Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Semenjak beberapa hari lalu saya diberi anugerah oleh Allah untuk merasakan nikmatnya ruang perawatan VVIP atas rekomendasi ibu pimpinan setempat pada satu rumah sakit terkenal di Provinsi ini. Nomor kamarnya seperti judul di atas. Ada satu pengalaman psikologis yang takut hilang. Maka, sambil tangan dibalut selang infus, pengalaman batin itu harus ditulis, tentu dengan sembunyi-sembunyi.
Bulir-bulir infus itu menitik satu demi satu dan tidak boleh berhenti. Begitulah pesan perawat seolah mewakili instruksi ketuhanan bahwa jika kamu masih bergantung pada benda, maka pandanglah dengan cemas. Namun jika kamu bergantung pada Tuhanmu, maka bersyukurlah karena sudah berapa lama kamu diizinkan menghirup oksigen-Nya.
Di samping sana orang-orang terkasih menunggu dengan cemas. Entah apa yang sedang dipikirkan. Satu hal yang masih dari merka jangan baca dulu-lah berita berita itu dari gawai, dengan sedikit ancaman dari “polisi dapur saya”. Namun yang namanya manusia, tetap saja manusia; sekalipun sudah dikawal mata ini gatal kalau tidak lihat komentar-komentar orang sekelas Mas Oyos, Herman Batin Mangku, Hariwardoyo. Gino Vanoli, Pak Jau dan masih banyak lagi. Satu hal yang saya harus patuhi jangan kasih tahu banyak orang nanti tidak bisa istirahat, saya jawab “Siap Komandan-Ku”
Sambil merenungkan bagaimana hirukpikuk diluar sana dari informasi yang saya baca dan pahami, ternyata semakin seru saja; pertandingan “Banteng dengan Gemoy yang di Amin-kan”; tampaknya makin seru, mengalahkan issue Palestina dan Yesica. Pertandingan kali ini membuat banyak Orang-Orang Tua negeri ini turun gunung melalui keahliannya menjadi pengingat generasi. Bisa di simak bagaimana Gus Mus, Taufik Ismail dan lain lain lagi menjadi juru bicara generasinya. Hanya sayang ada diantara anak negeri ini yang dahulu waktu sekolah tidak belajar Pendidikan Budi Pekerti, memberi komentar yang sangat tidak pada tempatnya. Mereka belum sadar bahwa “orang tua itu yang pasti pernah muda, tetapi yang muda belum tentu sampai usia tua”, adalah adagium yang harusnya dipahami.
Sisi menarik dari adanya pesta pemilihan raya negeri ini adalah, kita dapat mengukur tingkat kematangan masyarakat dalam menerima perbedaan pandangan atau pilihan. Ternyata kelompok-kelompok pemaksa kehendak dan pendapat masih bermunculan di mana-mana. Barometer pendidikan melalui Pendidikan Moral yang telah dihilangkan pada sistem pendidikan pada pemerintahan ini, adalah kesalahan sejarah; yang tidak boleh terulang. Demikian juga banyak perguruan tinggi yang Program Pascasarjananya menghilangkan mata kuliah filsafat manusia dan logika. Sehingga, waktu menjadi pemimpin seolah manusia tidak bertongkat di jalan licin.
Kita tidak cukup mempercayai kemampuan berdebat dari calon saja, apalagi janji-janji yang mudah untuk diingkari, ditambah lagi dagangan kesederhanaan tampilan sebagai pembungkus. Semua bisa musnah ditelan masa manakala yang bersangkutan sudah berkuasa.
Mumpung masih ada waktu mari kita siapkan rekam digital sebagai bukti apa janji dan kesepakatan mereka setelah memimpin negeri ini, dan jika pada waktu terjadi penyimpangan, maka kita punya kuwajiban mengingatkan kepada mereka. Seterusnya kita harus mulai mengisiniasi norma atau apapun namanya akar menjadi pagar bagi mereka untuk tidak ingkar janji.
Mari kita bahu membahu menjadi juru selamat negeri ini, karena hanya satu yang harus jadi juru mudi. Karena kalau salah posisi, maka kapal akan berputar-putar di dermaga.
Salam waras dari rumah sakit!