Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Pagi itu saya mempersiapkan diri untuk melanjutkan sosialisasi masalah pendidikan generasi Alpha kepada para orang tua di salah satu SMA. Karena lokasi daerah sasaran kali ini berada di wilayah perbatasan provinsi, maka diputuskan untuk satu hari sebelum pelaksanaan sudah berangkat. Mengingat usia yang sudah tidak muda lagi, untuk menjaga kesehatan diputuskan harus menginap di wilayah yang tidak terlalu jauh dari lokasi kegiatan. Berdasarkan petunjuk dan kebaikan dari pimpinan kecamatan, ditemukan tempat menginap yang dibutuhkan.
Dari segi jarak geografis, tempat menginap itu cukup dekat. Namun karena sarana jalan raya yang hancur lebur bagai sungai kering, maka kendaraan hanya bisa melaju lima kilometer per jam. Itu pun menjadi seru jika berpapasan dengan kendaraan lain yang lebih besar; maka kita yang berkendaraan kecil harus mengalah.
Waktu masyarakat setempat ditanya soal jalan yang rusak parah, mereka mengaku bahwa selama periode kepemimpinan lalu dan sebelumnya, jalan ini tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah. Karena status jalan ini adalah jalan provinsi, maka dana masyarakat yang ada menurut mereka tidak diperkenankan untuk perbaikan. Jadilah jalan kubangan kerbau ini menjadi jalan tak bertuan sampai sekarang.
Perjalanan ini diniatkan untuk beribadah dan berbagi. Meskipun secara geografis wilayahnya jauh, namun secara spiritual daerah itu sangat dekat. Dalam konteks budaya Jawa kegiatan ini sekaligus sedang melakukan kontemplasi diri untuk jajah desa milang kori.
Jajah desa milang kori adalah ungkapan Jawa yang terdiri dari beberapa kata dengan arti spesifik. Jajah artinya menjelajah, berkeliling, atau melakukan perjalanan. Desa merujuk pada wilayah pedesaan atau kampung. Milang berarti melewati atau melintasi. Sedangkan kori berarti pintu atau pintu gerbang.
Secara harfiah jajah deso milang kori berarti menjelajahi desa selayaknya menghitung pintu-pintu (penduduk). Frasa jajah desa milang kori bisa dimaknai sebagai berkeliling desa untuk mencari pengalaman dan pengetahuan.
Jajah desa milang kori dalam budaya Jawa mencakup filosofi mendalam tentang perjalanan hidup yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga spiritual dan intelektual. Secara harfiah, frasa ini bisa diterjemahkan sebagai “menjelajahi desa dan melewati gerbang-gerbang,” yang menggambarkan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, baik dalam konteks geografis maupun simbolis.
Secara hakikat, konsep ini mengandung beberapa makna penting. Pertama, pencarian ilmu dan pengalaman hidup. Jajah desa milang kori melambangkan perjalanan seseorang untuk memperoleh pengetahuan, wawasan, dan pengalaman baru. Dalam konteks ini, seseorang tidak hanya bepergian secara fisik dari satu desa ke desa lain, tetapi juga secara mental dan spiritual mencari makna kehidupan.
Kedua, menghargai keanekaragaman budaya dan kearifan lokal. Setiap desa atau tempat yang dikunjungi memiliki adat, budaya, dan kearifan lokalnya masing-masing. Perjalanan ini mengajarkan untuk menghargai dan memahami keragaman dalam masyarakat. Setiap “kori” (gerbang) yang dilewati adalah simbol dari pintu baru yang membuka wawasan dan pemahaman.
Ketiga, perjalanan spiritual dan peningkatan diri. Dalam filsafat Jawa, perjalanan fisik sering kali merupakan cerminan dari perjalanan batin. “Jajah deso milang kori” juga bisa dimaknai sebagai usaha untuk mengenali dan meningkatkan diri, melalui refleksi atas pengalaman yang didapatkan selama perjalanan.
Keempat, kesabaran dan ketekunan. Menjelajahi desa-desa dengan berbagai tantangan membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Ini mencerminkan perjalanan hidup yang penuh dengan rintangan, tetapi dengan tekad dan keuletan, seseorang dapat memperoleh kebijaksanaan dan kedewasaan.
Secara keseluruhan, jajah desa milang kori adalah simbol perjalanan yang mengajarkan tentang pentingnya keterbukaan terhadap pengalaman baru, pengetahuan, dan introspeksi diri, yang membawa pada pemahaman yang lebih luas tentang hakekat kehidupan.
Saat melakukan perjalanan jajah desa milang kori ada beberapa hal penting yang harus kita perhatikan agar perjalanan tersebut bermanfaat, bermakna, dan tetap menghormati nilai-nilai yang dipegang dalam tradisi. Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan:
Pertama, memiliki niat yang baik. Niat dalam “jajah deso milang kori” harus murni untuk belajar, mencari pengalaman, serta membuka wawasan baru, bukan sekadar wisata. Penting untuk selalu mengingat bahwa perjalanan ini adalah proses pencarian ilmu, kebijaksanaan, dan peningkatan diri.
Kedua, menghormati adat dan tradisi setempat. Setiap desa atau komunitas yang dikunjungi memiliki tradisi, adat, dan budaya yang khas. Menghormati dan mematuhi tata krama serta aturan lokal adalah hal yang sangat penting. Jangan memaksakan cara hidup atau budaya sendiri kepada orang lain. Sebaiknya lakukan observasi sebelum mengambil tindakan, termasuk dalam berpakaian, bertutur kata, dan berperilaku, agar tidak menyinggung penduduk setempat.
Ketiga, terbuka untuk belajar dan mengamati. Prinsip jajah deso milang kori adalah belajar dari apa yang ditemui selama perjalanan. Selalu terbuka untuk belajar dari siapa saja, dari tradisi, alam, hingga cerita rakyat lokal. Sikap terbuka dan rendah hati akan membantu menyerap kearifan lokal.
Keempat, tidak mengganggu keseimbangan alam. Dalam banyak tradisi lokal, hubungan antara manusia dan alam sangat dihormati. Penting untuk menjaga lingkungan selama perjalanan, tidak merusak alam, serta menghormati tempat-tempat yang dianggap sakral atau memiliki makna spiritual oleh masyarakat setempat. Menjaga kebersihan dan tidak meninggalkan sampah adalah bagian dari menghormati keseimbangan alam.
Kelima, sopan dan rendah hati. Selama perjalanan, sikap sopan santun dan rendah hati harus selalu dijaga. Bersikap ramah kepada penduduk lokal dan siap mendengarkan serta belajar dari mereka. Hindari sikap sombong atau merasa lebih tahu, karena esensi perjalanan ini adalah untuk belajar dan merendahkan hati.
Keenam, bersikap sabar dan tenang. Perjalanan “jajah deso milang kori” sering kali tidak mudah dan penuh tantangan. Penting untuk bersabar dan tenang dalam menghadapi segala rintangan, baik itu kondisi jalan, cuaca, atau bahkan dinamika sosial yang berbeda dari biasanya. Sikap tenang juga mencerminkan kematangan spiritual dalam menghadapi berbagai situasi.
Ketujuh, melakukan refleksi diri. Jajah desa milang kori tidak hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual. Setelah setiap pengalaman, luangkan waktu untuk merenung dan refleksi diri. Hal ini penting untuk memahami pelajaran yang didapat dari setiap tempat yang dikunjungi. Refleksi diri membantu menyaring pengalaman dan kearifan yang bisa diterapkan dalam kehidupan pribadi.
Kedelapan, berkontribusi positif kepada komunitas lokal. Jika memungkinkan, berikan kontribusi yang positif kepada komunitas lokal. Ini bisa berupa berbagi ilmu, membantu dalam aktivitas masyarakat, atau sekadar menghargai usaha mereka dengan membeli produk lokal. Tindakan ini akan menciptakan hubungan timbal balik yang baik antara pengunjung dan penduduk setempat.
Kesembilan, menghargai waktu dan momen. Dalam perjalanan ini, setiap momen memiliki maknanya tersendiri. Menghargai waktu berarti tidak terburu-buru dalam menjalani perjalanan. Berikan waktu untuk benar-benar menyerap suasana, pengalaman, dan pelajaran yang ditawarkan oleh setiap tempat. Berjalan dengan kesadaran penuh, menikmati setiap langkah dan interaksi yang terjadi.
Kesepuluh, menjaga keamanan dan kesehatan. Meskipun perjalanan ini berfokus pada pencarian ilmu dan kebijaksanaan, aspek fisik juga harus diperhatikan. Pastikan bahwa kondisi kesehatan dalam keadaan baik sebelum memulai perjalanan, dan selalu siap menghadapi situasi yang mungkin menantang. Selain itu, menjaga keamanan pribadi dan menghormati batas-batas wilayah yang mungkin memiliki aturan khusus juga sangat penting.
Kesebelas, berdoa dan berserah diri. Dalam banyak tradisi, doa dan spiritualitas memainkan peran penting dalam setiap perjalanan. Sebelum memulai perjalanan, penting untuk berdoa dan memohon perlindungan kepada Tuhan, serta berserah diri dalam perjalanan.
Dengan memperhatikan hal-hal di atas, perjalanan “jajah deso milang kori” dapat menjadi pengalaman spiritual yang penuh makna, tidak hanya sebagai sarana untuk mengenal lebih jauh budaya dan kehidupan masyarakat lain, tetapi juga sebagai cara untuk memperdalam pemahaman tentang diri sendiri dan kehidupan secara umum.