Jalan (tak) Mulus

Bagikan/Suka/Tweet:

Jauhari Zailani

Kalau ingin melihat kualitas pemerintah daerah, lihatlah jalan di daerah
itu. Karena kualitas jalan mencerminkan kualitas pemimpin, birokrasi dan aparat
pemerintahnya. Pernyataan ini disertai argument yang sangat sederhana. Ilmu
membangun jalan, dahulu dan kini, relative tetap. Perubahan kecil pada
komposisi bahan, dari aspal ke semen, tetapi secara umum, aspal masih dominan.
Begitu juga perubahan pada alat yang dipergunakan, teknik mencampur dan alat menabur
bahan seperti aspal pasir dan koral.

Dulu, jalan dibuat memperhatikan sifat air yang selalu mengalir ke tempat
yang lebih rendah. Tengah bahu badan jalan lebih tinggi dari bibir jalan,
sehingga ketika hujan air tak ada yang tergenang. Air mengalir lancar ke siring
pada kanan dan kiri jalan. Setiap orang awam mengetahui struktur dan tahap
membangun jalan seperti itu dengan logika sederhana. Kini, jalan mulus menjadi
impian rakyat. Sama seperti rakyat memimpikan pemimpin yang berkualitas.
Karena, kualitas jalan dihubungkan dengan perilaku aparatur pemerintah, dan
pemimpinnya.

Kepala daerah yang cerdas

Untuk menengok anak di Yogya, tanpa sengaja saya melakukan studi banding,
maaf saya meniru anggota dewan. Sepanjang perjalanan, saya menyadari tingkat
kritis dan mobilitas rakyat kian tinggi paralel dengan meningkatnya kemakmuran
ekonomi dan kesadaran politik. Dalam bis ke Bakauheni, saya menjadi pendengar
yang baik. Aneka komentar dan umpatan ketika bis bergoncang oleh lobang di
sepanjang jalan ditujukan pada pemborong dan pemerintah serta pemimpinnya.
Kini, rakyat seperti saya, dengan mudah membandingkan pemerintah daerah yang
satu dengan daerah yang lain, dengan membandingkan kualitas jalan.

Yogya menjadi rujukan tulisan ini, sebagai hasil studi banding tersebut.
Kesimpulan saya: orang Yogya bangga dengan Sultan yang dengan cermat membangun
ring road sejak 30 tahun yang lalu. Dengan jalan lingkar itu, kendaraan lintas
Jakarta-Surabaya, misalnya, tak perlu masuk kota Yogya. Sehingga jalan-jalan di
kota Yogya hanya di pergunakan oleh warganya, atau orang yang betul-betul perlu
di kota.

Yogya kini, meski menjadi tujuan wisata yang padat ketika liburan sekolah,
jalan tak pernah macet dan tak pernah banjir. Anak-anak muda bermotor, masih
bisa bersantai dan bersenda gurau di jalan raya. Begitu juga becak, kereta
kuda, dan sepeda masih nyaman melintas di sepanjang jalan kota Yogya.

Pemimpin dan rakyat Yogya sadar dan tahu, jalan akan memperlancar derak
ekonomi rakyat. Hasil buah Salak di Sleman dapat dengan mudah di jual ke kota
seperti Jakarta, bahkan di Lampung. Hasil kerajinan rakyat di desa dengan mudah
dapat dikirim ke pasar Beringharjo atau Klewer di Solo. Jalan yang mulus hingga
ke desa membuat harga murah barang buatan kota dan desanya. Sore hari, orang desa
dengan mudah dan riang membawa anak-anaknya ke kota dan pusat-pusat wisata.

Memang pada era otonomi daerah, kepala daerah yang cerdas, akan membangun dan
memeilhara jalan dengan baik. Karena ia tak ingin dianggap bodoh oleh rakyat,
atau tak ingin ia dianggap telah membodohi rakyatnya. Ini jelas menunjukkan
kualitas pemimpin di daerah tersebut. Yang dimaksud cerdas, adalah cerdas
sosial dan cerdas politik.

Jalan rusak, perbaiki mental aparat

Kini ketika sampai di Lampung, saya memperhatikan jalan yang rusak telah
sampai di depan rumah kita. Setiap hari kita menyaksikan rakyat mengeluh:
membaca dan melihat foto di surat kabar, mendengar keluhan di radio dan
televisi.

Suatu hari saya menyaksikan di televisi: DPRD reses, anggota Dewan bertemu
konstituennya. Kepada anggota dewan, warga mengeluhkan soal Pendidikan dan
kesehatan yang kian mahal, pupuk yang langka dan mahal, dan tentu saja: jalan
yang rusak. Berbagai Jawaban normatif diberikan oleh anggota dewan “tentang
kewenangan dan kelas jalan”. Jalan nasional, ditangani pemerintah pusat.
Pemerintah Lampung mengurusi jalan provinsi, dan kabupaten mengurusi jalan
kabupaten.

Dengan getir salah seorang warga bertanya: “Apakah di PU (Dinas Pekerjaan Umum) tidak ada orang yang pinter Pak, masak membangun jalan saja
tidak bisa”?. Dalam dialog tersebut, anggota Dewan dan rakyat sepakat bahwa
sumbernya bukan pada soal kemampuan. Karena banyak orang pandai di Pemda dan
khususnya Dinas PU.

Tetapi, masalahnya adalah soal praktik korupsi yang terang benderang. Karena
itu, jalan dibangun dengan dana kurang dari setengah dari dana yang telah
dianggarkan. Artinya, kalau jalan dibiayai satu milyar, setelah dipotong dan di
sunat para petugas aparatur, pemborong harus bekerja dengan dana kurang dari
lima ratus juta. Kalau pemborongnya ambil untung sepuluh persen, dana yang
dipakai untuk membangun jalan hanya empat puluh persen. Oleh karena itu yang
nampak oleh rakyat, adalah kebodohan aparat. Aparat dianggap bodoh, karena
tidak mampu membuat mulus jalan-jalan di daerahnya.

Mendengar penjelasan getir tersebut, sang penanya meninggalkan ruang
pertemuan seraya menggerutu. Melihat gelagat itu, sang tokoh di Natar yang
menjadi salah satu sumber dalam pertemuan tersebut berucap datar dan getir:
“…kalau begitu, jalan yang rusak, tidak perlu diperbaiki. Karena perbaikan itu
hanya menguntungkan kaum koruptor yang bersarang di DPRD dan di Pemda. Yang
perlu diperbaiki adalah, orang-orang yang menyebabkan jalan itu mudah dan cepat
rusak”. Tokoh cerdas dan arif itu adalah Eka Suwandi, ketua Kemitraan Natar.
Salam

Baca Juga: Tujuh Tahun Jalan Tirtayasa Rusak Parah
Baca Juga: Dua Kali Oedin Ditampar Jokowi
Baca Juga: Jalan Ambarawa dan Pardasuka Rusak