Ini Jumlah Warga yang Tak Mampu Berobat di Semua Provinsi di Indonesia

Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM — Tidak sedikit warga di Indonesia di wilayah pedesaan maupun perkotaan yang sakit, dan memilih untuk tidak berobat jalan lantaran tidak adanya biaya pengobatan. Lantas, apakah tingginya persentase warga dengan status ini akan mempengaruhi tingkat morbiditas di provinsi tempat tinggal mereka?

Tingkat morbiditas sendiri didefinisikan sebagai derajat kesehatan masyarakat di suatu wilayah. Semakin tinggi persentase morbiditas, maka semakin buruk pula derajat kesehatan penduduk di provinsi tersebut.

Meski demikian, riset dari Lifepal.co.id terhadap data yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) membuktikan bahwa, persentase jumlah warga di sebuah provinsi yang menolak berobat lantaran tak punya biaya, tidak berkorelasi dengan angka morbiditas di provinsi tersebut.

Sebanyak 3,69% warga Jambi tidak berobat karena tak ada biaya

Menurut data yang dipublikasikan BPS, persentase rata-rata warga yang menolak berobat jalan di tiap provinsi di Indonesia karena ketiadaan biaya berobat mencapai 1,42%.

Melihat data di atas, provinsi dengan persentase tertinggi warga di wilayah kota atau desa yang menolak berobat jalan lantaran tidak memiliki biaya adalah Jambi, dengan angka 3,69%. Persentase ini jelas berada di atas rata-rata nasional, sekaligus menjadi terbesar di antara seluruh provinsi Indonesia.

Akan tetapi, persentase tingkat morbiditas di provinsi ini justru tidak terlalu buruk dan masih berada di bawah rata-rata, yaitu 10,54%.

Provinsi kedua yang berada di bawah Jambi untuk kategori ini adalah Bengkulu. Ada 3,32% dari total penduduk Bengkulu di tahun 2019 yang menolak berobat jalan karena tidak memiliki biaya. Namun, tingkat morbiditas di Bengkulu yang tercatat sebesar 14,25% masih di bawah rata-rata nasional dan hanya menempati posisi ke-16 pada peringkat morbiditas.

Kalimantan Utara dan Jakarta adalah dua provinsi dengan persentase warga yang menolak berobat jalan karena tak punya biaya terkecil. Di Kalimantan hanya 0,02% dari total penduduk yang tak miliki biaya untuk berobat, sedangkan di Jakarta persentasenya adalah 0,04%. Baik Kalimantan Utara maupun Jakarta juga memiliki tingkat morbiditas di bawah rata-rata.

Tingkat morbiditas di Nusa Tenggara Barat paling tinggi di antara yang lain

Tingkat morbiditas tertinggi di Indonesia ternyata dicatatkan oleh Nusa Tenggara Barat (NTB). Tingkat morbiditas di provinsi ini mencapai 22,69%.

Di bawah NTB, ada Gorontalo dengan persentase 22,22%, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan angka 21,90%.

Meski demikian, jumlah warga yang menolak berobat jalan karena tidak punya biaya di ketiga provinsi itu tidaklah banyak. Persentasenya hanya 1,40% untuk NTB, 0,11% untuk Gorontalo, dan 1,28% untuk NTT, angka ini jelas berada di bawah rata-rata nasional, yakni 1,42%
Tingkat morbiditas di Papua hanya 8,03%
Papua menjadi provinsi dengan tingkat morbiditas terendah, yakni hanya 8,03% saja. Papua diikuti oleh Kepulauan Riau dengan tingkat morbiditas 9,14%.

Persentase warga di Papua yang kesulitan berobat jalan karena tidak punya biaya juga cukup rendah dan masih di bawah rata-rata, yaitu 0,40%. Sementara itu, di Kepulauan Riau persentasenya 1,05%.

Seperti disebutkan di atas, semakin tinggi tingkat morbiditas maka semakin buruk derajat kesehatan masyarakat. Yang artinya, jika semakin rendah nilainya, maka semakin baik derajat kesehatan masyarakat di daerah tersebut.
Ketidaksanggupan dalam berobat warga tak jamin keterpurukan derajat kesehatan di wilayahnya
Tingkat morbiditas yang tinggi di suatu provinsi menandakan banyaknya keluhan kesehatan yang dialami penduduk di provinsi tersebut. Namun, persentase penduduk yang tidak berobat jalan karena ketiadaan biaya ternyata tidak langsung mempengaruhi tingkat morbiditas.

Betul sekali bahwasannya, biaya kesehatan memang terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Oleh sebab itu, seorang memang disarankan memiliki jaminan kesehatan seperti BPJS atau asuransi kesehatan swasta.

Namun faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan suatu masyarakat di suatu provinsi, bukan hanya lantaran ketiadaan materi, dalam hal ini uang. Menurut teori seorang pakar di University of California, Berkeley, sekaligus reformator Hendrik H.L. Blum yang seringkali disebut sebagai Bapak Perencanaan Kesehatan, faktor-faktor yang dimaksud adalah faktor lingkungan, perilaku, kesehatan, dan keturunan.

Faktor lingkungan bisa berupa kualitas air minum, akses terhadap sumber air minum, akses pembuangan tinja layak, dan sebagainya.

*Konten kerjasama Lifepal.co.id dengan Teraslampung.com