TERASLAMPUNG.COM, BANDARLAMPUNG — Indonesia terancam kehilangan pasar di Jepang. Pasalnya sejak September 2021, pemerintah Jepang mendekteksi adanya kandungan kimia isoprocarb pada kopi Indonesia melebihi batas 0,01 ppm dan menyebabkan Indonesia terancam kehilangan devisa sebesar US$36 juta.
Gabungan Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI) menyebutkan, jumlah kontainer kopi Indonesia yang ditolak negara Jepang bertambah. Pihak importIr Jepang mulai melakukan pengecekan sAmpel dan mendeteksi isoprocrarb melebihi batas MRL (maximum residue limit) 0,01 ppm.
Karena banyaknya kopi Indonesia terdeteksi mengandung isoprocrarb melebihi ambang batas, akibatnya sejak awal 2022 importir negera Jepang mulai menghentikan pembelian kopi Indonesia. Bahkan enduser dan industri di Jepang, berencana mengubah formulasimereka untuk mengganti kopi Indonesia dengan kopi Vietnam.
Ketua Umum Gabungan Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI), Hutama Sugandhi mengatakan, statistik ekspor kopi ke negara Jepang tahun 2022 tidak terlihat turun drastis, karena pengiriman tahun ini (2022) merupakan hasil penjualan tahun 2021 lalu.
“Sejak Januari hingga sekarang, pihak Jepang sudah tidak lagi membeli kopi Indonesia khususnya kopi robusta dari Lampung. Sehingga dampak penurunan ekspor kopi ini, akan terlihat tahun depan,”kata dia dalam keterangan tertulisnya yang diterima teraslampung.com, Senin (31/10).
Hutama menyebutkan, pada tahun 2023 mendatang, ekspor kopi pastinya akan turun drastis mencapai 50 persen bahkan lebih. Dengan demikian, Indonesia akan merugi lantaran volume ekspor kopi yang hilang itu mencapai lebih dari 18 ribu matrik ton atau minimal senilai US$36 juta.
“Pemerintah Indonesia harus bergerak cepat, kalau November mendatang masih belum bisa berjualan kopi karena masalah isoprocrarb, pasar kita di Jepang akan diserobot Vietnam. Kemungkinan industri-industri di Jepang, menggantikan formulasi mereka,”ungkapnya.
Jika Jepang menggantikan formulasi dengan kopi Vietnam, kata Hutama, maka kopi Indonesia benar-benar akan kehilangan pasar di negara Jepang. Usaha mempromosikan kopi Indonesia selama puluhan tahun tentunya akan sia-sia, dan untuk mendapatkan lagi di pasar Jepang tentunya tidaklah mudah.
Ia juga mengungkapkan, tidak adanya instansi atau asosiasi kopi di Jepang yang melakukan studi dan mendaftarkan isoprocrarb ini ke pemerintahan negara itu sendiri, khusunya pihak MHLW (Ministry of Health Labor and Welfare). Maka dari itu, MHLW belum menentukan dan memasukkan isoprocrarb kedalam negativ list. Karena isoprocrarb masuk kedalam negativ list, MHLW menggunakan MRL terendah yakni 0,01 ppm.
“Namun anehnya untuk kimia yang sama, isoprocrarb telah dimasukkan ke dalam positiv list oleh MHLW dengan MRL 0,5 ppm dalam hal komoditas beras merah atau brownrice, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan MRL untuk kopi,”terangnya.
Ia menambahkan, untuk mencegah pemakaian isoprocrarb sebagai pestisida pembasmi semut, pihak karantina bersama perkebunan dan dinas-dinas atau instansi di Provinsi, bekerja keras melakukan korektifaction untuk mengedukasi para petani kopi di Indonesia khususnya di Provinsi Lampung. Ini merupakan upaya jangka menegah dan panjang, dan tentunya memerlukan waktu lama.
Oleh karena itu, lanjut Hutama, saat ini kami (GAEKI) meminta bantuan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan agar dapat melobi dan menegosiasikan hal tersebut dengan Kementerian Kesehatan, TengaKerja dan Sosial (MHLW) Jepang secara diplomatic agar kiranya dapat meringankan MRL isoprocrarb kopi Indonesia.
“Kami berharap, Jepang dapat merilis kopi Indonesia yang sudah berada disana (Jepang) yang terdapat MRL dibawah 0,1 ppm atau 0,5 ppm mengikuti MRL beras merah guna memperlancar perdagangan kopi antara Indonesia-Jepang,”pungkasnya.
Zainal Asikin