Arham Kendari
Beberapa waktu lalu, anak saya genap berusia 4 tahun. Sebenarnya sejak kecil saya sudah dididik oleh orang tua untuk tidak menganggap ulang tahun sebagai sesuatu yang sakral dan perlu dirayakan besar-besaran, mengingat waktu saya kecil dulu keluarga kami memang bukan tergolong keluarga yang mengalami keberuntungan dalam hal finansial *buset, mau bilang kere aja susah banget*
Atas dasar itu, maka saya juga ingin menanamkan pada anak saya hasil didikan kakek-neneknya. Ini bukan masalah pelit, tapi masalah prinsip. Beda loh yah? *ngeles.com*
Pada tahun-tahun sebelumnya, rasanya cukup bagi saya mengajak anak saya makan-makan di luar atau rekreasi ke tempat wisata. Gak ada perayaan yang mengharuskan mengundang teman ataupun kewajiban memberi hadiah spesial. Tapi dasar anak-anak, akibat pergaulan dan mungkin keseringan mendapat undangan ulang tahun dari teman-teman sepermainannya, maka proteslah ia pada hari jadinya yang sekarang. Karena gak ingin dicap sebagai orang tua yang egois, ya pikir saya gak apa-apalah sekali ini saja memanjakan anak dengan tawaran hadiah.
Saat iseng-iseng basa-basi bertanya apa hadiah spesial yang kira-kira ia inginkan? “RANJANG HELLO KITTY..!” pekiknya langsung tanpa kompromi. Mampus dah, terbersit rasa sesal sudah berbasa-basi dengan anak-anak. Padahal saya berharap ia menjawab sepeda, baju, atau apalah kira-kira yang masih sepadan dengan pendapatan karyawan kelas sudra.
Gak kehabisan akal, saya coba tawar-tawaran dulu, mengajaknya bermain dalam sebuah permainan iseng, di mana saya akan menyanggupi permintaannya dengan syarat dan ketentuan berlaku.
Dengan berlagak Roro Jonggrang pada Bandung Bondowoso, saya memberi syarat padanya, harus mengumpulkan 500 jempol Facebook untuk menukarnya dengan hadiah tertinggi yang ia inginkan. Apakah saya tega? Ah, nggak juga. Saya pikir ini masih dalam batas wajar. Untuk mendapatkan sesuatu, ya harus ada usaha dulu dong. Saya memang menyayangi anak saya dengan cara yang gak mainstream. Lagi pula ia menyanggupi tantangan yang saya tawarkan.
Sebenarnya saya sengaja mengambil standar 500 jempol, mengingat dalam sejarah saya Facebook-an belum pernah sekalipun mendapat 500 jempol dalam sebuah postingan. Paling banyak ya 200-an lah. Jadi saya pun santai-santai saja. Hihihi… *ketawa licik*
Hingga akhirnya terposting-lah foto berikut ini di laman Facebook saya, sehari sebelum ulang tahunnya.
Di luar dugaan, postingan ini jadi viral dan membentuk jaringan yang luar biasa cepat persebarannya. Bahkan ada seorang kawan yang iseng membagikan foto ini ke grup facebook Room For Children. Saya menduga andil member di grup inilah hingga postingan itu mendapatkan donasi jempol yang terus beranak-pinak.
Hingga postingan ini saya tulis, jumlah jempol terus mengalir hingga mencapai 1.315, hampir tiga kali lipat dari standar tinggi yang saya tawarkan, padahal hari ulang tahunnya sudah lewat. Saat foto itu saya perlihatkan, anak saya tersenyum puas, dan saya juga ikut tersenyum, tapi lemas.
Esok harinya, demi menjaga pencitraan sebagai bapak yang keren, saya menguras isi ATM dengan tangan yang gemetar, dan mengajaknya ziarah ke toko furniture. Hiks..
Dan seperti di foto bawah inilah endingnya.