Hukum  

Jadi Ketua KONI, KPKAD Nilai Gubernur Ridho Ficardo dan Eva Dwiana Langgar Peraturan

Koordinator Presidium KPAD, Ansori, S.H
Koordinator Presidium KPAD, Ansori, S.H
Bagikan/Suka/Tweet:

Teraslampung.com — Komite Pemantau Kebijakan dan Anggaran Daerah (KPKAD) menilai terpilih dan dilantiknya Gubernur Lampung Ridho Ficardo sebagai Ketua KONI Lampung dan terpilihnya anggota DPRD Lampung Eva Dwiana sebagai Ketua KONI Bandarlampung melanggar aturan.

“Tahun 2015 KPKAD melakukan investigasi terkait proses terpilih dan dilantiknya Gubernur Lampung Bapak M. Ridho Ficardo sebagai Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Provinsi Lampung Periode 2015-2019, pada kenyataannya Ketua KONI Provinsi Lampung sudah dilantik pada tanggal 25 Agustus 2015. Selain Gubernur Lampung, ada juga Anggota DPRD Lampung (Ibu Eva Dwiana Herman HN) yang terpilih sebagai Ketua KONI Kota Bandar Lampung periode 2016 – 2020,” kata Koordinator Presidium KPAD, Ansori, S.H.,, dalam rilisnya, Jumat (1/1/2016)/

Menurut Ansori, peraturan yang dilanggar keduanya, antara lain, pertama, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional, yakni Pasal 40 yang menjelaskan bahwa: “ Pengurus Komite Olahraga Nasional, Komite Olahraga Provinsi, dan Komite Olahraga Kabupaten/Kota bersifat mandiri dan TIDAK TERIKAT DENGAN KEGIATAN JABATAN STRUKTURAL DANJABATAN PUBLIK.”

Kedia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Keolahragaan yakni Pasal 56 Ayat (1) dan Ayat (4) yang menjelaskan bahwa:
“Pengurus komite olahraga nasional, komite olahraga provinsi, dan komite olahraga kabupaten/kota bersifat mandiri dan tidak terikat dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan publik (Pasal 56 Ayat (1))”.

Pada Pasal 56 Ayat 4 PP itu disebutkan “Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang memegang suatu jabatan publik yang diperoleh melalui suatu proses pemilihan langsung oleh rakyat atau melalui pemilihan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, antara lain Presiden/Wakil Presiden dan para anggota kabinet, GUBERNUR/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, anggota DPR-RI, ANGGOTA DPRD, hakim agung, anggota Komisi Yudisial, Kapolri, dan Panglima TNI (Pasal 56 Ayat (4))”.

Ketiga, Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 800/148/sj 2012 tanggal 17 Januari 2012 tentang Larangan Perangkapan Jabatan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah pada Kepengurusan KONI, PSSI Daerah, Klub Sepakbola Profesional dan Amatir, serta Jabatan Publik dan Jabatan Struktural.

Keempat, Surat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No B-903 01-15/04/2011 tertanggal 4 April 2011 tentang hasil kajian KPK yang menemukan adanya rangkap jabatan pejabat publik pada penyelenggaraan keolahragaan di daerah sehingga dapat menimbulkan konflik kepentingan.

“Berkaitan dengan hal tersebut diatas, KPKAD menyampaikan laporan dugaaan pelanggaran peraturan oleh Gubernur Lampung (Ketua KONI Lampung) dan Anggota DPRD Lampung (Ketua KONI Bandar Lampung) secara resmi, untuk ditindaklanjuti serius dan bukan hanya sebatas himbauan atau desakan untuk mengndurkan diri saja, tetapi aksi nyata (eksekusi) dalam menertibkan pejabat birokrasi yang melanggar peraturan perundang-undangan. Laporan ini harus berlaku juga untuk seluruh Pejabat Publik di Indonesia yang menduduki jabatan sebagai Ketua dan Pengurus KONI pada saat ini,” kata Ansori.

Ansori mengatakan, seharusnya para pejabat melaksanakan apa yang sudah di atur oleh Pemerintah melalui Peraturan Perundang-undangan, bukan malah menabrak Peraturan tersebut dengan berbagai alasan.

“Ini sangat memalukan dan bahkan direspon negatif bahwa birokrat itu cenderung tak memahami aturan yang dibuatnya sendiri. Sejauh ini KPKAD menganggap bahwa tak ada kegentingan dan kepentingan yang mendesak terkait perlunya seorang pejabat untuk menduduki jabatan sebagai Ketua KON,” kata dia.

Menurut Ansori, pelanggaran sejumlah aturan oleh Gubernur Lampung (Bapak M. Ridho Ficardo) dan Anggota DPRD Lampung (Ibu Eva Dwiana Herman HN) dan Pejabat Publik lainnya se- Indonesia dalam kaitannya sebagai Ketua dan Pengurus KONI secara tidak langsung adalah “pembangkangan birokrasi atas Ketentuan Peraturan yang berlaku”.

“Itu sekaligua  upaya mencemooh dan meremehkan lembaga negara yang telah menerbitkan peraturan perundang-undangan terkait sistem keolahragaan nasional mulai dari DPR RI, Presiden, Menteri Dalam Negeri dan bahkan tak menganggap (tak perduli) lembaga anti rasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah menerbitkan surat hasil kajiannya atas Jabatan Ketua KONI yang dijabat oleh Pejabat Publik,” katanya.

Ansori menegaskan, jabatan Ketua dan Pengurus KONI yang disandang pejabat struktural dan pejabat publik adalah suatu bentuk penghinaan terhadap lembaga negara.

“Penghinaan ini cukup memalukan karena rakyat lebih peka dan perduli atas aturan yang dibuat oleh pemimpinnya dibandingkan aparatnya sendiri,” tandasnya.