Imagologi

Politik tak suci/Ilustrasi (theatlanticcom)
Bagikan/Suka/Tweet:

Asarpin*

Tak jelas kapan imagologi masuk Indonesia. Tahu-tahunya sudah nyelonong di banyak tempat. Barangkali karena apa yang dimauinya langsung nyambung dengan keadaan masyarakat kita. “Makhluk bumi” satu ini tulen temuan Milan Kundera yang mengkritik biro iklan dan para wartawan yang gemar mengutip pidato para pejabat.

Imagologi kini jadi kosakata baru yang belum ada dalam kamus, walau pun gejala imagologi sudah terlihat sejak lama. Kaum imagolog sangat suka dengan masyarakat yang punya kepercayaan diri di atas rata-rata, amat gandrung menyerap kesan-kesan tertentu sebagai patokan berperilaku, menjadikan tokoh-tokoh iklan dan pakaian para artis sebagai mode dan pidato para petinggi negara yang langsung dipercaya. Dampaknya sering terasa di kalangan jurnalis yang semakin malas turun ke lapangan dan mengandalkan informasi dari sumber lain.

Imagologi juga terlihat dalam gerakan masyarakat yang menuntut pengetahuan yang didapat secara serampangan dan penuh ketergesaan yang mampu membentuk bongkahan kesan-kesan, citra-citra, yang oleh masyarakat langsung secara mentah-mentah dijadikan sebagai pengetahuan, sebagai tauladan.

Tapi justru ciri-ciri semacam itu yang membuat imagologi, walau pun “binatang” yang satu ini hanya menambah kekaburan informasi,  namun telah begitu dalam menyedot energi emosi hingga masyarakat dengan khidmat mau mempercayai publisitas isu-isu dan sensasi dan tidak lagi mengalami karena pengalaman sudah tak menarik lagi.

Imagologi memiliki daya destruktif yang tak main-main: ia mampu menjarah ketenangan hidup masyarakat di banyak tempat, apalagi di zaman internet yang setiap orang bisa mengakses informasi dari kamar pribadi. Dalam kehidupan masyarakat kita berserakan imagologi: dulu ada hantu komunis, hantu PRD,  kini ada biro iklan,  agama fobia, provokator massa, hingga teroris. Kebenarannya masih dipertanyakan, tapi karena tingkat kecemasan masyarakat  sudah mencapai titik akut, maka ia dipercaya  sebagai hantu.

Sekarang ini, kata Milan Kundera dalam novel-esai bertema Kekelan (2000), imagologi telah menggantikan ideologi. Bahkan lebih jauh, imagologi sudah menggantikan kenyataan.  Kalau dulu nenek kita mengetahui cara membuat kue bermacam-macam karena mereka punya pengalaman langsung.

Sekarang orang hanya menerima begitu saja tanpa punya pengalaman. Realitas kini jadi kawasan yang sepi pengunjung.

Hanya ada dua kawasan yang masih sulit ditembus kaum imagolog: masyarakat tradisional yang pengetahuannya selalu berangkat dari realitas, dan sains sebagai usaha memperoleh pengetahuan melalui pengalaman. Sementara yang lain, perlahan-lahan sedang masuk ke dalam jejaring imagologi.

 * Esais