Opini  

Indonesia Jadi Tamu di Frankfurt Book Fair

Bagikan/Suka/Tweet:

Linda Christanty*

Teman-teman, apa yang Anda ketahui tentang persiapan pemerintah Indonesia untuk Frankfurt Book Fair di tahun 2015, ketika Indonesia menjadi tamu kehormatannya (guest of honor)?

Pemerintah sudah membentuk komite nasional untuk persiapan Indonesia menyambut pasar itu. Kerja komite nasional untuk Frankfurt Book Fair ini langsung dipertanggungjawabkan kepada wakil presiden Boediono (yang sekarang ramai diberitakan lagi oleh berbagai media di Indonesia tentang keterkaitannya dengan kasus lama, yaitu kasus tindak pidana korupsi Bank Century.

Itulah yang saya dengar langsung dari Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu Nuryanti di Jakarta.

Menurut Wiendu, sudah terbentuk 5 komite dalam komite nasional ini. Siapa saja yang berada di komite nasional dan 5 komite itu, saya tidak tahu. Seperti apa proses kerjanya, saya juga tidak tahu. Salah satu dari 5 komite tersebut (yang berkaitan dengan kita sebagai penulis buku atau pembaca buku) adalah komite buku dan penerjemahan.

Komite ini terdiri dari sejumlah orang (para juri) yang bertugas menyeleksi atau memilih buku-buku untuk dipamerkan (tidak diterjemahkan, tetapi dirasa penting untuk diketahui khalayak luar Indonesia), dan diterjemahkan serta dipamerkan dalam Frankfurt Book Fair itu.

Dana untuk komite buku dan penerjemahan ini sebesar Rp18 milyar dari pemerintah Indonesia. Bukan dana yang sedikit.

Menurut Wiendu, Indonesia menyiapkan 100 judul buku untuk bookfair itu. Sudah 100 buku diterjemahkan dan masih membutuhkan 50 buku lagi berdasarkan usulan publik melalui website resmi yang diluncurkan pada 5 Maret 2014.

Sedangkan menurut orang Frankfurt Book Fair, dibutuhkan 300 judul. Siapa yang keliru menyebut jumlah, saya juga tidak tahu. Saya hanya juru catat saja.

Saya dan beberapa teman di komite sastra Dewan Kesenian Jakarta pernah berkunjung ke sekretariat atau markas atau kantor persiapan khusus untuk Frankfurt Book Fair itu di kementerian pendidikan nasional, di Jakarta, bulan lalu.

Sebuah kunjungan kelembagaan dan resmi. Waktu itu kami ingin menanyakan apa yang bisa kami lakukan untuk mendukung Frankfurt Book Fair itu atau minimal, apakah kami bisa mengusulkan buku-buku sastra dari para penulis Indonesia yang kami anggap layak diterjemahkan dan dipamerkan di Frankfurt (tentunya, kami tidak akan dan tidak boleh mengusulkan buku-buku kami sendiri, karena ketika kami dilantik untuk bekerja di komite sastra ini kami harus menjalankan sejumlah kewajiban, antara lain tidak boleh mempromosikan diri sendiri dengan memanfaatkan komite ini dan tidak boleh memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok sendiri melalui komite ini).

Pejabat di kantor khusus yang menemui kami itu intinya mengatakan bahwa tidak ada hal apa pun yang bisa kami lakukan, karena semua komite sudah siap dan dia menyebutkan nama-nama, yang menunjukkan persekongkolan itu. Kami diam saja dan mencatat.

Tiba-tiba dia berkata, “Di Indonesia, sastra itu punya banyak kubu ya.” Kami tertawa.

Saya bilang pada Eka Kurniawan dan Fikar W Eda sepulang kami dari sana, bahwa perbedaan kubu bukan masalah sama sekali. Perbedaan pendapat adalah hal biasa dalam masyarakat. Tetapi masalahnya adalah ketika kubu itu menentukan akses terhadap uang dan kekuasaan. Dengan kata lain, menentukan hidup dan mati orang. Kebetulan kami bertiga juga memang berbeda kubu.

Pejabat itu kemudian menghibur kami dengan cerita-ceritanya di masa kuliah dan pengalamannya melihat ikan-ikan pesut di Kalimantan. Hahahaa…. Dia lalu menawari kami bekerja sama untuk pementasan teater. Tetapi masalahnya, kami dari komite sastra dan tidak mengurus teater. Teater akan menjadi tanggung jawab komite teater.

*sastrawan, anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta, dan jurnalis

Sumber:Catatan Linda Cristanty, judul oleh Teraslampung.Com