Jabung Tak Lagi soal Begal, Tapi soal Pemenang MTQ Tingkat Internasional

Bagikan/Suka/Tweet:

Budi Hutasuhut

Jabung distigma publik sebagai “kampung begal”. Media berperan penting untuk menghalalkan vonis sosial itu, sehingga seluruh warga Jabung harus menanggung akibatnya. Aparat pemerintah, terutama para penegak hukum, ikut-ikutan membangun konvensi sosial seakan-akan Jabung “daerah gelap”.

Dampak sosiologisnya, generasi muda asal Jabung “dipaksa” mengalami degenerasi. Padahal, anak-anak yang lahir dari lingkungan masyarakat itu, punya nilai lebih dibandingkan anak-anak dari daerah lain di Kabupaten Lampung Timur. Tekanan publik yang begitu keras dan menyakitkan, mendorong mereka untuk lebih keras berjuang.

Siska Fitriyani, siswi SMK Muhammadiyah 3 Metro, salah satu contoh. Gadis kelahiran Jabung dan bersekolah di Kota Metro ini, mengikuti “The International of Qur’an and Technology” Musabaqoh Tilawatil Qur’an tingkat SMA/SMK di Jakarta. Tak dinyana, ia menjadi Juara 1 putri.

Siska dan Siska lain melimpah dari Jabung. Mereka mengasah diri untuk menjadi figur yang mampu membalik citra negatif kampungnya. Dan, tentu, tidak mudah bagi mereka untuk melakukan hal itu.

Stigma adalah hukum sosial yang bisa diatasi tidak dalam hitungan detik, jam, atau hari. Stigma negatif hanya bisa diselesaikan dalam waktu lama dan panjang.

Maka, generasi muda asal Jabung, jika suatu hari Anda punya waktu mampir ke sana, adalah anak-anak muda yang punya semangat luar biasa untuk melanjutkan pendidikannya. Mereka, sebagian besar, memutuskan bersekolah di luar Jabung. Tak sedikit dari anak-anak itu yang pindah ke Kota Metro, lalu mengasah kreativitasnya di lingkungan baru, di antara generasi muda lain yang mengenyam pendidikan.

Terkadang, stigma negatif itu melekat. Para induksemang, pemilik rumah-rumah kontrakan di Kota Metro, tidak sedikit yang menutup diri bagi anak-anak asal Jabung. Setiap pelajar atau mahasiswa, yang hendak mencari rumah kontrakan di Kota Metro, selalu mengubah asal usul daerahnya. Mereka tidak dari Jabung, karena pemilik rumah kontrakan memakai syarat: “Menerima kontrakan yang bukan dari Jabung.”

Publik di luar Jabung, sesungguhnya, telah mengambil peran Tuhan. Mereka menghukum orang-orang dari Jabung seperti Tuhan menghukum ummat manusia. Padahal, kita tahu persis, semua ummat manusia lahir dengan kemurnian masing-masing. Tak ada anak-anak yang ingin dilahirkan di Jabung, tak ada pula dari mereka yang ingin Jabung terstigma terus-menerus.

Jadi, jika nama Jabung menjadi menyeramkan, itu karena pikiran kita sendiri. Kita membangun hal-hal menyeramkan untuk menakut-nakuti diri sendiri. Apa yang kita lakukan, mirip orang yang tak punya rasa percaya dri. Kita seperti penderita paranoia. Takut akan hal-hal yang sebetulnya kita ciptakan sendiri. Kita buat hantu, lalu kita takut akan hantu yang kita buat itu.

Dan, tentu, kita lebih mirip orang-orang rasis di luar negeri sana. Seperti orang-orang Amerika menghukum kulit hitam, kita pun menghukum generasi muda Jabung. Padahal, sebetulnya, kita sedang menghukum diri sendiri. Kita mengurung pikiran sendiri di dalam sungkup dan tidak bisa melepaskan diri.

Kita yang cetek, kentara kurang memahami nilai habblu minnanas dalam kehidupan sosial, dan karena itu kita sibuk menyalahkan orang-orang dari Jabung.