Oleh: Sudjarwo
Pemerhati masalah Sosial dan Pendidikan
Beberapa waktu lalu petinggi Universitas Padjadjaran dalam suatu acara menyatakan keprihatinannya karena menurunnya integritas akademik di banyak kampus di Indonesia. Bentuk bentuknya antara lain; maraknya plagiarisme, menjadi produsen Jurnal terindeks untuk menjadikan seseorang Guru Besar, membuatkan karya tulis mahasiswa untuk mendapatkan upah, penyimpangan moral; dan masih banyak lagi. Belum lagi masalah nonakademik yang mencoreng institusi, seperti melakukan korupsi saat diberi amanah, laku hedonis, dan sebagainya.
Pertemuan itu menjadi semakin seru manakala mebeberkan kesulitan perjalanan Perguruan Tinggi yang berstatus Perguruan Tinggi Berbadan Hukum atau dikenal dengan PTN-BH; berkaitan dengan pengadaan atau rekrutmen dosen yang tidak lagi menjadi ASN, persoalannya bukan pada anggaran, tetapi lebih kepada penyamaan langkah dalam membangun iklim akademik.
Fenomena ini sebenarnya sudah pernah ditengarai oleh banyak pihak, diantaranya Muhajir Utomo pernah mengemukakan kekawatirannya akan menurunnya integritas akademik beberapa waktu lalu, kemudian disusul oleh Anshori Jausal, dan Bujang Rahman. Mereka seolah bersepakat jika menurunnya integritas akademik adalah sama dan sebangun dengan dekadensi moral dalam pengertian hakiki.
Bisa dibayangkan jika ada dosen pembimbing yang berlindung dengan jargon “baik hati dan suka menolong” membuatkan karya tulis bimbingannya dengan bayar sekian rupiah. Begitu pula ada Dosen non ASN nyambi kerja memproduk jurnal untuk mereka yang membutuhkan. Apakah orang yang seperti ini masih layak dipertahankan untuk bicara moral di muka kelas, dihadapan mahasiswanya.
Ada seorang doktor muda begitu diberi amanah untuk memimpin lembaganya, terkaget-kaget mendapatkan kenyataan bahwa percepatan studi ternyata ada kaitannya dengan produsen karya tulis ilmiah yang dihasilkan oleh dosen saat menjadi upahan mahasiswa bimbingannya dalam menyelesaikan tugas akhirnya, bagaimana anak muda ini harus terkaget-kaget ada produsen proposal yang dilakukan oleh teman selingkung. Saat beliau minta nasihat bagaimana cara menyelesaikannya, demi keselamatan diri maka advais yang diberikan adalah lakukan dengan sistem “menarik rambut dalam tumpukan tepung”. Atas dasar kalimat bersayap itu yang bersangkutan jadi paham bagaimana menyelesaikan masalah tanpa meninggalkan masalah.
Belum lagi sistem pembinaan tanpa pembinaan dengan satu mata kulaih diasuh oleh tiga orang dosen dengan dipimpin satu orang penanggungjawab. Ternyata makna dosen team terdistorsi dengan team dosen; yang kedua makna itu sangat berbeda. Ini mewabah hampir disemua perguruan tinggi di negeri ini. Kenyataan di lapangan lebih dimaknai “bagi bab” bukan sama-sama masuk kedalam kelas kemudian menggelar diskusi bersama dengan mahasiswa. Alasan klasik sistem pemberian “penghargaan” yang diberikan lembaga adalah total satuan kredit semester dibagi jumlah team. Di sini kerangka berfikir kapitalistik menyeruak ke otak dosen “untuk apa masuk berama jika pembagian seperti itu”; kerusakan ini menjadi sistemik manakala terjadi penularan antargenerasi. Jika ada pihak lain yang mengembalikan pada posisi sesungguhnya sebagai substansi team, maka hal ini dianggap “gila” atau buang enargi.
Kembali kepada pokok persoalan integritas akademik ternyata juga disumbang oleh sistem yang dibangun sebagai penopang, dan sekaligus pencipta iklim akademik. Jika iklim yang ada tidak membangun tumbuhnya integritas akademik, maka sebenarnya kita hanya berteriak di padang pasir. Dengan demikian integritas akademik tidak hanya dibangun oleh satu aspek saja, tetapi banyak aspek pendukung lainnya, termasuk kepribadian pelakunya. Hal yang lebih penting lagi bahwa semua itu memerlukan proses yang panjang, dengan rangkaian yang bersifat long term, tidak bisa bersifat instant.
Oleh karena itu, manakala ada pelanggaran yang dilakukan oleh personal, secara otomatis akan mengganggu marwah organisasi, dan ini berarti integritas akademik yang bersangkutan dipertanyakan. Manakala itu diberikan sanksi kepada yang bersangkutan, maka sanksi moral adalah sesuatu yang melekat dalam kurun waktu yang lama. Parahnya lagi semua akan merusak marwah organisasi; dan inilah yang menyebabkan menangisnya para pendahulu jika ada kejadian yang menjatuhkan martabat lembaga.