TERASLAMPUNG.COM — Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, memperkirakan serangan militer Rusia ke Ukraina akan membuat APBN menanggung beban berat. Musababnya, konflik tersebut menyulut meroketnya harga acuan minyak dunia hingga menembus posisi tertinggi.
“Sebagai negara net importir, Indonesia tidak diuntungkan sama sekali atas kenaikan harga minyak tersebut. Bahkan, membumbungnya harga minyak itu justru merugikan dan memperberat beban APBN,” ujar Fahmy dalam pesan pendek saat dihubungi pada Jumat, 25 Februari 2022.
Harga acuan minyak mentah Brent kemarin sudah menembus level US$ 105 per barel atau mencapai rekor tertinggi dalam enam tahun terakhir. Sementara itu, harga acuan minyak West Texas Intermediate turut mengalami kenaikan rata-rata 7 persen menuju US$ 99 per barel dari sebelumnya US$ 95 per barel.
Fahmy berujar, APBN akan makin menanggung beban jika pemerintah tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Sebab, dengan melonjaknya harga acuan minyak dunia, Pertamina harus menjual BBM di bawah harga keekonomian yang beban kerugiannya akan diganti oleh pemerintah dalam bentuk dana kompensasi.
Walhasil, ia memandang pemerintah tidak cukup hanya memantau perkembangan harga minyak. Indonesia, kata Fahmy, harus mengantisipasi dan membuat proyeksi harga minyak yang menjadi dasar dalam mengambil keputusan ihwal harga bahan bakar minyak BBM.
“Pemerintah harus memutuskan kebijakan terhadap harga BBM untuk mengurangi beban APBN,” kata dia.
Pertama, ia menyarankan pemerintah menaikkan harga Pertamax sesuai dengan harga pasar. Kedua, Fahmy menuturkan pemerintah perlu menghapus Premium yang memiliki beban subsidi tinggi.
Kemudian ketiga, pemerintah diminta tidak menaikkan harga Pertalite. Pemerintah, tutur dia, dapat mengalihkan subsidi Premium ke Pertalite.
Sebab jika harga Pertalite naik, kondisi ini bakal memiliki dampak domino, seperti meningkatkan inflasi dan menurunkan daya beli rakyat. “Apalagi jumlah konsumen BBM (Pertalite) terbesar dengan proposi mencapai 63 persen,” katanya.
Selanjutnya, pemerintah dipandang perlu membuat penyesuaian Indonesia crude price (ICP) secara proporsional mengikuti perkembangan harga minyak dunia akibat dampak invasi Rusia ke Ukraina.