu dilakukan. Konferensi Meridian Internasional 1884, yang menjadi landasan operasi kalender Tarikh Umum (Gregorian) hingga saat ini, tidaklah berlangsung sekonyong-konyong.

Ia dilatarbelakangi oleh kebutuhan bersama untuk menetapkan garis meridian utama (bujur nol) untuk patokan awal waktu se-Bumi. Kesadaran bersama ini dituangkan dalam Konferensi Geografi Internasional 1871 di Antwerp (Belgia). Butuh dua konferensi geografi internasional lanjutan, terakhir di Venesia (Italia) pada 1881 TU, untuk menyepakati bersama bahwa penetapan garis bujur nol atau garis bujur utama (meridian utama) yang universal dan penyatuan waktu standar adalah sebuah kebutuhan mutlak. Keputusan ini lantas ditindaklanjuti dalam Konferensi Geodesi Internasional ketujuh yang diselenggarakan di Roma (Italia) pada Oktober 1883 TU, dengan membahas detail teknisnya terkait masalah tersebut lebih lanjut. Hasilnya adalah butir-butir pembahasan diplomatik bagi perjanjian internasional yang bakal dilaksanakan pada pertemuan selanjutnya.

Puncaknya adalah Konferensi Meridian Internasional 1884 yang diselenggarakan di Washington (Amerika Serikat) pada Oktober 1884 TU. Konferensi pemuncak itu dihadiri oleh 41 diplomat dari 26 negara yang merepresentasikan dunia masa itu. Dunia Islam diwakili oleh imperium Turki Utsmani, satu-satunya negara Islam yang representatif saat itu. Konferensi tersebut menyepakati tujuh resolusi. Diantaranya resolusi mengenai garis bujur nol atau garis bujur utama tunggal untuk semua negara di dunia.

Garis bujur nol tunggal itu ditetapkan (atas dasar voting) sebagai garis bujur yang melintasi Royal Observatory of Greenwich, London (Inggris). Juga resolusi tentang definisi hari universal, yang dimulai tepat tengah malam sebagai pukul 00:00 dan diakhiri tepat tengah malam berikutnya sebagai pukul 24:00. Hari universal berpatokan pada hari Matahari rata-rata (mean solar day). Satu hari didefinisikan berumur 24 jam dengan 1 jam berumur 60 menit dan 1 menit berumur 60 detik. Sehingga dalam sehari terdapat 86.400 detik. Entitas waktu universal pun terbentuk, saat itu disebut GMT (Greenwich Mean Time). Inilah landasan bagi kalender Tarikh Umum atau kalender Gregorian seperti kita kenal pada hari ini.

Setelah perjanjian internasional tersebut, langkah kalender Tarikh Umum pun masih panjang. Tiap-tiap negara tidak segera mengadopsinya. Butuh waktu hingga puluhan tahun lamanya sebelum resolusi-resolusi dalam konferensi ini bisa diterima oleh negara-negara di dunia. Perancis misalnya, meski menghadiri Konferensi Meridian Internasional 1884, baru mengadopsi seluruh resolusinya pasca Perang Dunia 1. Selama waktu itu Perancis tetap bersetia dengan meridian Paris-nya.

Berkaca dari pengalaman kalender Tarikh Umum, maka untuk membentuk kalender Hijriyyah internasional pun butuh langkah yang sistematis. Tak cukup hanya satu pertemuan internasional, yang bersifat ad-hoc, namun butuh rangkaian pertemuan-pertemuan internasional untuk membentuknya. Termasuk dengan rangkaian pertemuan pendahuluan. Aktor negara, dalam hal ini negara-negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim, musti dilibatkan. Bukan sekedar delegasi biasa, namun utusan setingkat diplomat dibutuhkan dari tiap negara tersebut.

Dan di atas dari semua rangkaian pertemuan yang sifatnya prosedural itu, bagaimana posisi hisab dan rukyat didudukkan dalam konteks kalender Hijriyyah pun musti jelas. Tak bisa menyusun kalender semata atas dasar rukyat. Sebaliknya juga tak bisa menyusun kalender semata atas dasar hisab saja. Baik hisab ataupun rukyat harus digunakan bersama-sama untuk mengontrol kualitas kalender. Praktik ini juga tetap dijalankan dalam kalender Tarikh Umum. Meski sekilas terlihat sebagai kalender yang semata hanya berdasar hisab dan bisa diperhitungkan di atas kertas saja, dalam praktiknya astronomi modern terlibat penuh untuk melakukan pengamatan benda-benda langit yang diperlukan guna menentukan perilaku rotasi Bumi dan detik standar (yang menjadi dasar kalender Tarikh Umum).

Dipelopori oleh Danjon (1929 TU) dengan pengamatan posisi Bulan, Matahari dan planet-planet, kini pemantauan rotasi Bumi dan detik standar telah melangkah jauh dengan penggunaan radas-radas kompleks dan di luar dugaan. Misalnya penggunaan teleskop radio untuk memantau sinyal-sinyal elektromagnetik yang dipancarkan benda langit seperti quasar (yang terletak di luar galaksi Bima Sakti kita) dengan menggunakan teknik VLBI (Very Long Baseline Interferometry) secara rutin. Atau menggunakan teleskop dengan pembangkit laser untuk dibidikkan ke titik-titik di Bulan dimana cermin-cermin retroreflektor berada, juga secara rutin. Semua upaya ini yang dilakukan di bawah koordinasi organisasi transnasional bertajuk International Earth Rotation and Reference System Service (IERS).

Di sinilah tantangan terbesarnya. Pasca robohnya Observatorium Istanbul dan khususnya setelah era modern ilmu falak bermula, pertumbuhan observatorium astronomi di dunia Islam masa kini terbilang lambat. Jumlah observatorium yang dimiliki oleh negara-negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim saat ini masih berbilang 12 buah, dari 600-an lebih observatorium astronomi aktif yang terdaftar di dunia. Padahal observatorium menjadi kunci untuk menyajikan data guna membentuk kalender.

Dan observatorium yang tersebar di banyak titik di negara-negara Islam/berpenduduk mayoritas Muslim di segenap penjuru seyogyanya akan menyajikan lebih banyak data yang sangat bermanfaat dalam pembentukan kalender. Jelas, hingga saat ini dampak robohnya Observatorium Istanbul masih terasa meski telah empat abad lamanya. Dampak yang harus diatasi bilamana kalender Hijriyyah internasional memang hendak dibangun di masa kini.