Menurut data Bank Indonesia (BI), inflasi bulan Oktober adalah 4,83%. Namun, setelah pemerintahan Presiden Joko Widodo menaikkan harga BBM bersubsidi inflasi bulan November pun melonjak menjadi 6,23%.
Kalau akhir tahun ini sesuai prediksi Deputi Gubernur Bank Indonesia Ronald Waas bahwa inflasi akan bisa melonjak hingga 8,1%, maka berarti dampak kenaikan BBM bersubsidi telah memicu lonjakan inflasi hingga 67,7% hanya dalam waktu dua bulan saja (November – Desember 2014).
Tidak menutup kemungkinan tahun depan inflasi akan melonjak menjadi 10%. Dan ingatlah, Yang Mulia Presiden Jokowi, jika inflasi telah tembus 10%, maka berarti Indonesia telah memasuki masa krisis ekonomi.
Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia Ronald Waas memperkirakan secara keseluruhan inflasi pada tahun ini bakal mencapai 7,9 – 8,1 persen. Lonjakan inflasi ini terutama didorong kenaikan harga BBM bersubsidi, tarif angkutan umum dan tarif dasar listrik (TDL). Tapi, menurut saya, kenaikan tarif angkutan umum dan TDL itu dipicu oleh kenaikan BBM bersubsidi.
Di sisi lain Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) pada 18 November 2014 lalu, sehari setelah pengumuman kenaikan BBM bersubsidi, dari 7,5% menjadi 7,75%. Namun, tampaknya hal itu tidak berdampak untuk meredam laju inflasi. Saat ini BI sedang berencana untuk kembali menaikkan suku bunga acuan, meski Wapres Jusuf Kalla tidak menyetujui kenaikan suku bunga acuan itu.
Sementara itu, hari ini (12-12-2014), nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS terus anjlok hingga Rp 12.473 per 1 dolar AS. Nampaknya, harga psikologis Rp 12.500 per 1 dolar AS akan segera terjadi dalam beberapa minggu ke depan. Kejatuhan nilai rupiah ini sama sekali menganulir prediksi wakil menteri keuangan yang berkata bahwa kenaikan BBM bersubsidi akan menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS r hingga menjadi Rp 10.000.
Faktanya, nilai tukar rupiah malah terus ‘nyungsep’ setelah harga BBM bersubsidi dinaikkan. Sekarang apa tindakan Menkeu dan Gubernur BI selain berkilah bahwa indeks dolar AS memang sedang naik di luar negeri?
Bagi rakyat kecil hidup sekarang makin susah, karena kenaikan harga-harga barang dan jasa dalam dua bulan terakhir dipicu oleh dua hal secara bersamaan, yaitu kenaikan harga BBM bersubsidi dan kejatuhan nilai Rupiah terhadap US Dollar.
Saya jadi ingat pendapat George Soros: “Otoritas keuangan suatu negara yang cuma bisa menyalahkan para spekulan di luar negeri sebagai penyebab kejatuhan nilai tukar mata uangnya adalah orang-orang yang tidak bertanggung jawab.” Sekarang apa tindakan Menkeu dan Gubernur BI selain berkilah bahwa indeks US Dollar memang sedang naik di luar negeri?
Jika Bank Indonesia kembali hendak menaikkan suku bunga acuan menjadi 8 – 8,5%, maka diprediksi akan memicu aksi jual saham para investor yang akan membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia kembali anjlok. Namun, jika tidak dinaikkan, inflasi akan bisa terus melonjak dan dapat membuat para pengusaha kecil dan menengah di sektor riil makin terjepit karena lonjakan harga bahan baku.