Inilah Penyebab Penuntasan Kasus Talangsari Buntu

Amir, salah satu korban Tragedi Talangsari. (Teraslampung.com)
Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM — Harapan korban Tragedi Talangsari 7 Februari 1989 untuk direhabilitasi namanya dan mendapatkan konpensasi dari pemerintah kemungkinan masih menempuh jalan panjang.

Meskipun Komnas HAM sejak beberapa tahun sudah memeriksa para korban dan saksi Tragedi Talangsari, penuntasan pelanggaran HAM berat dalam Tragedi Talangsari masih menemui jalan buntu.

“Kebuntuan itu disebabkan baik Kejaksaan Agung, DPR, maupun
Presiden belum menyepakati untuk bisa benar-benar menuntaskan Tragedi Talangsari. Tanpa adanya pengadilan HAM adhoc dan hasilnya memiliki kekuatan hukum tetap, sampai kapan pun korban Tragedi Talangsari tidak mungkin bisa
mendapatkan rehabilitasi dan dana kompensasi,” kata mantan komisioner Komnas HAM, Kabul Supriyadi, beberapa waktu lalu.

Kabul mengatakan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat
dalam Tragedi Talangsari harus melibatkan beberapa lembaga tinggi negara. Antara lain Kejaksaan Agung, DPR, dan Presiden.

“Selama ini masing-masing lembaga tinggi negara itu belum memiliki pandangan dan pendapat yang sama tentang penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dalam Tragedi Talangsari. Komnas HAM sudah menyerahkan berkas hasil
penyelidikan Oktober lalu kepada Kejaksaan Agung dan DPR. Tapi sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya,” kata Kabul.

Menurut Kabul, kalau Komnas HAM memiliki wewenang untuk
melakukan penyidikan dan penuntutan kasus pelanggaran HAM, Tragedi Talangsari dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lain di Indonesia pasti sudah lama tuntas

“Kami hanya bisa melakukan penyelidikan.Tahap penyidikan dan
penuntutan yang memiliki wewenang adalah Kejaksaan Agung. Kalau berkas penyilidikan pelanggaran HAM berat Tragedi Talangsari tidak direspons oleh Kejaksaan Agung, tentu saja DPR tidak mau memberikan rekomendasi agar Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Adhoc. Padahal, Pengadilan HAM Adhoc itulah yang nantinya bisa mengadili para pelaku pelangga HAM berat,” kata Kabul.

Kepala Divisi Impunitas Komite untuk Orang Hilang dan Tindak
Kekerasan (Kontras), Yati Andriyani, mengatakan proses hukum pelanggaran HAM berat dalam Tragedi Talangsari saat ini
berada dalam ‘status quo’. Artinya, Kejaksaan Agung tidak pernah menyatakan tidak mau menyelesaian kasus, tetapi di sisi lain Kejaksaan Agung juga tidak mau responsif menuntaskan kasus.

“Kalau ada pernyataan dan Kejaksaan Agung bahwa Kejaksaan Agung tidak mau menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat dalam Tragedi Talangsari, para aktivis HAM akan lebih mudah untuk mendorong agar ada desakan internasional. Kami bisa memaklumi itu karena dalam pelanggaran HAM berat itu melibatkan lembaga TNI,” kata Andriyani.

Suciwati, seorang pembela HAM, mengaku tidak yakin hasil penyelidikan Komnas HAM tentang pelanggaran HAM berat dalam Tragedi Talangsari bisa berlanjut ke tahap penyidikan dan penuntutan di pengadilan adhoc.

“Ini sangat menyedihkan. Sudah jelas-jelas banyak korbannya, tetapi sampai saat ini pelakunya dianggap tidak ada.Sudah 20 tahun para korban Talangsari hidup susah dan mengalami teror hingga saat ini,” kata istri almarhum Munir itu.

Penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam Tragedi Talangsari, 7 Februari 1989. Komnas HAM sudah memeriksa lebih dari 50 korban Tragedi Talangsari yang kini tersebar di Lampung, Jakarta, Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Namun,
sampai kini Komnas HAM gagal memeriksa mantan petinggi TNI yang diduga bertanggung jawab terhadap penyerbuan tentara ke Dusun Talangsari yang menewaskan ratusan orang.

Mbah Paimun, 80, salah satu korban Tragedi Talangsari, mengaku meskipun kecewa karena tidak segera mendapatkan rehabilitasi dan kompensasi dari pemerintah, dia akan menunggu sampai kapan pun kasus Talangsari bisa diselesaikan.

“Kami hanya bisa pasrah. Sampai mati pun kami akan menungg niat baik pemerintah. Saat ini pun kami sudah seperti mati karena tidak bis hidup wajar seperti warga Indonesia lainnya. Kami warga Indonesia dan bukan pemberontak,” kata dia.

Tragedi Talangsari atau kasus Warsidi terjadi pada 7 Februari 1989 di Dusun Cihideung, Desa Talangsari, Kecamatan Rajabasa Lama, Kabupaten Lampung Tengah (sekarang masuk Kabupaten Lampung Timur).

Lebih dari sekitar satu Batalyon TNI dari Korem Garuda Hitam
Lampung menyerbu perkampungan Cihedeung, Desa Talangsari, Lampung Tengah. Penyerbuan yang dilakukan selepas subuh dari tiga arah itu mengakibatkan ratusan anggota jamaah pengajian yang dipimpin Warsidi tewas. Selain itu Kontras mencatat 23 orang lainnya ditahan secara sewenang-wenang, 25 diadili secara tidak fair, 78 orang saat ini tidak diketahui keberadaannya, dan 24 orang diusir dari desanya.

Penyerbuan terhadap perkampungan jamaah Warsidi dilakukan karena sehari sebelumnya seorang anggota TNI—Danramil Way Jepara Kapten Sukiman—tewas di kompleks pegajian tersebut. Sutiman tewas karena terkena panah beracun pada dada kanan dan kirinya serta bacokan golok.

TNI dan aparat pemerintah kecamatan ketika itu menilai pengajian itu dianggap akan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Warsidi sendiri memang merupakan salah seroang anak buah Abdullah Sungkar, tokoh NII yang pernah melarikan diri ke Malaysia.

Oyos Saroso HN