TERASLAMPUNG.COM — Hari Pers Nasional (HPN) 2019 digelar di Surabaya, Jawa Timur. Puncak perayaan HPN akan digelar di Grand City Surabaya, pada 9 Februari 2019. Puncak acara dihadiri oleh Presiden RI Joko Widodo.
Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan, PWI Lampung, Juniardi, mengatakan moment Hari Pers 2019harus dijadikan tonggak dalam rangka mengembalikan marwah pers yang sebenarnya, yaitu pers yang bertanggung jawab.
BACA: Ini Kata Ketua AJI Soal Medali Kemerdekaan Pers untuk Jokowi
“Artinya bertanggung jawab karya beritanya, dan kepada kepetingan masyarakat. HPN 2019 bisa menjadi momentum untuk meningkatkan pembenahan media massa. Jangan sampai pula kita hanya memanfaatkan kue iklan yang ada, terutama dari pemerintahan, sehingga kita lalu lupa untuk memberikan kritik yang membangun ke pemerintah,” kata Juniardi, Senin, 11 Februari 2019.
Juniardi juga mengajak Humas dan Protokol Pemerintah Daerah, tidak hanya melulu berorentasi pada berita baik pimpinan, dan tidak suka dikritik. Wartawan diajak mou, diberi iklan, adv, agar berita dengan yang puji puji, dan ini terkadang tidak disadari Newsroom media.
“Tradisi ini tidak mendorong kemajuan termasuk terhadap kemajuan masyarakat, pers, bahkan pemda itu sendiri. Bagaimana pimpinan daerah akan tahu terhadap persoalan, jika tidak melalui peran wartawan. Yang juga bisa andil dalam ikut membangun kemajuan daerah, dengan medinya,”
Yang baik, katanya mantan Ketua Komisi Informasi Publik (KIP) Lampung ini, mengapa wartawan misalnya dibiaya saja, untuk membuat liputan liputan daerah yang tidak terjangkau dan jarang dilihat pemerintah, mencari persoalan persoalan, hingga potensi daerah, sehingga bisa menjadi rujukan pimpinan daerah untuk cepat ditanggulangi dan merencanakan pembangunan.
“Liputan liputan kini hanya luar, tidak mendalam, tidak ada pengetahuan, tidak ada pencerdasan terhadap masyarakat. Melulu terjebak kepada sosok, bukan lagi para persoalan yang ada dilingkungn sosok itu sendiri,” kata alumni FH Pasca Sarjana Unila ini.
Di sisi lain, lanjut Pimred sinarlampung.com ini, isu kebebasan pers di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Kekerasan masih terjadi terhadap awak media–beberapa di antaranya bahkan meninggal dunia dalam tugas dan kasusnya tidak jelas. Data Reporters Without Borders 2018 misalnya, menyebutkan indeks kebebasan pers Indonesia ada di ranking 124 dari 180 negara. Bahkan Isu pembatasan liputan di Papua dan ancaman UU ITE yang bisa menyasar jurnalis, jadi sorotan utama belakangan ini.
Persoalan kebebasan pers belakangan dihangatkan oleh protes terhadap perubahan hukuman dan remisi untuk I Nyoman Susrama, terpidana kasus pembunuhan jurnalis Radar Bali, AA Gde Bagus Narendra Prabangsa. Dari sejumlah kasus pembunuhan jurnalis yang terekam sejak 1996, baru kasus Prabangsa saja yang terselesaikan hingga ke ranah hukum.
Yang kemudian ramai menuwai protes, dan akhirnya di HPN Presiden menyatakan mencabut remisi, dengan dalih Kemehumham kecolongan.
“Dari rangkaian seminar di HPN 2019, bahwa kritis pers sekarang sudah mulai menipis, banyak undang-undang yang dilanggar oleh pers.Untungnya masyarakat saja yang masih malas untuk nuntut.
Para pakar komunikasi menilai tanggung jawab pers khususnya dan media massa pada umumnya sudah melupakan tanggung jawab sebagai peran media publik untuk mendapatkan informasi dan saluran komunikasi yang menjunjung nilai-nilai keterbukaan, kejujuran, hormat-menghormati, dan ketidak berpihakan pada kelompok tertentu.
“Semua orang, hampir dari seluruh kalangan masyarakat secara seragam sering mengatakan bahwa pers atau media kita sudah sangat kebablasan, terutama dalam mengekspresikan tentang prinsip kebebasan pers,” ujarnya.
Memang, kata Juniardi, semenjak era reformasi digulirkan, media massa memasuki era kebasan yang luar biasa. Ditambah pemerintah tidak lagi melakukan regulasi atas media dengan regulasi, yang dulunya sangat sakral untuk didapatkan.
“Media dapat menuliskan dan menyampaikan apa saja kepada publik tanpa regulasi sensor. Setiap figur di masyarakat kalau itu memang mau diberitakan bisa di buka ruang-ruang pribadinya, dari mulai ruang tidur, halaman rumah, sampai ruang kantor yang sangat privat seklipun untuk ukuran konsumsi publik.
“Dan tidak lagi disaring, apakah informasi yang disampaikan oleh wartawan atau reporter itu, mendidik atau tidak, menyampaikan kejujuran atau hasutan, dan mengandung nilai-nilai keadilan atau keberpihakan. Kondisi ini krusial yang kita hadapi, padahal Pers harus bertanggung jawab, pers tidak boleh kebablasan. Kita harus buang anggapan undang-undang atau aturan dibuat hanya untuk dilanggar,” katanya.