Oleh: Syamsul Arifien*
Suatu siang saya terlibat obrolan ngalor ngidul dengan beberapa politisi muda. Mereka itu anggota lintas fraksi DPRD sebuah kota. Lumayan juga, obrolan ditemani sajian kue kering dan kopi panas yang diracik dari dapur Sekretariat Dewan.
Sebentar, Anda jangan protes dulu apakah ‘halal’ hukumnya saya menikmati kue dan kopi itu, dimana saya bukan ‘warga negara’ DPRD yang setiap hari menguras energi dan bermandi keringat bekerja untuk rakyat di balik meja gedung dewan.
Jangan pula dikatakan saya menerima gratifikasi snack and drinking. Saya ini hanya gembel kampung yang kebetulan hari itu bertamu ke ‘rumah’ orang-orang terhormat. Snack dan kopi itu tak lebih dari syari’at sopan santun pergaulan semata.
Di tengah percakapan, saya sempat gelagapan ketika mereka bertanya, “Siapa mas, menurut pendapat sampeyan walikota kita yang paling ideal dalam Pilkada ini nanti,?” Ini pertanyaan anggota dewan yang salah alamat, begitu gumam saya dalam hati. Sekali lagi saya cuma seorang gembel kampung.
Benar sih… sebagai warga kampung sebelah, berpuluh-puluh tahun saya meniduri kota itu seperti di rumah sendiri. Hingga tak ada sejengkal pun tanah wilayah kota yang kakiku belum menjejaknya. Kota ini punya sejarah nafsu menggemu-gebu ‘menikahi’ desa-desa sekitar untuk menambah perluasan wilayahnya. Sampai saat ini nafsu ekspansi kota yang belum kesampaian itu masih menggelora.
Pernah pula suatu malam pementasan group musik Jamus Kalimosodo di tanah lapang kota, saya menanting (meminta) serius walikota saat ini supaya tidak mencalonkan diri lagi sebagai walikota. Saat itu di depan kesaksian ribuan massa warga kota, sang walikota mengiyakan (setuju). Tapi tak urung, kemudian ia ingikari.
Sejak defenitif sebagai kotamadya hasil pemekaran wilayah kabupaten tahun 2009 silam, kota yang semula didefinisikan oleh Pemerintah Pusat sebagai kota agro industri – karena sebagian besar wilayahnya merupakan areal pertanian – itu bergeser visi missinya sebagai kota pendidikan di bawah kepemimpinan 2 periode walikota yang satu ini. Adapun kalau pada Pilkada serentak tahun ini pak Walikota sedang menimbang-nimbang putra mahkota dari aliran darahnya sendiri, so pasti akan terganjal oleh regulasi pasal larangan politik dinasti.
Maka semakin asyik obrolan kami siang itu, hingga sampai pada kesimpulan bahwa di kota kecil ini indeks biaya politik kekuasaan cukup tinggi dibanding daerah kabupaten di Lampung. “Sudah menyentuh angka 150 – 200 ribu per suara”, aku para politisi muda, itu seraya menceritakan kerasnya perjuangan gerilya politik pada Pemilu Legislatif 2014 kemarin.
Tak ayal Pilkada serentak 2015, menerbitkan khayal bagi para politisi kota mempersiapkan jejaring dan bubu buat menangguk fulus cakada yang akan bertarung merebut kursi walikota. Caranya politisi yang merasa mempunyai basis dukungan konstituen, akan dijadikan alat berjualan kepada calon berpotensi.
“Kita lagi ngintip-ngintip nih mas, ke siapa nanti kita bawa konstituen ke calon yang kira-kira bakal jadi. Lumayanlah bisa untuk menambal lubang-lubang Pileg kemarin”, kata politisi muda DPRD kota kecil ini.
Jika demikian gambaran isi kepala para politisi kita – menggiring dan memperjual belikan suara rakyat demi keuntungan sesaat – maka sungguh memprihatinkan. Akan semakin buruk wajah dan makin gelap masa depan kehidupan demokrasi politik kita. Dan orang awam seperti saya, tak ada lain kecuali hanya bisa mengurut dada nelangsa.
*Ketua Kelompok Musik Gamelan Jamus Kalimosodo Lampung