Sekolah kampung dengan fasilitas seadanya. |
CERITA DARI LAPANGAN
Dwie Aroem Hadiatie
BERADA di tanah kelahiran, berkumpul dan mendengar banyak cerita langsung dari masyarakat, membuat kepekaan akan kehidupan masyarakat lebih tertanam dalam hati dan pikiran. Itulah yang saya rasakan akhir-akhir ini. Usaha-usaha yang terus menerus untuk berada dekat dengan mereka, semakin membuka cakrawala berpikir. Hal yang paling mengusik pikiran adalah saat mengunjungi beberapa daerah terpencil di Lampung, yang harus ditempuh dengan perahu dan dengan waktu penyeberangan selama 4 jam.
Nasib pendidikan di sejumlah kampung di Lampung memang masih memprihatinkan. Selain akses jalan yang kurang memadai, kondisi bangunan sekolah juga sering memprihatinkan. Belum lagi masalah ketersediaan guru. Banyak sekolah di kampung-kampung di Lampung yang kekurangan guru. Rasio guru dengan murid tidak seimbang. Itu karena di Lampung guru terkonsertrasi di kota.
Faktor sarana dan fasilitas guru yang minim di pedalaman juga menjadi salah satu penyebab keengganan guru untuk mengabdikan diri di wilayah pedesaan pedalaman di Lampung. Hal ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Provinsi.
Dengan ketiadaan fasilitas seperti rumah tinggal, biaya transportasi yang tinggi untuk kembali ke tempat asal, sarana pendidikan yang tidak memadai, membuat guru lebih terkonsentrasi di perkotaan dan hal ini mengakibatkan kualitas pendidikan di wilayah pedesaan pedalaman menjadi hanya apa adanya saja, yang penting ada sekolah.
Selain jumlahnya minim, umumnya tingkat pendidikan guru juga rendah. Pelayanan pendidikan baru dalam tahap sekedar ada saja. Misalnya pernah terjadi di Lampung Selatan. Di salah satu sekolah dasar di desa Neglasari, hanya memiliki dua guru yang berstatus pegawai negeri sipil. Fakta ini jelas menunjukkan bagaimana pelayanan pemerintah dalam pendidikan terutama bagi daerah terpencil masih kurang dirasakan.
Pendapat lain tentang persoalan tenaga pendidik yang mayoritas terkonsentrasi di perkotaan ini disebabkan karena banyak sekolah yang masih dalam tahap rintisan, sehingga belum memikirkan kualitas dan kuantitas. Lalu ada juga yang berpendapat bahwa kondisi itu disebabkan banyaknya kalangan guru yang tidak memiliki kesiapan mental untuk memberikan pengabdian di daerah.
Padahal, ketika akan diangkat menjadi PNS, calon guru tersebut menandatangani surat komitmen yang berisi kesiapan untuk ditempatkan di daerah mana pun dalam wilayah nusantara. Namun, ketika sudah lulus, mereka banyak mengurus persyaratan supaya bisa pindah karena tidak siap mengabdi di daerah dengan segala kekurangan dan keterbatasannya.
Demikian pula masalah kesenjangan antar-wilayah, yang meliputi penyediaan tenaga pendidik dan kependidikan, gedung sekolah, sarana pendukung, dan sebagainya. Keberadaan guru, sebagai fasilitator dalam pembelajaran adalah sangat vital. Guru harus diposisikan sebagai pihak yang mengemban amanah pendidikan. Masalah penempatan dan peningkatan kualitas guru adalah wewenang pemerintah.
Sekolah SD dengan fasilitas seadanya. Para siswa harus duduk di lantai |
Fakta tersebut adalah situasi yang kontras dengan salah satu sasaran pembangunan daerah yaitu Meningkatkan ketersediaan sarana pendidikan dan meningkatkan mutu pendidikan. Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya sangat signifikan dalam mencapai kemajuan diberbagai bidang kehidupan. Karena itu pemerintah daerah memiliki kewajiban dalam memenuhi setiap kewajiban warga negara untuk memperolah pelayanan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UUD 1945. Semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran tanpa terkecuali baik itu masyarakat perkotaan maupun masyarakat di pedesaan yang terkecil.
Sebetulnya, untuk mengatasi ketimpangan distribusi guru, pemerintah sudah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) lima menteri. Keputusan disertai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 62 Tahun 2013 yang memungkinkan guru mengajar di luar bidang kompetensinya. Namun Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pernah menyatakan, sebetulnya masalah itu tidak berarti jika saja distribusi guru dilakukan secara adil. Kenyataannya ada guru SMP dan SMA yang dimutasi menjadi guru SD dan cara seperti itu dianggap tidak baik karena semakin jauh dari cita-cita meningkatkan mutu pendidikan dan pemerataan pendidikan.
Belum lagi persoalan penataan guru berdasar SKB lima menteri ini juga dianggap gagal karena tidak ada basis data yang pasti tentang pemetaan guru di setiap sekolah. Dinas pendidikan di sejumlah daerah juga tidak melakukan pendataan dan pemetaan. Kalaupun ada data yang terkait, data tersebut kerap tidak digunakan saat mendistribusi atau memutasi guru dari satu sekolah ke sekolah lain.
Dengan alokasi anggaran Rp 284,250 miliar pada tahun 2013 ini, Dinas Pendidikan mengalokasikan untuk membiayai pendidikan mulai dari tingkat usia dini hingga ke tingkat pendidikan tinggi. Namun persoalan distribusi dan pemerataan guru belum juga terselesaikan. Seperti telah diketahui bahwa alokasi dana anggaran pendidikan pada Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2012 Provinsi Lampung hanya 10% dari total anggaran. Hal ini semua dikatakan karena kondisi keuangan Lampung belum mampu memenuhi ketentuan 20% anggaran pendidikan yang diamanatkan undang-undang. Dengan kata lain dana tersebut harus disesuaikan dengan kondisi dunia pendidikan di Lampung saat ini. DPRD dan Pemprov Lampung sepakat APBD Lampung 2012 sebesar Rp2,809 triliun.
Sebesar Rp283 miliar lebih dialokasikan untuk pendidikan. Dinas Pendidikan mengelola kurang lebih Rp222 miliar, sisanya tersebar pada sembilan satuan kerja yang lain. Sebetulnya sudah ada peningkatan pengalokasian anggaran pendidikan dibanding tahun lalu. Pada APBD murni 2011 hanya menganggarkan 9% dari total jumlah dana yang ada atau sekitar Rp202 miliar. Namun peningkatan tersebut tidaklah terlalu memiliki hasil yang signifikan mengingat angka partisipasi sekolah pada pendidikan tingkat menengah belum mencapai angka 90%. Bahkan, angka partisipasi sekolah anak umur 16-18 tahun hanya sebesar 59,8%.
Mutu pendidikan yang baik hanya bisa dicapai dengan adanya tenaga penagajar yang memiliki kompetensi dan keahlian dibidangnya. Jika penyebaran tenaga pengajar masih kurang merata maka akan sulit tercapai kesamaan dalam proses belajar-mengajar. Ke depan, Dinas Pendidikan Provinsi Lampung harus bisa melakukan pemetaan dan melakukan pemerataan penyebaran guru-guru. Dengan begitu, sekolah-sekolah yang masih kekurangan tenaga pendidik akan diketahui dan bisa segera diambil solusinya.
Dengan semakin terpenuhinya fasilitas bagi para guru dan sarana-prasarana pendidikan di wilayah pedesaan pedalaman Lampung, maka kualitas dan kuantitas guru bisa terpenuhi sehingga akan mengurangi secara signifikan kesenjangan kualitas hasil pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan pedalaman di Lampung. Ya, semoga saja.
Sumber: www.dwiearoem.com