Opini  

Jejak Sejarah Gunung Anak Krakatau

Semburan vulkanik Gunung Anak Krakatau (dok)
Bagikan/Suka/Tweet:

M. Arman AZ

Pada 27 Agustus 1883, Gunung Krakatau meletus. Konon, dari sejumlah sumber, daya ledaknya ratusan hingga ribuan kali lipat dari daya ledak bom atom yang melantakkan Hiroshima. Letusannya terdengar hingga ribuan mil, disusul gempa dan tsunami, menelan korban sekitar 36 ribu jiwa. Dampak letusan yang sungguh dahsyat itu, membuat mata dunia tertuju ke Selat Sunda.

Lebih seabad kemudian, Lampung menghelat Festival Krakatau, semacam legitimasi bahwa Krakatau adalah bagian Provinsi Lampung. Beragam acara di gelar; selain bertujuan menarik wisatawan domestik dan mancanegara agar mengunjungi Krakatau, juga menikmati khasanah seni budaya Lampung. Tahun ini, untuk ke sekian kalinya FK digelar. Penyelenggara FK tentu merasa kegiatan ini selalu sukses. Sementara sejumlah kalangan mengkritisi even itu stagnan, cenderung seremonial belaka, dan kualitasnya merosot dari tahun ke tahun.

Di luar pro kontra itu, saya tertarik menyoroti hal-hal yang diabaikan atau ditelantarkan oleh Lampung. Sebagian justru lebih banyak diapresiasi oleh orang luar Lampung.

Dari aspek nautika, kapal uap Berouw berselancar di atas tsunami
Krakatau lalu nyungsep di sekitar Sumur Putri atau Kali Akar di Telukbetung. Banyak asumsi sejak tahun 80-an tidak ada lagi peninggalan kapal itu karena telah dipereteli. Sebenarnya masih ada yang tersisa dari Berouw, yaitu semacam tuas. Benda berat ini terongok di tanah milik penduduk; untuk menuju ke sana hanya bisa dilalui motor. Bisa juga menyeberangi sungai kecil di belakang kantor PDAM Telukbetung.

Menurut pemilik lahan tempat tuas itu berada, sekian kali FK diadakan, belum pernah ada rombongan pejabat plus turis melihat langsung benda itu. Nasib tuas itu menjadi ironi. Sekian kali FK digelar, ada sebuah tempat di mana terongok bukti sejarah letusan Krakatau namun terlantar, sepi publikasi, apalagi
disambangi. Sebagai bukti sejarah, alangkah baiknya pemerintah memagari tuas itu dan menjamin takkan raib dari tempatnya.

Dari aspek fotografi, ada puluhan bahkan mungkin ratusan foto hitam putih mengenai Krakatau di berbagai web luar negeri (terutama Belanda), yang bisa diunduh dan dipamerkan saat FK. Mungkin sebagian masyarakat Lampung telah mengoleksinya.

Dari aspek literasi (sastra dan non-sastra) juga banyak sekali. Kita sudah tahu ihwal Syair Lampung Karam, puisi karya Muhammad Saleh yang telah diteliti oleh Suryadi Sunuri dan diterbitkan oleh penerbit dari Padang beberapa tahun lalu. Namun sedikit yang tahu bahwa ada pula puisi berjudul St Telemachus dibuat Alfred Tennyson, penyair Eropa yang terinspirasi dari perubahan atmosfir dan iklim di Eropa setelah Krakatau meletus.

Banyak buku karya penulis luar negeri yang membahas Krakatau. Salah satu yang terkenal adalah Krakatoa: The Day the World Exploded: August 27, 1883karya Simon Winchester. Buku yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa ini mengulas Krakatau dari berbagai perspektif; pra hingga pasca letusan, vegetasi di Krakatau, hingga mayat yang terapung di lautan dan ditemukan di Zanzibar setahun setelah ledakan.

Buku-buku lain tentang Krakatau, misalnya Krakatoa (Rupert Furneaux, 224 hlm, 1964), World Disasters: Krakatoa (Don Nardo dan Brian McGovern, 64 hlm, 1990), Krakatau, 1883 – the volcanic eruption and its effects (Tom Simkin, Richard S. Fiske, 464 hlm, 1983) Krakatau: The Destruction and Reassembly of an Island Ecosystem (Ian W. B. Thornton, 346 hlm, 1997), Krakatau (Ch. E. Stehn, Willem Marius van Leeuwen, Karl Willem Dammermann, 118 hlm, 1929) dan lain sebagainya. Para penulis itu secara tidak langsung telah mempromosikan Krakatau ke seluruh dunia.

 Ada pula sebuah novel “Dewi Krakatau” karya Zam Nuldyn (1922-1988) yang diterbitkan Dep. P & K tahun 1976. Zam adalah penulis dan komikus dari Medan. Buku ini mungkin bisa diterbitkan ulang. Bahkan Ronggowarsito dalam kitabnya, jauh sebelum Krakatau meletus, pernah menyebut Gunung Kapi (versi
lain menyebutnya Gunung Batuwara). Sejumlah peneliti dan pengamat berasumsi bahwa nama keduanya merujuk kepada Krakatau.

Dari aspek sinema, tahun 1976, Malaysia telah membuat film klasik berjudul “Lampung Karam”. Saya menengarai film ini adalah alih wahana dari teks Syair Lampung Karam. Ada juga beberapa film fiksi dan dokumenter, seperti “Krakatoa, West of Java”, “Krakatoa, the last days”, dan beberapa film lain. Masih banyak aspek tentang Krakatau yang belum tentu diketahui publik domestik atau mancanegara, dan itu bisa digali dan diekspos. Kata Krakatau atau Krakatoa telah berkembang, diberdayakan menjadi sekian banyak hal sesuai kepentingan penggunanya; mulai dari grup musik, software komputer, hingga nama sebuah cafe di California, dan lain sebagainya.

Selain menggelar FK tiap tahun, nampaknya perlu juga mendokumentasikan dan merevitalisasi seluruh aspek yang berkaitan dengan Krakatau (buku, jurnal, foto, surat, film, karya seni, dan sebagainya) yang selama ini belum banyak diketahui publik. Benda-benda itu bisa dikumpulkan dalam semacam museum (merujuk Museum Merapi di Yogya). Seyogyanya instansi yang berkompeten dengan FK mengoleksi seluruh ihwal sekaitan Krakatau yang dibeber di atas. Itu bisa menjadi konsumsi informasi bagi turis yang ingin tahu lebih jauh tentang
Krakatau. Entah jika semua ihwal yang dibeber di atas, dianggap remeh-temeh belaka.

Tulisan ini bermaksud mengingatkan bahwasannya masih banyak aspek lain dari Krakatau yang belum diketahui, belum diekspos dan diberdayakan. Jika ingin mengangkat potensi Krakatau, jangan setengah hati, jangan pula menjadi sekadar kegiatan rutin belaka. Apa harus melulu pihak-pihak dari luar Lampung yang
berinisiatif melakukannya? Atau, apatah harus menunggu Anak Krakatau meledak kembali untuk tergerak melakukan sesuatu yang lebih intens sekaitan Krakatau?