Opini  

Jepretan Terhangat Perekonomian Indonesia: Antara Fakta dan Hoaxes[1]

Faisal Basri
Bagikan/Suka/Tweet:

Faisal Basri[2]

Prolog: Jati Diri Bangsa

Pada abad kedua Masehi, warga Nusantau—begitu sebutan untuk Nusantara kala itu—sudah menjejakkan kaki di benua Afrika dengan kapal dan sistem navigasi buatan sendiri. Budaya maritim telah lama bersemayam kokoh di bumi Pertiwi. sebagaimana semboyan “nenek  moyangku seorang pelaut” dinyanyikan sejak masa kanak-kanak. Kejayaan Sriwijaya pada abad IX dan Majapahit pada abad XIV karena menjadikan laut sebagai tulang punggung, bukan memunggungi laut. Kedua kerajaan itu memiliki armada laut yang mumpuni. Kerajaan Majapahit memiliki ratusan kapal dagang dan militer. Salah satu yang melegenda adalah jenis Jong Jawa atau Jung Melayu yang pada masa itu didapuk sebagai salah satu kapal terbesar di dunia, sekitar empat sampai lima kali lebih besar dari kapal terbesar milik Portugis, Flor de La Mar, yang berkapasitas 500 orang pasukan dan 50 buah meriam.[3] Kekuatan lautlah yang membuat kerajaan-kerajaan di Nusantara disegani di Samudera Hindia dan kekuasaannya menancap hingga wilayah Asia Tenggara.

Bangsa kita menggunakan istilah tanah air untuk tumpah darahnya, bukan padanan dari motherland atau homeland. Lautlah yang mempersatukan Indonesia, merajut gugusan 17.508 pulau membentuk untaian zamrud khatulistiwa. Dengan garis pantai 54.716 kilometer, terpanjang kedua di dunia,[4]Tuhan mengaruniai bangsa Indonesia hamparan bebas hambatan tak berbayar, tidak perlu diaspal atau dibeton, tidak perlu tiang pancang dan alat berat, serta tidak membutuhkan pembebasan lahan.

Ketika membuka National Maritime Convention I (NMC) 1963, Presiden Soekarno dengan lantang mengatakan, “Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan national building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan kita harus menguasai armada yang seimbang.”

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, budaya maritim melekat pada Bangsa kita walau telah sedikit memudar. Keniscayaan ini sejatinya merupakan modal fisik, modal sosial, dan modal budaya yang bisa bertransformasi menjadi modal finansial untuk menyejahterakan rakyat. Kekayaan laut kita lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan protein rakyatnya, beragam sumber daya alam dan mineral tertanam di dalamnya, keberagaman hayati yang tak tertandingi, serta keindahan pantai dan dasar lautnya mengudang jutaan wisatawan setiap tahun.

Bangsa maritim hanya mengenal batas adalah cakrawala. Tidak kebetulan kalau dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum: “….dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,” Itu manifestasi dari semangat keterbukaan bangsa maritim.

Pengantar

Salah satu konsekuensi hadirnya demokrasi di suatu negara adalah keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat. Siapa saja seakan boleh bicara apa saja sesuka hati. Padahal di alam demokrasi atau bukan, prinsip-prinsip kepatutan tetap berlaku. Siapa saja memang boleh bicara apa saja, sejauh hal itu didukung oleh fakta dan data. Apalagi kalau pendapat itu disampaikan kepada publik. Demokrasi tanpa menghargai tatanan sosial (social order), bukanlah true democracy, karena kita akan berada “on the dark side of democracy.”

Bahwa mengumbar kebohongan dan perang omong kosong serta fitnah dalam kontestasi politik sudah kian menjadi-jadi belakangan ini—termasuk di negara yang mengaku sebagai kampiun demokrasi—hendaknya tidak menjadi pembenaran bahwa hal itu memang boleh dilakukan atau suatu kewajaran di era post-truth. Jika kita menganggap wajar lalu pasrah menerimanya dan oleh karena itu harus menyesuaikan diri dengan realitas baru itu, maka sesungguhnya kita sedang membiarkan terjadi pengeroposan dalam sendi-sendi bermasyarakat dan bernegara. Membiarkan bias kognitif merajalela sama saja dengan meredupkan kewargaan (citizenry) yang lambat laun mengikis peradaban. Manusia beradab adalah manusia yang memelihara free will-nya dalam bingkai tatanan sosial; jika tidak, maka kita sudah menurunkan harkat dan martabat kita sendiri.

Di tengah berlangsungnya kampanye terbuka untuk pemilihan serentak 17 April mendatang, setiap pihak berusaha menguasai opini masyarakat. Bagi yang mendukung pemerintah, akan dikesankan bahwa semua yang sudah dilakukan benar adanya, dan karena itu harus dipertahankan. Sebaliknya bagi yang mengambil posisi berseberangan akan mengatakan semua yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak ada yang benar, oleh sebab itu harus diganti dengan yang lain. Apakah penggantinya lebih baik atau tidak, itu soal lain yang bisa diperdebatkan kemudian.

Siapa pun boleh memilih apa atau siapa yang diinginkannya. Namun adalah keliru kalau kita boleh percaya begitu saja dengan hal-hal yang disampaikan masing-masing pihak tanpa memeriksa kebenarannya (fact check). Kita semua, apalagi yang merasa diri berpendidikan, kiranya perlu memahami isu-isu yang terlontar dalam perang opini yang dangkal, sebelum mengambil sikap untuk memercayai atau menolaknya. Landasannya tentu saja adalah fakta dan data yang ada. Kalau kita yang mengaku berpendidikan saja mudah terombang-ambing, apatah lagi khalayak umum yang kebanyakan masih berpendidikan rendah. Jadi, terlepas dari pilihan dan preferensi pribadi, kita tetap harus selalu menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebenaran ilmiah.

Politik identitas yang memecah belah bangsa merupakan bentuk perbuatan politik destruktif sebagaimana diingatkan oleh Amartya Sen dalam bukunya The Idea of Justice.Sen mengatakan: “The increasing tendency towards seeing people in terms of one dominant ‘identity’ (‘this is your duty as an American’, ‘you must commit these acts as a Muslim’, or ‘as a Chinese you should give priority to this national engagement’) is not only an imposition of an external and arbitrary priority, but also the denial of an important liberty of a person who can decide on their respective loyalties to different groups (to all of which he or she belongs). Lebih jauh Sen mengatakan: “The notion of human right builds on our shared humanity. These rights are not derived from the citizenship of any country, or the membership of any nation, but are presumed to be claims or entitlements of every human being. They differ, therefore, from constitutionally created rights guaranteed for specific people. Dengan demikian, seseorang yang hendak menjadikan dirinya seorang pemimpin harus dapat membuktikan terlebih dahulu bahwa dirinya bukan pelanggar hak asasi manusia.

Ada sejumlah topik hangat yang mengemuka dalam perang opini belakangan ini. Mari kita simak secara jernih, sebelum menilainya sebagai kebenaran faktual atau hanya omong kosong yang just plain stupid.

Pertama: Penguasaan Asingdan Strategi Bertahan

Perekonomian Indonesia sudah dikuasai pihak asing. Peta Indonesia yang bertaburan bendera asing bertebaran di media sosial, mengesankan asing telah menguasai setiap jengkal bumi Pertiwi. Oleh karena itu sudah saatnya kita harus melindungi diri atau lebih menutup diri agar tidak kian dikuasai seperti pada era kolonial dulu. Benarkah sinyalemen ini?

Data justru menunjukkan Indonesia jauh dari dikuasai asing. Perekonomian Indonesia tidak saja tidak dikuasai asing, melainkan justru sebaliknya, peranan asing relatif kecil dalam pembentukan kue nasional (produk domestik bruto). Sebagian kita kian alergi dengan kehadiran orang dan perusahaan asing. Dari waktu ke waktu perekonomian kita justru semakin tertutup.

Sepanjang sejarah kemerdekaan, perekonomian Indonesia tidak pernah didominasi oleh asing. Arus investasi langsung asing (foreign direct investment)yang masuk ke Indonesia rerata setahun hanya sekitar 5 persen dari keseluruhan investasi fisik atau pembentukan modal tetap bruto.Angka tersebut sangat kecil apabila kita sandingkan dengan negara-negara tetangga dekat seperti Malaysia dan Filipina, yang peranan modal asingnya berkali lipat jauh lebih besar dari kita. Dengan negara komunis sekalipun seperti Vietnam dan negara sosialis seperti Bolivia, kita selalu lebih kecil. Peranan investasi asing di Indonesia berada di bawah rerata Asia, apalagi dibandingkan dengan negara di kawasan Asia Tenggara. Indonesia tidak pernah mengandalkan modal langsung asing untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Akumulasi kehadiran investasi langsung asing hingga sekarang tidak sampai seperempat dari PDB. Memang belakangan ini meningkat jika dibandingkan dengan rerata selama kurun waktu 2000-2004 yang baru 7,1 persen, namun masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan Vietnam (50,5 persen), Bolivia (33,7 persen), Asia (25,7 persen), dan Asia Tenggara (66,1 persen).[5]

Sejak merdeka hingga kini pemerintah senantiasa memegang teguh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3): “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.“ Perusahaan asing yang bergerak di sektor minyak dan gas bumi (migas), misalnya, sebatas sebagai kontraktor. Mereka membawa modal untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Jika mereka gagal mendapatkan migas, kerugian sepenuhnya mereka tanggung sendiri, pemerintah bebas dari risiko kerugian. Jika berhasil mendapatkan migas, mereka memperoleh imbalan berupa bagi-hasil setelah dipotong semua ongkos kegiatan produksi. Ladang migas yang konsesinya sudah habis diserahkan kepada negara. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah tidak memperpanjang konsesi beberapa ladang migas yang tergolong besar, melainkan menyerahkannya kepada PT Pertamina.

Partisipasi aktif dalam perekonomian dunia adalah pilihan yang jauh lebih baik ketimbang terus menerus menjadi katak dalam tempurung dan oleh karena itu merupakan keniscayaan. Kenyataannya, perekonomian dunia di sekeliling kita kian terintegrasi. Setiap negara, apa pun ideologi resminya, sudah sejak lama bersaing ketat untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari pasar global yang dijejali 7,6 miliar manusia, baik itu sebagai tempat berlabuh investasi langsung maupun sebagai pasar pelemparan produk barang dan jasa yang mereka hasilkan. Sejarah juga menunjukkan tidak ada negara yang bisa maju pesat hanya dengan mengandalkan produk lokal dan pasar domestiknya semata.

Setiap perekonomian memiliki kelimpahan karunia sumber (factor endowment) yang berbeda-beda. Sedangkan kebutuhan akan berbagai barang modal, bahan baku/penolong,dan barang konsumsi juga bervariasi sehingga tidak ada suatu negara autarki murni di zaman modern ini. Dalam sebuah perekonomian subsisten yang paling primitif sekalipun, tidak semua barang kebutuhan bisa diproduksi sendiri, dan oleh karena itu harus didatangkan dari luar. Dengan demikian, pernyataan siapa pun yang sesumbar bahwa impor tidak perlu dan karenanya harus dihentikan sama sekali, jelas adalah bualan. Justru jika barang impor yang memang dibutuhkan dilarang, maka yang akan marak adalah penyelundupan sistematis seperti yang sudah sering terjadi di tanah air kita. Keragaman pilihan terbatas dan hukum keekonomian skala (economies of scale) tak hadir, sehingga konsumen harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli berbagai kebutuhannya.

Mana ada negara yang bersedia membuka pasarnya untuk produk kita jika produk mereka dilarang atau kita batasi. New mercantilismtidak ada tempat di era saling membutuhkan atau saling ketergantungan.

Kompetisi sepakbola mengajarkan kita betapa strategi menyerang lebih superior untuk meraih juara. Klasemen sementara kompetisi paling tinggi di Spanyol, LaLiga Santander, menempatkan Barcelona di puncak klasemen dengan raihan gol terbanyak. Walaupun kebobolan terbanyak kedua di antara lima besar, selisih golnya jauh lebih banyak ketimbang pesaing-pesaing terdekatnya. Atletico Madrid yang berada di peringkat kedua terkenal memiliki pertahanan yang tangguh dengan kebobolan paling sedikit. Karena kurang produktif membobolkan gawang lawan, klub ini amat jarang memenangi kompetisi.

Di liga Inggris, English Premier League, Liverpool dan Manchester City bersaing ketat untuk  meraih juara pada musim ini. Kedua klub paling subur mencetak gol, jauh melampaui klub elit lainnya. Liverpool dan Manchester City semakin superior karena juga paling sedikit kebobolan. Namun, jika berlaku kaidah kesuburan, Manchester City tampaknya lebih dijagokan sebagai juara karena lebih subur delapan gol ketimbang Liverpool.

Bertolak dari tamsil kompetisi sepakbola, yang perlu dilakukan bersamaan adalah peningkatan ekspor secara berkesinambungan. Impor harus dibayar dengan devisa, dan ekspor adalah cara terbaik untuk memperoleh devisa. Industri manufaktur menjadi ujung tombaknya mengingat sumbangsihnya sebagai penghasil devisa terbesar, sekaligus sumber utama penerimaan pajak.

Janji pihak mana pun untuk meningkatkan penerimaan pajak dalam waktu singkat patut dipertanyakan. Tidak ada cara instan untuk memacu penerimaan pajak. Besar-kecilnya pajak merupakan cerminan jangka menengah dan panjang atas keseluruhan upaya pengelolaan ekonomi. Karena itu, usaha-usaha memperbesar investasi langsung (asing maupun domestik) dan memacu ekspor harus dilakukan bersamaan dan terpadu, dengan titik berat pada sektor-sektor yang paling dapat diandalkan memperbesar investasi dan ekspor secara berkesinambungan, yakni industri manufaktur. Itu artinya, kita justru harus lebih membuka diri terhadap perekonomian global dalam jalinanglobal supply chain.

Secara kodrati, kita adalah sebuah bentangan wilayah terbuka yang terletak tepat di lintasan antara dua benua dan dua samudra. Sungguh ironis jika Indonesia malahan menutup diri, sementara Mongolia yang lokasinya terpencil dan land-lockedberusaha membuka diri. Bayangan seram bahwa pihak asing atau aseng  tengah merampok habis-habisan harta nasional kita untuk dibawa ke luar negeri tidak memiliki pijakan kuat.

Muncul pula keprihatinan terhadap banyaknya warga Indonesia yang menempatkan uangnya di luar negeri, padahal negaranya sendiri sedang membutuhkan banyak dana untuk investasi. Dana miliaran dollart ersebut merupakan milik individu dan perusahaan. Pada dasarnya adalah hak setiap orang untuk memilih tempat penyimpanan uangnya karena Indonesia menganut rezim devisa bebas. Logikanya, pemilik uang akan menempatkan kekayaannya di lokasi yang paling menjanjikan keamanan dan keuntungan. Dengan demikian, yang seharusnya kita lakukan bukanlah menutup diri, melainkan menjadikan perekonomian kita lebih aman dan lebih menjanjikan keuntungan sehingga siapa saja, entah ia WNI atau WNA, akan lebih suka menempatkan uangnya di Indonesia. Tentu saja, uang haram hasil korupsi, penggelapan pajak, dan transaksi ilegal lainnya merupakan pengecualian.

Pernyataan-pernyataan tentang tenaga kerja asing yang telah mengambil lahan pekerjaan WNI di dalam negeri juga tidak ditopang data akurat. Jumlah tenaga kerja asing di Indonesia hingga akhir 2018 ternyata tidak sampai 100.000 orang. Bandingkan dengan jumlah tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang jumlahnya hampir 40 kali lipat. Lebih dari 3,65 juta orang Indonesia berjuang dan bekerja di luar negeri. Pada tahun 2018 mereka mengirimkan 11 miliar dollar AS ke sanak keluarganya yang berada di Indonesia. Sebaliknya, remitansi tenaga kerja asing sebesar 3,4 miliar dollar AS, sehingga kita menikmati surplus sebesar 7,6 miliar dollar AS. Data ini kian menunjukkan keterbukaan lebih membawa maslahat ketimbang mudarat bagi perekonomian.

Kedua: Utang

Topik ekonomi kedua yang menimbulkan kontroversi berkepanjangan adalah mengenai utang pemerintah. Sejak kecil kita diajarkan untuk menjauhi utang. Seseorang akan berbahagia jika ia bebas dari segala macam utang. Kita tentu pernah mendengar nasihat bahwa hanya orang-orang yang tidak punya utang yang bisa tertawa lepas dengan riang. Itu memang benar, kalau kita pegawai atau pensiunan yang sudah punya rumah sendiri dan tabungan, maka tidak ada perlunya berutang, apalagi kalau utang itu untuk kegiatan-kegiatan konsumtif semata.

Namun untuk seseorang yang ingin memperoleh tambahan penghasilan, sebuah keluarga muda, sebuah perusahaan yang tengah berkembang, atau suatu negara yang sedang giat membangun, utang sulit dihindari, dan sebenarnya memang tidak perlu dihindari. Itu juga kenyataan yang harus kita pahami berkenaan dengan utang. Ditinjau dari segi ekonomi, adalah lebih baik kita berutang dalam jumlah terukur untuk memanfaatkan potensi investasi yang ada daripada kita tidak berutang sama sekali sehingga potensi dan peluang investasi itu sirna. Jika investasi itu berbuah, maka kesejahteraan kita akan lebih baik. Selama peningkatan pendapatan lebih besar dari pembayaran bunga dan cicilan, maka berutang takakan menjadi masalah.

Umpamakan saja ada seorang pegawai kecil atau buruh yang ingin mencari penghasilan  tambahan sebagai pengemudi ojek onlinenamun tidak memiliki sepeda motor sendiri. Skema meminjam dan mencicil menjadi penolong baginya karena ia bisa mendapatkan sepeda motor tanpa harus menunggu lama sampai tabungannya mencukupi. Cicilan yang dikenakan pun terjamin dapat dilunasi karena pendapatannya sejak adanya kendaraan itu meningkat.

Bagi sebuah keluarga muda yang ingin memiliki rumah sendiri, langkah mengambil Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah lebih baik ketimbang terus mengontrak rumah sambil menabung sampai jumlahnya cukup untuk membeli rumah. Harga rumah, apalagi di kota-kota besar sudah sedemikian tinggi sehingga berapa pun yang ditabung tidak akan dapat mengejar kenaikan harganya setiap tahun. Lagi pula, jumlah penduduk terus bertambah sehingga tanah dan rumah dari waktu ke waktu akan kian berharga, dan dengan sendirinya harganya kian mahal.

Begitu juga dengan sebuah perusahaan. Agar dapat tumbuh pesat, maka ia perlu membidik setiap peluang atau potensi investasi yang ada. Secara ekonomi, akan lebih baik baginya jika menarik pinjaman dalam jumlah dan persyaratan terukur untuk mengoptimalkan peluang pertumbuhan ketimbang jika perusahaan itu hanya mengandalkan modal dan pendapatan yang ada.

Analogi serupa berlaku untuk sebuah negara. Demi memanfaatkan potensi pertumbuhan ekonomi secara maksimal, wajar saja jika suatu negara menarik utang, dari dalam maupun luar negeri. Dengan cara ini negara tersebut akan dapat tumbuh lebih pesat. Jadi jelas kiranya bahwa utang produktif adalah sesuatu yang positif, bukan nista atau najis sehingga harus dijauhi dengan risiko apa pun. Tentu jumlahnya harus disesuaikan dengan kebutuhan pendanaan riil dan kemampuan untuk membayarnya kembali. Jadi yang dilihat jangan hanya jumlah utang, melainkan juga tambahan pendapatan yang tercipta. Seseorang yang punya utang Rp 10.000.000 namun ia punya penghasilan Rp 20.000.000, tentu lebih baik ketimbang orang lain yang utangnya Rp 1.000.000 tetapi penghasilannya cuma Rp 500.000

Jumlah utang pemerintah RI dewasa ini sebesar Rp 4.499  triliun[6] sementara PDB menurut harga berlaku pada 2018 sebesar Rp 14.837 triliun. Jelaslah bahwa utang pemerintah itu masih berada dalam batas aman, karena nisbah utang (debt to GDP ratio) tergolong sangat rendah, yakni hanya 30 persen dan masih separuh dari batas maksimum yang ditetapkan oleh Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Lagi pula, Undang-Undang tentang Keuangan Negara membatasi defisit APBN maksimal 3 persen dari PDB, sehingga pemerintah tidak bisa ugal-ugalan berutang.

 

Ketiga: Pembangunan Infrastruktur

Tidak sulit untuk menepis pernyataan-pernyataan asal menyerang yang mengatakan pembangunan infrastruktur itu tidak perlu. Ketersediaan infrastruktur mutlak perlu. Kian baik infrastruktur yang dimiliki suatu perekonomian, kian berdaya saing dan semakin menarik perekonomian itu sebagai lahan investasi. Semakin banyak investasi tersedia, bertambah maju perekonomian tersebut. Ini adalah aksioma pembangunan ekonomi.

Tidak perlu kita berdebat panjang-panjang mengenai hal ini. Siapa saja yang pernah belajar ilmu ekonomi tentu mafhum akan pentingnya pembangunan infrastruktur. Yang lebih layak untuk dijadikan bahan diskusi adalah penajaman prioritas pembangunan infrastruktur itu sendiri, meneguhkan jati diri dan keunikan geografis. Biaya pembangunannya sangat mahal, sementara dana yang tersedia sangat terbatas.  Untuk itu perlu dipilih yang benar-benar bisa memacu produktivitas, mengasah daya saing, dan memperkokoh integrasi perekonomian nasional.

Sekali lagi, kita perlu menyadari kodrat kita sebagai negara maritim. Lautlah pemersatu kita dan laut pula yang seharusnya kita prioritaskan pembangunannya demi memacu pertumbuhan ekonomi secara maksimal.

Sejarah bangsa kita secara jelas mengajarkan bahwa kita hanya akan menjadi bangsa yang besar dan kuat kalau menguasai laut. Imperium Sriwijaya berjaya karena bertumpu pada kekuatan laut. Imperium Majapahit begitu dominan di seantero Asia Tenggara karena memiliki armada laut berkekuatan lebih dari 400 kapal besar.

Sebaliknya, kekalahan demi kekalahan di lautlah yang memaksa kita hanya menjadi masyarakat agraris kecil-kecil yang sepenuhnya berorientasi ke darat. Kegagalan membendung armada VOC pula yang bahkan sempat menjadikan kita bangsa jajahan selama berabad-abad. Jika kita hendak besar kembali, maka kekuatan laut pula yang harus pertama-tama dibenahi.

Tekad untuk memperkokoh fondasi sebagai negara maritim dipancangkan ketika Jokowi menyampaikan pidato kemenangan di atas kapal phinisi di pelabuhan Sunda Kelapa pada 22 Juli 2014. Alasan pemilihan tempat itu ialah untuk menggelorakan kembali semangat Indonesia sebagai negara maritim. Beberapa bulan kemudian pemerintahan Jokowi-JK membatalkan proyek pembangunan jembatan Selat Sunda, sebagai cerminan konsistensi mengedepankan roh maritim. Yang mengintegrasikan pulau-pulau bukanlah jembatan, melainkan laut itu sendiri. Ke depan, kita berharap penguatan integrasi perekonomian nasional semakin mengedepankan transportasi laut sebagai ujung tombak lalu lintas angkutan barang.

Keempat: Stabilitas Ekonomi

Salah satu keberhasilan pemerintahan Jokowi-JK yang tidak bisa dipungkiri adalah telah terciptanya stabilitas makroekonomi. Pertumbuhan ekonomi berlangsung secara berkesinambungan meskipun pada kisaran 5 persen, tidak setinggi janji kampanye yang dituangkan dalam RPJM yakni 7 persen rerata setahun, sedangkan inflasi dan suku bunga terkendali. Sudah beberapa kali Idul Fitri terakhir kita rayakan tanpa dihantui lonjakan harga barang-barang kebutuhan pokok. Inflasi selama hampir lima tahun terakhir reratanya hanya 3,1 persen, tak sampai separuh dari rerata lima tahun sebelumnya dan jauh lebih rendah dalam dua dekade terakhir.

Teori ekonomi yang sama-sama pernah kita pelajari menyebutkan selama ada pertumbuhan ekonomi sedangkan inflasi terkendali, maka daya beli masyarakat pun terpelihara. Mereka yang mengatakan daya beli masyarakat Indonesia merosot, mungkin kurang cermat mempelajari teori itu, atau sengaja mengabaikannya.

Pengalaman ikut serta menjalani proses kelahiran era reformasi menunjukkan secara jelas betapa gelombang unjuk rasa menentang Orde Baru sedemikian kuat dan efektif karena didukung oleh segenap lapisan masyarakat, khususnya ibu-ibu rumah tangga.

Mereka yang langsung merasakan kian sulitnya mencukupi uang belanja setiap bulan sampai rela memecah celengan demi membantu menyediakan sekedar air mineral dan nasi bungkus bagi para mahasiswa yang tengah berjuang di jalanan. Situasi di era perjuangan kemerdekaan ketika para ibu rela mengeluarkan simpanan beras terakhir untuk membuka dapur-dapur umum terjadi lagi ketika itu,

Tetapi selama masa kampanye yang hiruk-pikuk ini, sama sekali tidak ada gerakan massal seperti itu. Secara umum ibu-ibu tidak merasa perlu harus ikut atau mendukung unjuk rasa. Mengapa? Karena mereka merasa baik-baik saja, jauh dari ancaman kenaikan harga yang mencekam. Yang ramai sebatas di media sosial dan panggung kampanye, oleh ibu-ibu pendukung aktif kubu penantang. Tidak perlu pemahaman canggih untuk sekedar mengetahui bahwa segelintir ibu-ibu yang tampil sebagai aktivis politik dadakan itu sama sekali tidak mewakili kaum ibu secara keseluruhan.

Bagaimana mungkin muncul hantu kenaikan harga-harga kebutuhan hidup jika harga BBM justru diturunkan, tarif listrik sudah hampir empat tahun tidak naik, subsidi listrik untuk kelompok pelanggan 900 KVA yang dihapus pada awal 2018 dihidupkan kembali, tarif angkutan rakyat seperti TransJakarta tak pernah sekalipun dinaikkan; tarif angkutan kereta api Jabodetabek masih memperoleh skema PSO (public service obligation) yang dikucurkan dari APBN; harga kebutuhan pokok pangan seperti beras, gula pasir, dan minyak goreng diawasi ketat oleh “polisi pasar” (Satgas Mafia Pangan) yang dikomandani jenderal polisi berbintang satu. Tak pelak lagi, laju inflasi relatif rendah bertahan paling lama sepanjang sejarah. Terlepas dari cara pemerintah mengendalikan inflasi, fakta kasat mata menunjukkan tidak ada lonjakan kenaikan harga kebutuhan pokok.

Inflasi yang terus turun itulah yang menjadi penyebab penting jumlah dan persentasi penduduk miskin terus berkurang.

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”[7]

Data perbaikan keamanan pangan juga menjelaskan demikian adanya. Dalam empat tahun terakhir, peringkat Global Food SecurityIndex (GFSI)Indonesia mengalami kenaikan sembilan peringkat, dari urutan ke-74 pada 2015 menjadi urutan ke-65 pada 2018, dengan peningkatan skor dari 46,7 menjadi 54,8. Inti pesan dari indikator tersebut adalah bahwa akses pangan masyarakat Indonesia dalam empat tahun terakhir ini semakin baik.

Stabilitas makroekonomi merupakan prasyarat untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, berkualitas, dan berkelanjutan. Ibarat balap mobil F-1, sebelum  pembalap memasuki arena, tim teknis harus memastikan seluruh bagian atau komponen mobil berfungsi secara prima. Sedikit saja abai atau lengah, akibatnya sangat vatal. Perhelatan F-1 terakhir di Bahrain menjadi pembelajaran berharga bagi tim Ferrari. Charles Leclerc, pembalap muda berusia 21 tahun yang baru bergabung dengan tim Ferrari pada musim laga tahun ini, memimpin sampai menjelang 10 putaran terakhir. Namun, tiba-tiba mobilnya mengalami gangguan hybrid system, sehingga laju mobilnya melambat. Leclerc terbantu oleh kehadiran safety carsehingga hanya dua pembalap Mercedes yang bisa menyusulnya. Jika tidak terjadi insiden, Leclerc tidak akan naik ke podium sebagai juara ketiga.

Bisa dibayangkan jika perekonomian tidak dikelola secara proper, tanpa perhitungan cermat. Perekonomian tidak bisa tiba-tiba dipacu dengan kecepatan roket. Jantung perekonomian harus dipastikan terlebih dahulu tidak mengalami gangguan sekecil apa pun. Untuk take off, pastikan energi terhimpun cukup dan seluruh organ perekonomian dalam keadaan prima. Jika tidak, bisa saja tumbuh secepat roket tetapi pada tahun berikutnya masuk ruang gawat darurat. Yang dipertaruhkan adalah ratusan juta rakyat, bukan sekedar satu pembalap dan mobil yang ditumpanginya.

Setiap pilihan ekonomi akan menimbulkan dampak terhadap berbagai sektor dan variabel, oleh karena itu harus diperhitungkan dengan seksama dan matang. Jika salah perhitungan, kerusakan yang ditimbulkannya membutuhkan waktu lama untuk diperbaiki atau pulih kembali.

Seharusnya kedua belah pihak memilih cara-cara elegan dalam mempromosikan jagoan masing-masing, tidak asal ngomong sekenanya. Pujian berlebihan sama buruknya dengan kritik berlebihan.

Epilog

Kita sebagai kalangan yang pernah diajari untuk memahami dan menjelaskan seluk-beluk ekonomi, hendaknya juga ambil bagian dalam mencerdaskan masyarakat, sekecil apa pun bagian itu. Andaikata masyarakat luas bisa lebih memahami dan mengetahui kondisi ekonomi yang sesungguhnya, maka sehebat apa pun hoaxes yang terlontar dari kubu mana pun, akan pupus dengan sendirinya karena tidak akan laku.

Proses pembelajaran demokrasi kita masih cukup panjang. Proses itu akan berlangsung lebih cepat dan mudah seumpama masing-masing dari kita ikut berpartisipasi. Hanya dalam masyarakat yang aktif terlibat, maka demokrasi akan dapat membuahkan manfaat secara optimal. The price of democracy is eternal vigilance. Para calon pemimpin terbaik akan muncul dengan mudah sedangkan para pemimpi bersosok demagog akan terpinggirkan dengan sendirinya.

Ketika hendak mengakhiri naskah ini, saya tiba-tiba teringat penuturan Prof. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti ketika mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid bertemu dengan Presiden Clinton di Gedung Putih. Pada pertemuan ketiga dan terakhir di awal 2001, Presiden Clinton berujar kepada Gus Dur:

“Mr. President, I wish Indonesia a great success. A successful Indonesia will help to characterize the 21st century. Indonesia is now the world’s third largest democracy. Indonesia is the fourth largest-population country, with the world’s largest Moslem population. If Indonesia can prove to the world that Islam and democracy are compatible – you show us the way.”

Sejauh ini kita telah membuktikan sebagai one of south-east Asia’s only true remaining democracies.[8]Dalam waktu tergolong singkat, kita berhasil membangun kelembagaan demokrasi yang cukup lengkap, sehingga tak pernah mengalami deadlock. Segala perselisihan berhasil diselesaikan dengan damai. Tak setitik darah pun menetes di bumi Pertiwi akibat perselisihan itu. Semua pihak menerima keputusan akhir dengan lapang dada. Dwi fungsi ABRI berakhir tanpa gejolak, apalagi dengan perlawanan senjata.

Kita pun patut bersyukur atas penyelenggaraan pemilu yang selama ini tepat waktu. Padahal, penyelenggaraan pesta pemilihan umum nasional sungguh tidak sederhana. Boleh jadi pendistribusian logistik dalam pemilu di Indonesia paling rumit di dunia. Betapa tidak, pemilihan umum nanti berlangsung serentak: pemilihan presiden-wakil presiden, DPD, DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Berarti ada lima kertas suara yang harus dicoblos. Semuanya dilaksanakan dalam sehari. Selama ini segala kendala yang muncul sampai detik-detik terakhir bisa diselesaikan. Kita berharap demikian pula pada pemilu mendatang walaupun semakin rumit.

Sungguh tak sedikit rintangan dalam mengarungi samudra konsolidasi demokrasi. Good citizenry tidak cukup sebatas mencoblos kertas suara lalu menuntut haknya hingga pemilu selanjutnya, sekedar melaksanakan ritual demokrasi lima tahunan. Lebih dari itu, kita pun kian dituntut menjadi produsen demokrasi, melawan kebohongan dan memeranginya, mendorong kemunculan generasi baru politisi berkarakter dan berwawasan jauh ke depan. Akses bagi mereka dipermudah agar politisi mendatang tidak sebatas berasal dari lapisan tipis oligarch yang wajahnya terpampang di poster dan baliho di kiri kanan jalan dan terpaku di pepohonan. Kita bisa membuat platform agar masyarakat luas dengan mudah memberikan kontribusi “recehan” kepada politisi idolanya.

Kembali kepada Sen yang mengingatkan: “If a theory of justice is to guide reasoned choice of policies, strategies or institutions, then the identification of fully just social arrangements is neither necessary nor sufficient.Politik identitas yang memecah belah kesatuan bangsa adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang paling nyata.

Peranan akademisi sangat vital untuk membangun kebun demokrasi yang ditumbuhi aneka pepohonan rimbun bertaburan bunga harum semerbak, menghadirkan khazanah pemikiran untuk menjawab tantangan di tengah derap perubahan yang intensitasnya meninggi dan muncul dari berbagai arah yang tak terduga serta pada waktu yang tak terduga pula. Akademisi selalu tertantang untuk menyibakkan “unknown” atau misteri. Akademisi sejati selalu berjarak dengan kekuasaan, bukan sebaliknya menjustifikasi apa saja yang dilakukan penguasa. Selain bergelut di “laboratorium” penelitian ilmiah, akademisi ikut menerangi lingkungannya dengan turun gunung memanfaatkan media sosial menyerang balik dan meluruskan berita bohong dan propaganda yang menyesatkan. Sikap demikian tidak akan membuat derajat akademisi menjadi rendah. Tengok Paul Krugman dan Joseph Stiglitz sebagai contoh. Belakangan, generasi ekonom lebih muda seperti Dani Rodrik, Gabriel Zucman, Suresh Naidu, Anad Admati, dan banyak lagi, bertindak lebih jauh dengan membentuk jaringan yang mereka namakan Economics for Inclusive Prosperity (EfIP). Kelompok terbuka ini berikhtiar  merumuskan resep baru untuk mengobati penyakit-penyakit akut yang ditimbulkan oleh Neoliberalisme.

Di Indonesia, yang paling aktif adalah DR. Chatib Basri, mantan Menteri Keuangan. Konsep serumit apa pun disampaikannya dengan bahasa populer bernuansa sastrawi. Prof.Ari Kuncoro, Dekan FEB UI, semakin kerap turun gunung mendiseminasikan hasil risetnya dengan bahasa yang mudah dimengerti dan menggigit, menyibakkan temuan yang sulit dideteksi oleh awam dan bahkan banyak ekonom. Dari generasi yang jauh lebih muda, belasan peneliti Indef menjadi penggerak dalam menyebarkan pemikiran Indef School of Political Economy (ISPE) ke puluhan kota besar di dalam dan luar negeri. Perbedaan cara pandang lumrah adanya, semoga tidak dibungkus oleh kebencian dan saling curiga. Yang mempersatukan kita adalah semangat menemukan solusi terbaik bagi kemajuan Bangsa berlandaskan nilai-nilai akademis. Betapa masih amat tipis lapisan akademisi dan cerdik cendekia yang lantang bersuara melawan kebohongan dan penyesatan yang disengaja, yang menerangi relung-relung demokrasi kala meredup.

Siapa pun kita bisa menjadi produsen demokrasi, termasuk kalangan profesional, pengusaha,  pegiat sosial atau apa pun kiprahnya yang hadir di ruangan ini.

Sambut pemilu raya dengan ceria. Campakkan kebencian. Satu suara turut menentukan Indonesia menuju arah yang lebih baik dan berkemajuan.

Demikian, semoga berfaedah.

***

 

*Tulisan ini sudah dimuat di https://faisalbasri.com/


[1]Naskah yangdipersiapkan untuk acara “Panggung Kabaret Tek Jing.. Tek Jing—Orasi Kebudayaan Kampanye Ekonomi 2019,”diselenggarakan oleh Kumpulan Alumni FEUI, Soehanna Hall, The Energy Building, SCBD,Jakarta, 11 April 2019.

[2]Lulusan FEUI angkatan 1978.

[3]Irawan Djoko Nugroho, Majapahit Peradaban Maritim: Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia, Jakarta: Suluh Nuswantara Bakti, 2011.

[4]Berdasarkan mapofworld.com.Sumber lain menyebutkan terpanjang keempat.

[5]Bersumber dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), World Investment Report database.

[6]Angka sementara per akhir Januari 2019.

[7]QS 55: sejumlah ayat, diulang-ulang hingga 31 kali.

[8]“Joko Widodo: how ‘Indonesia’s Obama’ failed to live up to the hype,” The Guardian,4 April 2019 (https://www.theguardian.com/world/2019/apr/04/joko-widodo-how-indonesias-obama-failed-to-live-up-to-the-hype?CMP=share_btn_tw).