TERASLAMPUNG.COM– Beberapa wartawan yang biasa meliput di Pemprov Lampung berencana menggelar aksi unjuk rasa, beberapa hari lalu. Aksi itu dipicu oleh pelecehan profesi wartawan oleh Sekdaprov Arinal Djunaidi. Arinal dinilai melecehkan wartawan Tribunlampung, Noval Andriyansyah, saat akan mengonfirmasi terkait kabar dugaan penganiayaan yang dilakukan pejabat penting Pemrov Lampung itu terhadap seorang buruh di Bandara Radin Inten II. Dengan kalimat verbal, Arinal menuduh bahwa wartawan (Noval) kerjanya mencari uang saja.
Rencananya, pada Kamis pagi (20/4) mereka akan berkumpul di Bundaran Adipura Bandarlampung. Setelah berorasi di Bundaran Tugu Adipura, rencananya mereka akan berjalan meunju Kantor PWI Lampung di Jl. Ahmad Yani Bandarlampung.
Pada pagi itu (20/4), setelah berorasi di Bundaran Adipura mereka memang konvoi menuju Kantor PWI. Di depan Kantor PWI mereka berorasi. Ketua AJI Bandarlampung Yoso Mulyawan dan Ketua PWI Supriyadi Alfin ikut berorasi. Baik AJI maupun PWI bukanlah pemimpin aksi itu.
Di sela-sela orasinya Suprriyadi Alfian meminta para pengunjuk rasa menunggu 20 sampai 30 menit. Sambil menunggu para Arinal datang, pengunjuk rasa dibagi roti dan air mineral. Hanya berselang sekitar 5 menit, ternyata Arinal sudah muncul.
Layaknya wartawan ketemu narasumber, para pengunjuk rasa ada yang mengambil gambar Arinal. Sementara Supriyadi Alfian langsung mengajak Arinal dan para wartawan menuju lantai dua Gedung Solfian Ahmad (Kantor PWI Lampung).
Sementara di dalam kantor PWI terjadi proses permintaan maaf, Noval dan sebagian wartawan tetap berada di bawah, di depan Gedung Solfian Ahmad. Noval baru masuk ke ruangan ketika dipanggil untuk dimintai maaf oleh Arinal.
Wartawan yang tidak puas terhadap proses perdamaian, meminta agar Arinal Djunaidi meminta maaf secara terbuka di luar ruangan. Hal itu membuat Supriyadi Alfian memarahi wartawan. Supriyadi marah karena di ruangan Arinal sudah berkali-kali mengucapkan permintaan maaf.
Akhirnya wartawan pun bubar. Mereka kembali beraktivitas seperti hari-hari biasa.
Dua hari setelah aksi unjuk rasa dan proses perdamaian, masih banyak pertannyaan publik yang belum terjawab. Banyak keanehan yang mengindikasikan adanya permainan atau deal-deal di balik proses perdamaian.
Beberapa keanehan itu adalah:
1. Aksi unjuk rasa semula dengan rute Bundaran Adipura, Kantor PWI, dan KantorPemprov Lampung. Faktanya, aksi unjuk rasa hanya sampai di Kantor PWI Lampung. Pertanyaannya: kenapa hal itu terjadi? Di mana posisi korlap? Mengapa para pengunjuk rasa mau hanya berhenti sampai Kantor PWI?
2. Sebagai orator Supriyadi Alfian meminta para pengunjuk rasa menunggu kedatangan Arinal Djunaidi 20-30 menit. Faktanya, hanya dalam tempo 5 menit Arinal sudah datang. Pertanyaannya: sejak kapan Supryadi Alfian mengontak Arinal? Kenapa Arinal bisa datang secepat itu?
3.Ketika terjadi pertemuan di ruang kantor PWI antara Arinal Djunaidi dengan para wartawan, Noval sebagai pihak yang berkaitan langsung tidak ada di ruangan. Supryadi Alfian (PWI), Yoso Mulyawan (AJI), dan Arinal Djunaidi duduk di bagian depan menghadap para wartawan. Pertanyaannya: di mana posisi korlap? Apa peran Supriyadi Alfian dan Yoso Mulyawan? Bisakah Supriyadi Alfian dan Yoso Mulyawan menggantikan peran korlap dan Noval? Bagaimana bisa terjadi proses perdamaian hanya melibatkan korban di bagian ujungnya saja, saat pelaku perlu minta maaf saja?
4.Ketika proses permintaan maaf selesai dan ada wartawan meminta agar Arinal Djunaidi meminta maaf secara terbuka, Supriyadi Alfian memarahi si wartawan. Pertanyaannya: apa hak Supriyadi Alfian memarahi wartawan? Apakah wartawan yang mengajukan tuntutan itu anak buah Supriyadi Alfian? Apakah dia anggota PWI atau wartawan tempat Supriyadi menjadi pemimpinnya? Bukankah permintaan maaf secara terbuka di depan massa adalah menjadi salah satu tuntutan para pengunjuk rasa?
5. Dalam fotokopian selebaran aksi disebutkan tuntutan para pengunjuk rasa yang menamakan diri Aliansi Jurnalis Lampung, antara lain “Sekda Provinsi Lampung Arinal Djunaidi meminta maaf dan mencabut perkataannya secara terbuka di depan massa. ” Pada poin kedua disebutkan, jika tidak melakukan permintaan maaf, para pengunjuk rasa akan melaporkan Arinal ke Polda Lampung.
Pertanyaannya: apakah permintaan maaf harus dilakukan di Kantor PWI atau bisa di mana saja?
Pertanyaan-pertanyaan lain yang menjadi pertanyaan publik adalah: mengapa aksi unjuk rasa wartawan itu justru seolah-olah diambil alih PWI dan AJI dan seolah-olah PWI yang punya hajat? Bagaimana track record korlap, juru bicara wartawan dalam pertemuan Arinal dengan para wartawan, Ketua PWI Supriyadi Alfian, dan Ketua AJI Bandarlampung Yoso Mulyawan dalam kehidupan jurnalistik di Lampung? Apakah mereka clear? Apakah mereka tidak berkasus terkait etika profesi?
Kenapa malam sebelum aksi ada upaya lobi dari pihak tertentu agar wartwan membatalkan aksinya di Pemprov Lampung?
Selama pertanyaan-pertanyaan itu tidak terjawab, maka tudingan adanya permainan setingan dan deal-deal tertentu tidak bisa dihindari.
Oyos Saroso H.N.