Jejak  

Jika Belajar dari Leluhur Sriwijaya, Mungkin Keindahan Bumi Indonesia akan Terjaga

Model kapal Kerajaan Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terukir di Candi Borobudur. Sumber: Wikipedia.vom
Bagikan/Suka/Tweet:
PALEMBANG–Kebudayaan melayu yang ditandai dengan kejayaan Sriwijaya, bukan hanya bicara soal ekonomi, seni dan tradisi, juga soal penataan lingkungan hidup. Jika bangsa Indonesia mau belajar dengan masa lalu, termasuk dari Sriwijaya, persoalan tata ruang permukiman, hutan, tidak seburuk hari ini.
Demikian dikatakan Kepala Arkeologi Palembang Nurhadi Rangkuti, Kamis (11/06/2015). Prasasti Talang Tuo yang merupakan salah satu prasasti milik Sriwijaya, jelas menunjukkan penataan tersebut.
Nurhadi mengutip isi Prasasti Talang Tuo, “Pada saat itulah taman ini yang dinamakan Śriksetra dibuat di bawah pimpinan Sri Baginda Śrī Jayanāśa. Inilah niat baginda: Semoga yang ditanam di sini, pohon kelapapinangarensagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, dan pattum, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya.”
Dijelaskan Nurhadi, jelas sekali para pemimpin Sriwijaya dalam menata kehidupan masyarakat dengan membangun sebuah taman, yang berisi tanaman yang berkarakter lahan basah, yang dapat dimakan maupun digunakan untuk keperluan lainnya.
Selain itu, ditata juga soal bendungan dan kolam, yang tentunya guna mengatur pengairan, sehingga tidak terjadi bencana ekologis, seperti banjir atau kekeringan.
“Ini artinya para pemimpin Sriwijaya sangat mengerti dan paham karakter lahan basah, sehingga mereka pun menanam sejumlah tanaman berkarakter lahan basah yang buahnya atau akarnya yang dapat dikonsumsi, dan menata pengairan,” katanya.
“Hari ini banyak kota di Indonesia yang berada di lahan basah, seperti Palembang atau Jakarta, yang sama sekali tidak belajar dari para pemimpin Sriwijaya, sehingga jadinya seperti sekarang ini,” kata Nurhadi.
Sementara tanaman yang dijadikan kayu, umumnya diambil dalam usia tua. “Ini berdasarkan temuan dari berbagai situs protoSriwijaya di wilayah lahan basah, seperti kayu dari pohon meranti, merbau, medang atau nibung.”
Maka, terkait gagasan untuk menetapkan peringatan Hari Bumi pada 23 Maret, berdasarkan isi Prasasti Talang Tuo, Nurhadi mendukung. “Ini sebagai upaya membangun kesadaran kepada bangsa Indonesia, bahwa para leluhur kita sangat peduli dengan lingkungan hidup.”
“Jadi jika kita tidak peduli dengan lingkungan hidup atau bumi itu artinya bukan hanya menyusahkan manusia, mengingkari perintah Tuhan, juga mengkhianati apa yang sudah disumpahkan atau dijanjikan para leluhur kita,” ujar Nurhadi.
Dasar yang kuat
Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel, sangat setuju dengan gagasan peringatan Hari Bumi pada 23 Maret.
“Saya setuju. Saya sungguh tertarik dengan pemahaman teks Prasasti Talang Tuo tersebut. Tapi kita juga perlu bukti sejarah atau pendukung lainnya, sebagai pendorong lahirnya prasasti tersebut,” katanya.
Misalnya selain terkait peristiwa matahari berada tepat di atas khatulistiwa, juga pencarian data atau fakta terkait dengan peristiwa alam pada masa itu. “Bisa saja prasasti tersebut dibuat karena adanya peristiwa ekologis di dunia pada saat itu yang menyebabkan tewasnya manusia, rusaknya alam, akibat perlakuan buruk terhadap alam atau bumi.”
“Saya senang sekali mengetahui teks Prasasti Talang Tuo. Ternyata, para pemimpin Sriwijaya telah mengajarkan sejumlah tanaman di lahan basah yang tidak merusak lingkungan, khususnya di rawa gambut,” katanya.
Misalnya mereka tidak menanam pohon sawit. Padahal saat Sriwijaya berkuasa, sudah banyak berbagai suku bangsa datang ke Palembang. Termasuk dari Afrika, sebagai asal tanaman sawit tersebut.
“Coba kalau kita bertahan dengan tanaman lokal, mungkin tidak seburuk hari ini,” kata Hadi. “Bahkan yang ironi, saya mendapatkan kabar lokasi ditemukannya Prasasti Talang Tuo yang sekarang disebut Talang Kelapa, sudah dikelilingi perkebunan sawit dan perumahan,” tegas Hadi.
mongabay.co.id/taufik wijaya