Inilah Peta Politik Pilgub Lampung 2018

Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM — Pemilihan Gubernur Lampung 2018 akan digelar pada 27 Juni 2018. Pada minggu kedua Januari 2018, tahap pendaftaran sudah dimulai oleh KPU sudah dimulai.  Tercatat ada empat pasangan bakal calon Gubernur Lampung-calon Wakil Gubernur Lampung 2019-2024.

Mereka adalah Mustafa-Ahmad Jajuli yang diusung Partai Nasdem, PKS, dan Hanura; Herman HN-Sutono, diusung PDI Perjuangan;  Arinal Djunaidi-Chusnunia Chalim (Nunik), diusung Partai Golkar, PKB, dan PAN; serta M. Ridho Ficardo-Bachtiar Basri, diusung Partai Demokrat, Gerindra, dan PPP.

Pada Pemilu Legislatif dan Pilgub Lampung 2014, jumlah daftar pemilih tetap (DPT) menurut KPU Lampung adalah 5.913.168 pemilih. Jumlah itu terdiri atas 3.033.634 pemilih laki-laki dan  2.879.534 pemilih perempuan. Namun, pada Pilgub 2018 KPU Lampung tidak akan memakai data DPT Pemilu dan Pilgub 2014 tersebut untuk menentukan DPT.

KPU Lampung akan menggunakan  DPT terakhir di 15 kabupaten/kota yang mengacu data pemilih delapan pilkada di 2015 (Bandarlampung, Lamtim, Lamsel, Metro, Lamteng, Pesawaran,Waykanan, Pesiisir Barat), lima pilkada di 2017 (Mesuji,Pringsewu, Tubaba, Tulangbawang, Lambar), dan dua pilkada di 2018 (Pilkada Tanggamus dan Lampung Utara).

Data KPU Lampung menyebutkan, DPT terakhir di 15 kabupaten/kota berjumlah 6.089.924 mata pilih. Ada kemungkinan jumlah itu nantinya akan bertambah pada kisaran 1-3 persen. Artinya, pada Pilgub Lampung 2018 jumlah mata pilih pada kisaran 6.150.823 hingga 6.272.621 mata pilih. Jumlah itulah yang akan diperebutkan oleh empat pasangan cagub-cawagub.

Berdasarkan kekuatan partai pendukung, Ridho Ficardo – Bachtiar Basri dan Arinal Djunaidi-Nunik mendapatkan dukungan koalisi partai dengan jumlah kursi di DPRD Lampung masing-masing 25 kursi (29,5 persen) Herman HN-Sutono 17 kursi (20 persen), dan Mustafa-Ahmad Jajuli 18 kursi (21 persen).

Dukungan partai atau koalisi partai dengan ambang batas memiliki 20 persen kursi di DPRD Lampung merupakan syarat bagi pasangan cagub-cawagub memenuhi syarat untuk mendaftar di KPU.

Dukungan Parpol Kinerja “Mesin Parpol”

Pada Pilgub diyakini sosok kandidat lebih menentukan dibandingkan parpol. Meskipun begitu, kandidat sangat memerlukan parpol. Bukan hanya sebagai syarat pencalonan, tetapi karena “mesin parpol” itulah yang nantinya akan menggerakkan seluruh sumber daya sehingga sang pasangan cagub-cagub bisa memenangi Pilgub.

Berdasarkan pengalaman di banyak pilkada, kader PKS adalah kader yang paling militan. Mereka gigih menjaring dukungan hingga rela ‘door to door’. Keuletan kader dan relawan PKS diyakini bisa terbentuk karena sistem pengkaderan yang berjalan dengan bagus. Itulah sebabnya, biasanya pasangan calon yang ddukung PKS akan merasa diuntungkan.

Kader yang tidak kalah gigih adalah kader PDIP. Jika dalam kondisi normal, kegigihan kader PDIP kemungkinan hanya bisa ditandingi oleh kader PKS. Namun, gerakan kader PDIP bisa lemah jika menjelang pilkada terjadi friksi di dalam kandang banteng tingkat lokal.

Mesin partai lain bisa dikatakan biasa-biasa saja kinerjanya. Namun, semua parpol di luar PKS dan PDIP bisa saja bekerja mati-matian jika mereka memiliki daya dukung yang memadai. Misalnya komunikasi yang bagus antara kandidat dengan para relawan dan logistik yang cukup yang memungkinkan gerakan bisa leluasa. Intinya, tidak mungkin alat peraga kampanye akan bisa terpasang sendiri di pinggir jalan tanpa ada yang bergerak dan menggerakkan.

Dukungan Dana dan Logistik

Masih ingat Pilgub Lampun 2014? Ya, ada banyak drama menjelang pencalonan pasangan calon gubernur-calon wakil gubernur ketika itu. Herman HN yang setahun menjelang Pilgub menangguk popularitas dan berpeluang paling besar memenangi Pilgub Lampung akhirnya dikalahkan anak muda pendatang baru di dunia politik (Ridho Ficardo) yang berpangn dengan Bachtiar Basri (birokrat senior).

Tidak bisa dimungkiri, kemenangan Ridho Ficardo-Bachtiar Basri karena kuatnya dukungan dana dari korporasi. Meski dukungan dana tidak menjadi satu-satunya ukuran pengantar kemenangan, fakta ketika itu menunjukkan bahwa dalam fenomena ‘mayoritas diam’ publik di Lampung mengakui adanya peran korporasi dalam Pilgub.

Berbagai temuan dugaan pelanggaran ketika itu dilaporkan ke Bawaslu sehingga Bawaslu pusat akhirnya menggelar sidang. Namun, hal itu tidak membatalkan hasil Pilgub Lampung 2014.

Pada Pilgub Lampung 2018, pola dukungan logistik semacam itu kembali diterapkan. Pertanyaannya: cukup efektifkah pola itu dipakai dengan teknik yang sama, meskipun calon yang diusung berbeda?

Di luar kekuatan dana korporasi atau penyandang dana alias sponsor — yang tidak jelas peran KPU dan Bawaslu dalam melakukan veriikasi itu– yang tak kalah penting adalah sumber daya parpol dan sumber dana pasangan calon. Kandidat yang dananya besar belum tentu akan meraup suara yang besar. Hal itu terjadi jika dana yang dikeluarkan tidak tepat sasaran. Misalnya, dana terlalu banyak yang ngendon di rekening bank anggota tim sukses atau konsultan politik ketimbang langsung bermanfaat bagi penjaringan suara.

Meskipun jumlah kekayaan pasangan calon nilainya masing-masing mencapai puluhan miliar rupiah, tetapi itu masih bisa diukur dan ada pelaporannya di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Komisi Pemberantasan Korupsi (LHKPN KPK). Yang tidak bisa diukur dan telusuri jejaknya adalah harta yang dipakai untuk logistik pilkada yang bersumber dari pihak lain. Gabungan logistik bersumber dari dana pribadi ditambah dengan dana dari pihak ketiga akan sangat menentukan masif-tidaknya pergerakan menjaring suara.

Meskipun KPU membuat aturan tentang tata cara pemasangan alat peraga, jumlah alat peraga yang dipasang, jumlah dan durasi iklan di media massa, tetapi KPU dan Bawaslu biasanya tidak bisa mengawasi pergerakan dana yang dipakai untuk menjaring suara lewat cara primitif tapi modern,yakni politik uang (money politic).

Modal Awal Para Kandidat

Selain dukungan partai pengusung pada Pilgub 2018, modal awal pada cagub-cawagub Pilgub Lampung 2018 adalah perolehan suara mereka pada kurun 2014-2015. Dua tahun itu merupakan momen Pilgub Lampung 2014, Pileg 2014 (bersamaan dengan Pilgub Lampung 2014), dan Pilkada serentak 2015.

Dari empat pasangan calon, dua di antaranya pernah ikut kontestasi Pilgub Lampung 2014, yaitu M. Ridho Ficardo-Bachtiar Basri dan Herman HN. Pada Pilgub 2014 Herman HN berpasangan dengan kader PAN, Zainudin Hasan.

Pada Pilgub 2014, Ridho-Bachtiar menang dengan perolehan 816.533 suara (44,96 %). Sedangkan Herman HN yang kala itu berpasangan dengan Zainudin Hasan (sekarang Bupati Lamsel dan Ketua DPW PAN Lampung) mendapat 1.342.763 suara (33,12 %).

Perlu dicatat, ketika itu Ridho-Bachtiar didukung Partai Demokrat, PKS,dan banyak partai kecil yang tidak memiliki kursi di DPRD Lampung. Heman HN saat itu diusung PAN, PBR,dan partai-partai keciil. PDIP berkoalisi bersama PKB, PPP, dari partai-partai kecil mengusung Berlian Tihang- Mukhlis Basri (kader PDIP, ketika itu menjadi Bupati Lampung Barat). Sedangkan Golkar mengusung Alzier Dianis Thabanie (Ketua DPD I Golkar Lampung – Lukman Hakim (Walikota Metro).

Meskipun kalah pada Pilgub Lampung 2014, Heman HN-Zainudin Hasan menang di Kota Bandarlampung dengan perolehan 243.368 (56,09 %), sementara Ridho Ficardo-Bachtiar Basri mendapatkan 99.548 (22,19 %). Itu berarti Herman di Kota Tapis Berseri terlalu kuat bagi Ridho.

Kalah di Pilgub Lampung, Herman HN kembali maju pada Pilwakot 2015. Hasilnya: Herman HN – Yusuf Kohar menang dengan perolehan 358.249 suara atau 86,66%.

Pada titik tertentu, perolehan suara Ridho Ficardo di Pilgub 2014 dan perolehan suara Herman HN pada Pilgub Lampung 2014 dan Pilwakot Bandarlampung 2015 bisa menjadi acuan kasar tentang peta kekuatan Ridho dan Herman di Pilgub Lampung 2018. Meskipun begitu, harus diperhatikan pula faktor pergeseran partai pengusung, akeptabilitas, logistik, dan lainnya. Dan, tentu saja ‘faktor X’ yang tiba-tiba muncul menjelang saat pencoblosan.

Hal serupa juga berlaku untuk pasangan Mustafa-Ahmad Jajuli dan Arinal Djunaidi-Chusnunia Chalim. Di antara empat nama, Arinal Djunaidi termasuk pendatang baru di dunia politik. Arinal sebelumnya adalah pejabat daerah, PNS yang berkarier hingga puncak: menjadi Sekda Provinsi Lampung.

Pada Pilbup Lampung Tengah 2015, Mustafa menang mutlak dengan perolehan 393130 suara (63,54%). Ahmad Jajuli, yang berpasangan dengan Mustafa pada Pilgub 2018, memang belum pernah maju dalam Pilkada. Namun,Ahmad Jajuli dua kali lolos menjadi anggota DPD RI dengan suara besar. Pada Pemilu 2014, Ahmad Jajuli meraup suara sebanyak 338.596.

Chusnunia Chalim yang pada Pilgub 2018 menjadi cawagub Arinal Djunaidi juga berpengalaman memenangi pilkada. Pada Pilbup Lampung Timur 2015, Chusnunia yang berpasangan dengan Zaiful Bokhari menang dengan 263.926 suara (53,17%). Pesaingnya, pasangan Yusran Amirullah- Sudarsono meraih 232.455 Suara (46,83%).

Sebelum maju Pilbup Lamtim 2015, pada Pemilu 2014 Chusnunia lolos ke Senayan (DPR RI) setelah memperoleh  56.752 suara. ***

Dewira/MA/BS

Penyunting: Oyos Saroso H.N.