Handrawan Nadesul
Semalam seorang wartawati bertanya kepada saya, kalau sampai ada pejabat, penyelenggara negara, sampai terkena Covid-19 apa kesannya di mata medis? Jawab saya, kurang cermat melindungi diri.
Ihwal Covid-19, kendati pejabat lancar menasihati rakyat agar patuh terhadap protokol kesehatan, kalau diri sendiri sampai tertular, itu karena upaya melindungi dirinya yang kurang. Bisa sebab kurang lengkap pengetahuan bagaimana Covid-19 ditularkan, atau tahu semuanya ihwal penularan Covid-19, namun lengah, dan atau lalai saja melakoninya. Sekejap saja melepas masker di tempat publik, misalnya, dalam hitungan detik ada kesempatan Covid-19 menerobos masuk tubuh, oleh karena udara di ruang publik berpotensi sudah tercemar Covid-19.
Pengetahuan bagaimana Covid-19 menular dan ditularkan harus lengkap dipahami oleh setiap orang, apalagi pejabat yang menjadi panutan rakyat. Bukan sekadar patuh, dan taat berprotokol kesehatan, tapi tahu persis celah mana saja bagaimana Covid masih mungkin menerobos memasuki tubuh.
Kalangan pejabat terlebih, untuk perlu memahami secara lengkap dan detail, apa itu makna aerosols yang bisa terbang lebih jauh dan lebih tinggi, beberapa jam apabila di ruang publik ada satu saja pembawa Covid-19, dan bedanya dengan hanya droplets yang cuma sejarak beberapa meter saja peluang menularkannya.
Bahwa kendati bermasker pun masih ada celah masker di bawah mata yang menganga, sehingga apabila berada di udara ruang-ruang publik, udara yang besar kemungkinan sudah tercemar Covid, udara tercemar masih mungkin memasuki celah masker dan menerobos ke hidung dan mulut. Apalagi kalau pilihan maskernya bukan masker terstanard medis. Demikian juga apabila sejenak berfoto sekalipun, di tempat umum, misalnya, ada kesempatan Covid berpeluang memasuki hidung, hanya dalam hitungan detik.
Di luar kemungkinan itu, apa tepat pilihan masker, yang bukan sembarang masker kain. Masker bedah yang terstandard saja pun daya lindungnya hanya 90 persen, berarti masih ada 10 persen celah bagi Covid memasuki tubuh. Apalagi masker bukan terstandard seperti masker kain, jauh di bawah 90 persen daya lindungnya.
Memakai masker saja belum jaminan pasti tidak tertular. Demikian pula dengan jaga jarak, walau sudah lebih 2 meter, dan semua orang yang dihadapi sudah memakai masker, tapi udara napas pemakai masker masih bisa lolos dari celah masker di bawah mata, dan terhembuskan bisa sejauh jarak saat kita sedang bercakap-cakap. Andai yang diajak bicara positif membawa Covid, jarak saat bicara saja bisa punya peluang menularkan. Apalagi kalau ada yang tidak memakai masker di ruang publik, yang udaranya sudah tercemar Covid, seturut kehadiran yang kita kenal sebagai aerosols, pada cara mana Covid bertahan sampai beberapa jam berada di udara, dan lalu apabila di tempat itu kita melepas masker hitungan detik saja pun kita akan menghirup udara tercemar Covid, dengan cara itu kita berpotensi tertular.
Aktivitas pejabat yang banyak bersinggungan dengan orang-orang, harus selalu mengasumsikan bahwa setiap orang yang berada di dekatnya, adalah pembawa Covid. Kendati semua memakai masker, jarak bicara dijaga, bahkan dengan bawahan, dengan ajudan, dengan staf, tetap masih terbuka risiko tertularkan.
Maka melihat kerapnya aktivitas pejabat berdekatan dengan orang-orang, yang belum tentu semuanya steril Covid, masuk akal epidemiologis kalau hendaknya memilih masker yang lebih besar daya lindungnya, misal, masker N95 yang dipakai tenaga medis di rumah sakit, dan ingat untuk tidak melepas masker selama berada di ruang publik, kendati barang sejenak pun.
Apalagi bila pejabat dan semua pemuka masyarakat dan semua tokoh yang masih bersinggungan dengan masyarakat, dengan orang banyak, kurang lengkap pemahaman bagaimana Covid menular dan ditularkan, mereka semua termasuk yang dinilai upaya pencegahannya yang kurang lengkap. Itu bisa berarti kurang cermat, atau kurang memahami, atau kurang bersungguh hati.
Tertular Covid-19, bukan takdir, bukan kutukan, bukan kesalahan pihak lain. Bukan pula sudah kehendak Yang Maha Pengasih, tapi upaya kita sendiri yang kurang penuh.
Maaf, sekurangnya di mata epidemiologis, Covid tidak cukup dihadapi dengan hanya berdoa. Doa saja tidak bisa membebaskan kita dari serangan Covid-19, seberapa pun keyakinan dan keniscayaan itu tegak. Covid-19 tidak pilih bulu. Pendeta, romo, pemuka agama, ustad, habib, siapapun mereka yang tentu kuat khusuk berdoanya, namun apabila lengah dan lalai terhadap Covid, tidak cermat, kurang berupaya melindungi dirinya, barang pasti tidak luput tertular juga.
Dampak sosial pejabat, penyelenggara negara terkena Covid, bisa membingungkan rakyat, kok sudah pintar menasihati bagaimana agar tidak terkena Covid, malah diri mereka kena juga. Ini tragis di mata masyarakat luas.***
*Handrawan Nadesul adalah seorang dokter cum sastrawan